Dalam Kubangan Serapah

DALAM KUBANGAN SERAPAH

Tulisan ini masih dalam bagian kumpulan artikel kontemplasi perjalanan, yang saya beri judul “Serambut Dibelah Tujuh.” Merupakan muhasabah diri, introspeksi dalam mengarungi lautan hidup.

Beruntunglah orang-orang yang tidak pernah terperosok dalam kubangan serapah, yang tiada hari tanpa berserapah, menuding telunjuk kelingking berkait. Aku pernah ada dalam kubangan serapah, yang terlalu mudah mengumbar serapah dan kebencian.

Larut dalam kubangan itu, seakan tak ingin beranjak memperhatikan jari nan empat mengarah kediri sendiri, disaat satu telunjuk mengarah ke orang lain.

Hanya dengan dalih memiliki sikap kritis, aku mengabaikan cara yang lebih baik untuk mengkritisi, sehingga tidak lagi bisa membedakan kritik dan caci-maki.

Perjalanan mengarungi lautan hidup mengajarkan dan menyadarkanku, seiring dengan bertambahnya usia. Aku sadar bahwa setiap kesalahan tidak melulu harus dihakimi, karena kesalahan harus diluruskan.

Hidup seperti meniti titian serambut dibelah tujuh, sebuah titian yang harus dilalui dengan hati-hati, sebuah titian yang dipijak tidak tampak namun bisa diseberangi dengan tuntunannya.

Dalam kubangan serapah, aku hanya melihat kebenaran dari sebatas pandanganku. Padahal kebenaran hakiki hanyalah ada ditangan Sang Maha Benar. Dialah yang berhak menilai dan menakar kebenaran, manusia hanya berusaha untuk mengikutinya bukan mengira-ngira.

Aku teringat sebuah untaian kata-kata Rumi:

“Hati saya begitu kecil, hampir tak terlihat. Bagaimana Anda bisa menempatkan kesedihan besar di dalamnya? Dengar, Dia menjawab, Mata Anda lebih kecil, namun mereka melihat dunia.”

Hati bukan cuma tempat menyimpan kesedihan yang besar untuk membesarkan hati yang begitu kecil, tapi juga melihat kebenarannya dengan kelapangan, tanpa harus menganggap diri yang paling benar.

Ini sebuah proses perenungan untuk mengenal diri sendiri, meyakini diri bahwa manusia tidak berkuasa apa-apa atas apa pun. Manusia hanya mahluk yang lemah, menjadi kuat karena kekuatan Yang Maha Kuat.

Aku menyadari apa yang aku lakukan adalah kesalahan, itulah sebuah jalan petunjuk agar aku bisa keluar dari kubangan serapah. Kubangan serapah adalah lumpur hidup yang akan menelanku secara perlahan, kalau aku tidak segera bangkit dari dalamnya.

Serapah kebencian sangat menghanyutkan, memupuk kekeruhan hati sampai mati kalau tidak segera disadari. Usia tidak bisa diduga. Manusia akan mati sesuai dengan kebiasaannya.

Dan aku tidak ingin mati dalam umpatan serapah, yang hanya menghantarkanku ke neraka jahanam. Perlahan aku harus bangkit dari kubngan serapah, kembali meniti serambut dibelah tujuh.

Tinggalkan Balasan