MEMBACA KEHIDUPAN
Hasil survei tahun 2019 minat baca masyarakat Indonedia menempati ranking ke 62 dari 70 negara, atau berada 10 negara terbawah.
Itu hasil survei PISA yang dirilis OECD, sementara UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca.
Kita patut miris dengan kondisi ini. Terlebih efek media sosial yang sangat dahsyat, membuat minat baca itu semakin menurun. Ibarat penikmat makanan, hanya ingin menikmati yang cepat saji, sehingga abai terhadap kebenaran informasi.
Setidaknya malas membaca secara literasi, bacalah kehidupan ini dengan segala kepekaan, agar tidak terjerumus pada informasi yang menyesatkan. Sesuatu yang dibaca di media sosial hanya yang mewakili syahwat kebencian.
Alhasil apa yang didapat bukanlah pengetahuan, melainkan informasi yang merusak pikiran dan hati. Kehidupan adalah universitas terbuka, tempat belajar mengetahui, dan bisa membedakan mana yang bagus, dan mana yang buruk, juga mana yang benar dan mana yang salah.
Kalau setiap hari yang dilahap adalah informasi yang salah, maka salah pula pola pikirnya dalam menyiasati hidup. Hidup hanya berkutat di dalam lingkaran setan kesalahan, tidak pernah berusaha untuk keluar dari kesesatan.
Gerakan guru menulis menurut saya adalah upaya positif bagi dunia literasi kita dimasa depan. Hampir setiap hari saya mendesain cover buku-buku yang ditulis oleh para guru. Adanya inisiatif menggiatkan guru untuk menulis, sama halnya dengan memaksa guru untuk aktif membaca.
Apa yang dilakukan para guru ini tentunya akan berimbas pada murid, dan akan menularkan semangat menulis dan membaca pada para murid. Tanpa membaca apalagi menulis, maka akan sulit bagi seseorang untuk menimba pengetahuan. Tanpa pengetahuan maka akan sulit mengubah pola pikir.
Kita hanya menjadi bangsa yang besar dalam sebutan, tidak pada kenyataannya. Kita hanya menjadi negara yang kaya dalam sebutan, tapi tidak pada kenyataannya. Jangan protes kalau kita serba terbelakang dalam berbagai ranking, karena kita hanya bangsa yang senang menadahkan tangan, dan hidup dari berbagai bantuan.
Ajinatha