24. Gamang
Laras hanya bisa tersipu mendengar ocehan Suci. Dia berharap Matt Paten meresponnya lebih serius. Namun, sayangnya Matt Paten sikapnya biasa saja.
Matt Paten tidak menganggap pembicaraan Laras dan Suci sesuatu yang serius, karena dia sendiri belum tahu niat hati Laras datang ke rumahnya.
Sekarang mereka sudah kembali berada di rumah Matt Paten. Laras kembali mengutarakan niatnya, “Mas punya tanah yang mau di jual gak?”
“Ada Laras, kalau untuk membangun sekolahan rasanya cukup.”
“Mas mau jual tanahnya? Kalau mas mau jual, biar saya yang beli.” Laras katakan itu dengan mimik wajah yang serius.
***
Rani duduk di teras depan rumah, matanya panjang memandang ke depan. Dia sangat berharap Matt Paten datang hari itu ke rumahnya.
“Kalau aku telepon, kira-kira enak gak ya?” gumam Rani serba salah.
“Kenapa Rani? Kok kamu seperti orang bingung gitu?” tiba-tiba Armaya muncul di depan pintu.
“Rani mau keluar Abah, tapi ragu-ragu. Rani ingin jalan ke kota.” Rani mencoba berdalih.
“Kalau kamu mau ke kota, sebaiknya ditemani Matt Paten. Jangan jalan sendirian, karena kamu belum sembuh benar.” Armaya ikut duduk di kursi teras dekat Rani.
“Tapi, mas Matt Paten rasanya tidak datang hari ini, Abah. Dari tadi aku duduk di sini dia tidak muncul juga.” Rani tidak menyadari ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
“Ooo jadi, dari tadi kamu menunggu kedatangannya? Pantasan kamu terlihat sangat gamang.” kelakar Armaya.
Rani tersipu malu mendengar kelakar Armaya. “Rani jadi malu sama abah.”
“Kamu tidak usah menyembunyikan perasaan pada Matt Paten. Orang seperti dia itu banyak yang menyukainya.”
“Tidak ada yang aku sembunyikan bah, aku Cuma belum siap untuk menerima Matt Paten.” dalih Rani.
Armaya jelaskan pada Rani, bahwa dia tidak bermaksud memaksakan kehendaknya. Tapi, dalam penerawangannya Matt Paten adalah lelaki yang tepat bagi Rani.
“Rani, kamu jangan sampai salah faham pada abah. Tidak ada maksud abah memaksakan kamu menikah dengan Matt Paten.”
“Kan Rani sudah bilang pada abah, bahwa Rani belum siap menerima kehadiran Matt Paten.”
“Katakan pada abah, Rani, apa alasan kamu belum bisa membuka hati pada Matt Paten?”
***
Ternyata, Matt Paten bersedia menghibahkan tanahnya pada Laras, asal Laras serius ingin membangun sekolahan di tanahnya tersebut.
“Jadi, mas mewakafkan begitu saja tanah tersebut? Bukan menjualnya pada aku?” tanya Laras setengah tidak percaya.
“Saya rasa itu cara yang disukai Allah untuk meluruskan dan melancarkan niat baik kamu, Laras.”
“Subhannallah, luar biasa sekali hati mas. Semoga Allah melipatgandakan amalnya mas.” Suci terkagum-kagum pada Matt Paten.
Laras menjulurkan kelingkingnya kehadapan Matt Paten, “Kalau begitu kita ‘deal’ mas, terima kasih atas kebesaran hati mas.”
Matt Paten menakutkan kelingkingnya di kelingking Laras, sebagai tanda kesepakatan mereka berdua.
“Oh ya Laras, di sini kamu tinggal di mana?”
“Di desa sebelah mas, tidak jauh dari sini. Makanya tadi pagi-pagi aku sudah sampai di rumah mas.”
“Kalau gitu semakin mudah ya mewujudkan keinginan kamu. Kamu sudah ada pemborong yang akan mengerjakan bangunan sekolah itu?”
Laras jelaskan pada Matt Paten, bahwa dia sudah niatkan untuk menyerahkan sepenuhnya pada Matt Paten.
“Mas atur saja, saya memang sudah niatkan untuk menyerahkan masalah ini pada mas.”
Matt Paten tidak menyangka sama sekali kalau Laras mempercayakan dirinya. Padahal, dia sendiri saat ini sedang mengawasi pembangunan pesantren yang di wakafkan Barnus.
“Kalau ini terlaksana, berarti ini proyek kedua yang di bawah pengawasan saya, Laras. Pak Barnus juga menitipkan pembangunan pesantrennya Pada saya. Alhamdulillah, sampai sekarang masih berjalan.”
