Penyesalan yang Tak Berujung

Penyesalan munculnya selalu belakangan. Hanya kesenangan atau penderitaan yang bisa dinikmati di awal.

Inilah sesuatu yang saya sesali sampai saat ini, seakan-akan tidak pernah berujung. Bagaimana tidak, saya pernah diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membahagiakan ayah saya, tapi kesempatan itu tidak saya gunakan semaksimal mungkin.

Pada tahun 1988, di saat usaha saya mulai berkembang baik, ayah saya datang ke Jakarta. Beliau ingin melihat seperti apa keadaan usaha saya. Beliau saya ajak ke kantor untuk melihat situasi dan kondisi usaha saya.

Beliau takjub, seakan tidak percaya kalau saya bisa menyewa kantor di sebuah gedung bertingkat, sampai-sampai beliau bertanya:

“Ini benar kantor kamu? Dari mana kamu punya uang untuk sewa ini?”

Pertanyaan beliau itu sangat wajar, karena beliau sangat tahu kondisi sosial dan ekonomi saya saat merantau ke Jakarta, jadi saya menjawab apa adanya.

“Iya.. Ini berkat kepercayaan pemilik gedung, uang sewa gedung saya bayar dari hasil usaha saya.” jawab saya

“Hasil usaha halal ya.. bukan hasil menipu orang kan? Hati-hati kamu, usaha kamu bisa tidak berkah!!” ujar ayah saya.

Hari itu pula beliau minta saya membelikannya alat bantu dengar, karena pendengarannya memang kurang bagus sudah sejak lama. Akhirnya saya pun membeli apa yang beliau minta.

Ada dua pilihan alat bantu dengar, satu yang biasa seperti earphone yang pakai kabel, satunya lagi alat bantu dengar seperti earphone Bluetooth (tanpa kabel). Kesalahan saya, tidak membelikannya yang ‘terbagus.’

Inilah yang saya anggap tidak memanfaatkan kesempatan yang diberikan Tuhan dengan baik.

Keesokan harinya beliau harus dilarikan ke rumah sakit, karena kena diare. Saya pun langsung berpikir kalau Tuhan kembali menguji saya, karena biaya rumah sakit yang saya keluarkan melebihi harga alat bantu dengar yang sesuai keinginan beliau.

Di rumah sakit itulah beliau katakan pada saya, bukan alat bantu dengar seperti yang saya belikan yang dia maksud. Seketika saya tersadar, bahwa saya harus merawat beliau di rumah sakit dengan perawatan maksimal. Saya turun tangan langsung mengganti pampers beliau, dan membersihkan kotorannya.

Saya pikir inilah cara saya menebus kesalahan saya terhadap beliau. Selama 3 hari di rumah sakit, saya fokus untuk merawat beliau, hanya saja saya tidak terpikirkan untuk mengganti alat bantu dengar yang sesuai keinginan beliau.

Inilah penyesalan yang tak berujung, yang tidak pernah bisa saya tebus dikemudian hari sampai beliau wafat. Dua tahun setelah peristiwa itu usaha saya ambruk dan pailit, saya pulang ke Jambi. Betapa malunya saya pada beliau, orang yang sempat dia banggakan, kembali membebani hidupnya.

Saya pulang ke Jambi bukan cuma sendiri, saya membawa anak dan isteri yang memang tidak mungkin saya tinggalkan di Jakarta. Di Jambi saya berusaha bekerja serabutan, bagi saya saat itu jangan sampai menjadi beban orang tua.

Cukup banyak yang bisa saya lakukan selama hampir satu tahun di Jambi, namun saya sadari kalau Jambi bukanlah tempat saya bisa hidup. Bukan cuma saya yang stress, anak dan isteri saya pun juga stress, karena tidak bisa beradabtasi dengan situasi dan kondisi di Jambi.

Saya sekeluarga kembali ke Jakarta, karena mertua saya sakit dan sudah rindu dengan anak dan cucu-cucunya. Sampai di Jakarta, ada pekerjaan yang sudah menunggu saya, dan pekerjaan itu sangatlah menjanjikan. Saya diminta untuk memimpin sebuah Advertising baru, yang kesemuanya saya yang persiapkan.

Jadi, ambruknya usaha saya tersebut saya yakini karena kurangnya Ridho Allah dan juga sangat terkait dengan keikhlasan saya dalam membahagiakan orang tua. Padahal Tuhan sudah memberikan kesempatan pada saya untuk berbakti pada orang tua. Pada akhirnya saya kembali menjadi beban orang tua.

Aji Najiullah Thaib

 

Tinggalkan Balasan