Nama: Nabila Septiani
Nim : 20065
Mbahku adalah wanita hebat kedua buatku, nenek- nenek yang penuh inspirasi dan selalu kuceritakan kepada teman- temanku di sekolah. Beliau begitu pandai memasak berbagai macam makanan, sayur sop adalah favoritku dan sampai sekarang belum ada yang bisa membuatnya dengan rasa yang sama seperti buatan mbah uti.
Dalam ingatanku, uti merupakan wanita lincah yang mandiri. Masih segar diingatanku, waktu itu aku masih kelas 1 SD di tahun 2008 . Mbah kakung meninggal dunia dan sejak saat itu mbah uti harus tinggal sendiri di rumah yang besar, karena dua anak terakhir harus merantau untuk menggapai masa depan di jogja. Namun, ke dua anak lainnya tinggal berdekatan di satu daerah, dan orang tuaku tinggal di daerah yang berbeda meskipun dalam kota yang sama. Jadi, sebetulnya mbah tidak total hidup sebatang kara.
Makanya, saat ada kesempatan libur aku selalu berkunjung ke rumah mbah. Tanpa disuruh dan selalu ngeyel, aku akan menginap berhari- hari sampai hari masuk sekolah datang kurang satu hari. Saking senengnya di rumah mbah uti, aku sering sedih waktu masa libur habis. Bahkan itu tetap terjadi walaupun aku sudah belajar di perguruan tinggi.
Aku jadi ingat saat uti mulai sakit. Saat itu tahun 2014, aku mulai masuk sekolah tingkat atas. Ibu merayakan ulang tahunku pertama kalinya dengan membuat kue. Lalu kami pergi ke rumah uti untuk berbagi kebahagiaan. Saat mencicipi kue tart, uti memberi komentar kalau kue buatan ibu kurang manis. Selanjutnya mereka terlibat obrolan serius, intinya ibu mengajak mbah untuk periksa kesehatan dan seperti ibu pada umumnya yang tidak ingin membuat anaknya khawatir, mbah meyakinkan ibuk kalau dirinya sehat- sehat saja.
Entah bujukan macam apa yang dijanjikan ibu, akhirnya uti bersedia ikut periksa dan disana baru diketahui kalau nilai gula darah uti sangat tinggi. Baru- baru ini lebih dikenal dengan nama Diabetes Melitus.
Sejak saat itu, uti mulai diet ketat makanan yang mengandung gula, dan keluarga besar kami juga mulai aware dengan pola hidup. Banyak yang bilang diabetes itu penyakit turunan, makanya kami anak turunnya selalu rutin cek gula darah untuk antisipasi. Tapi yang membuat kami lega sekaligus sedih, ternyata diabetes uti tidak menurun tapi karena pola hidup uti yang kurang benar.
Tahun demi tahun tak pernah sekalipun mbah absen ke dokter karena sejak didiagnosa diabetes selalu ada saja hal- hal yang membuat kami sebagai anak cucunya belajar untuk sabar dan ikhlas.
Beberapa kali uti juga pernah dirawat di rumah sakit lebih dari 2 minggu karena infeksi luka di kaki dan itu tanpa sepengetahuan kami, karena adanya infeksi tersebut luka uti tidak dapat sembuh sampai berbulan- bulan. Hingga akhirnya harus diambil keputusan untuk amputasi salah satu jari di kakinya, yaitu bagian jempol. Aku bersama mas Angga salah satu sepupuku yang sering punya kesempatan menjadi perawat pribadi mbah uti. Kami mencuci kakinya dengan air infus, lalu dibasuh dengan air seduhan sirih, membersihkan (maaf) nanahnya, kemudian memberi obat.
Maka dari itu obat luka, kassa, dan kapas menjadi konsumsi kami selama berbulan- bulan. Ajaibnya kaki uti yang awalnya luka dan bahkan aku bisa melihat tulangnya bisa sembuh dan tumbuh daging yang menutup tulang. Pelan tapi pasti kesehatan uti juga membaik.
Tahun jeda yang membuat kami bahagia karena Mbah sehat seperti sedia kala. Minum obat, makan sesuai anjuran, olahraga, semuanya dilakukan secara displin. Tapi pada pertengahan tahun 2017, kesehatan Mbah mulai menurun dan lagi- lagi harus masuk rumah sakit karena kadar gula dalam tubuhnya yang terlalu rendah. Istilah kerennya sedang dalam kondisi drop. Awal Januari 2016 Mbah sempat satu kali terjatuh di kamar mandi, sejak kejadian itu aktivitas uti hanya ada di atas ranjang tidur hingga akhir hayatnya di bulan Desember 2020.