“Owwh ya? Sangat merepotkan gak mas? Habis saya Cuma kenal mas di daerah ini.”
“Demi kepentingan orang banyak, tidaklah merepotkan Laras. Kamu tahu kan kalau saya ini pengangguran, tidak banyak aktivitas.”
Laras dan Matt Paten sepakat untuk melanjutkan kerjasamanya.
“Wah! Sepertinya bisa berlanjut nih kamu dengan mas Matt Paten, Laras. Bisanya kan gitu, karena sering bertemu akhirnya menemui kecocokan.” kelakar Suci.
“Suci! Apa sih, jangan terlalu jauh dulu. Kita kan baru mau memulai kerja amal, dak usah dikaitkan dengan yang lain dulu.” Laras tidak enak hati mendengar kelakar Suci.
Matt Paten hanya mengumbar senyum mendengar kelakar Suci. Baginya tidak memiliki pamrih apa-apa dalam kerjasama tersebut.
Sebuah mobil memasuki halaman rumah Matt Paten. Matt Paten melongok dari jendela, dia kenal betul mobil siapa yang datang,
“Saya tinggal sebentar ya, ada tamu yang datang.” Matt Paten beranjak keluar.
Rani turun dari mobilnya, dan Matt Paten berada di teras depan,
“Assalamu’alaikum, mas.. aku ganggu gak? Sedang ada tamu ya?” Rani menghampiri Matt Paten.
“Wa alaikum salam, tidak Rani, kebetulan memang sedang ada tamu.”
Laras dan Suci menyusul Matt Paten ke teras depan, dia melihat Matt Paten sedang bicara dengan seorang gadis.
Saat Rani melihat kehadiran Laras dan Suci, seketika raut wajah Rani berubah kecewa,
“Maaf mas, kalau gitu saya pulang saja. Tidak enak mengganggu mas yang sedang ada tamu.” Rani tergopoh-gopoh meninggalkan Matt Paten begitu saja, tanpa menghiraukan Laras dan Suci.
Matt Paten hanya bisa terdiam menyaksikan kepergian Rani, dia tidak menduga kalau Rani berkunjung ke rumahnya.
Menyaksikan itu, Laras bertanya pada Matt Paten, “Itu siapa mas? Calon isteri ya?”
“Dia salah satu pasien saya, Laras, sampai saat ini masih dalam pengobatan.”
“Kok seperti orang kecewa gitu mas? Apa karena kehadiran kami di sini, ya?”
Matt Paten mengajak Laras dan Suci kembali masuk ke dalam, “Yuk! Kita lanjutkan pembicaraan tadi.” ajak Matt Paten.
Sementara pikirannya masih ke Rani yang tiba-tiba pulang begitu saja.
“Apa Rani cemburu ya?” bisiknya dalam hati.
Mereka kembali duduk di ruang tamu. Laras mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab Matt Paten.
“Mas, apa kehadiran kami mengganggu pasien, Mas?”
“Sama sekali tidak, Laras, tetaplah lanjutkan niat kamu. Tidak usah dipikirkan soal itu.”
“Bukan gitu mas, aku ini wanita. Jadi sangat memahami perasaan sesama wanita.”
“Selain sebagai pasien, mas punya hubungan spesial dengan gadis itu?” tanya Suci.
Matt Paten menceritakan kalau dia dijodohkan dengan Rani oleh Armaya. Tapi, Rani menolaknya. Sebagai laki-laki, Matt Paten mengatakan sangat menghargai sikap Rani.
“Alasannya apa mas dia menolak Dijodohkan?”
“Saya tidak tahu, Laras, mungkin dia merasa belum siap untuk menikah.”
“Udah mas, pilih yang sudah siap menikah saja, yang dihadapan mas ini sudah siap untuk dipinang kok.” Suci kembali memanfaatkan peluang itu untuk menjodohkan Laras dengan Matt Paten.
“Ini ingin di pinang Laras atau Suci?” Matt Paten membalas kelakar Suci.
Laras hanya mesam-mesem mendengar ocehan Matt Paten dan Suci. “Kalau aku mah gimana Allah saja, Ci, takut banyak berharap.”
“Lho? Kok jadi patah semangat gitu, Laras? Tadi sebelum ke sini kamu semangat sekali.” Suci katakan itu sembari melirik Matt Paten.
***
Armaya kaget melihat Rani tergesa-gesa masuk ke kamar, dia menyusul Rani ke kamar, “Ada apa Rani? Kok kamu tidak biasanya seperti itu?”
Bersambung