Semangkuk Bakso dan Sebuah Label Pilihan

 

Dokpri adik penulis
Dokpri adik penulis

“Kak, ga dilabel lagi. Ini yang kedua hari ini,” begitulah gerutuan Di sore ini.

“Di, kamu butuh kertas label kah? Kakak punya banyak, ada yang warna pink juga. Warna kesukaanmu, kan?” kataku mencoba menggodanya. Nadi tambah cemberut. Entah mengapa Bunda dan Ayah memberi nama Nadi pada adik semata wayangku ini. Kami memanggilnya Di.

“Ah, Kakak! Biasa deh.” Di beranjak pergi dari kamarku. Di berharap mendapat kata-kata yang menghibur, namun yang ada malah kata-kata ledekkan dariku. Aku kembali menatap tumpuk kertas di depanku. Baru aku sentuh keyboard di laptopku ketika tiba-tiba. “Yey, Kak, ini dilabel, puisi ketigaku hari ini. Aduh senangnya.”

“Baguslah, jadi kertas label kakak utuh. Ga jadi bagi-bagi.”, kataku masih dengan nada menggoda adikku ini. Entah mengapa aku suka sekali membuat dia cemberut. Kalau sedang cemberut, wajahnya tambah lucu. Meski ayah sering mengingatkanku agar tak terlalu sering menggoda Di.

“Di, kenapa sih label editor di tulisanmu begitu penting?”, suatu kali karena penasaran kutanyakan juga padanya.

“Ih kakak, pertanyaannya ga seru ah, males jawab.” Nadi kembali mengetik di laptopnya, kehadiranku dicuekin. Astaga. Pagi, siang, sore, malam kadang masih juga mencoba menulis puisi. Ada saja ide di kepalanya.

Kadang kalau sedang banyak waktu luang, aku pasti sempatkan baca-baca puisi di platform kenamaan itu. Ayah juga sangat menyukai karya sastra seperti puisi. Terkadang aku juga menikmati puisi-puisi ayah, meski aku tak selalu paham maknanya. Ayah tidak pernah marah kalau aku menatapnya dengan bingung.

Ayah sering juga menjelaskan makna puisi karyanya dengan sabar. Rupanya ini menurun pada Nadi. Nadi yang sejak kecil mendengarkan sajak-sajak yang dibacakan Ayah, lama kelamaan jadi penulis puisi.

Kadang yang bikin kesal, curhatnya itu tidak kenal waktu. Apalagi kalau puisinya tidak dapat label dari editor. Seperti dunia runtuh buatnya. Suasana hati mendung, seisi rumah kena deh.

Tapi setiap kali kutanya alasannya, selalu tak ada jawaban dan aku hanya dicuekin. Menurut ayah, label dari editor membuat penulisnya merasa kalau tulisannya memenuhi standar platform tersebut. Meskipun begitu, Nadi sering dinasehati Ayah kalau menghargai karya sendiri jauh lebih penting dari pada sekedar mengejar label dari editor.

Nadi sih kelihatannya mengiyakan dengan anggukan. Namun kenyataannya, kalau Ayah masih sibuk bekerja di kantor, Nadi selalu saja menggalaukan dirinya dan curhat padaku kalau puisinya tidak dilabel.

“Kak, kalau nanti puisiku dilabel, kakak traktir aku semangkuk bakso ya. Kalau ga dilabel, aku deh yang traktir kakak.” Percakapan yang mengundang tawa, namun aku menahannya sekuat tenaga agar tidak kelepasan ketawa. “Bilang aja pengen makan bakso bareng kakak.” Nadi tertawa saja sambil berlari ke kamarnya.

Bunda rupanya mendengarkan perbincangan kami. Bunda hanya tersenyum, dalam sekejap Bunda sudah memesan 4 mangkuk bakso ke Pak Udin. Penjual bakso langganan kami sekeluarga. Sementara Nadi masih sibuk berkutat mencoba menulis puisi lagi di kamarnya. Sambil menunggu apakah setelah mengirimkan puisinya, karyanya itu akan dapat label.

Ternyata benar, dengan gembira dia berlari keluar kamar. “Kakak, traktir aku semangkuk bakso sekarang. Puisiku dilabel. Aku kirimkan yang keempat hari ini. Yang tiga tadi ga dilabel semua. Ini sekarang dilabel. Yeay, traktir dong!”

Aku dan Ibu tersenyum. Ini cara Nadi menyemangati dirinya dan menarik keluarganya untuk terlibat menyemangatinya. “Itu ada di atas meja makan. Baru saja datang baksonya. Tadi pak Udin yang mengantar kemari. Kayaknya Pak udin tahu dan ingin kasih hadiah untukmu.”, kataku sekenanya.

Nadi yang kebingungan melihat responku, masa iya kakaknya cerita ke penjual bakso tentang label dari editor di platform yang dia tulis. Aku tertawa melihat wajahnya yang keheranan dan bengong.

Melihat aku tertawa, spontan Nadi sadar kalau aku menggodanya lagi. Sebelum Nadi mengejarku, aku bilang lagi, nanti kulaporin ke ayah loh ya. “Yah, Nadi masih suka menolak kertas label dariku.”

Bunda tertawa mendengar gurauan hangat anak-anaknya di sore ini. Kami pun menikmati bakso bersama-sama, bertepatan dengan jam pulang Ayah dari kantor. Sebuah kebahagiaan indah yang kami rasakan.

Itu kisahku bersama Ayah, Bunda dan Nadi lima tahun lalu. Nadi sekarang telah menjadi penulis puisi terkenal. Nadi bahkan telah menerbitkan banyak buku puisi. Nadi tidak lagi sempat bercanda mengenai label pilihan editor lagi.

Nadi sudah menikmati sepenuhnya kegemarannya berpuisi. Nadi telah menjadikan puisi sebagai nadinya.

Kisah semangkuk bakso dan label pilihan editor tak akan pernah kulupakan. Caraku mengenang masa indah kami sebelum Nadi akhirnya demi mengejar cita-citanya, melanjutkan study di Jerman. Musim gugur di Jerman membuatnya banyak mengirimiku puisi-puisi sendu nan syahdu.

Tiba-tiba aku sangat merindukan Nadi. Ayah dan Bunda juga. Semoga Nadi bisa segera pulang dan menikmati kebersamaan di rumah lagi. Bagaimanapun jelang hari Ayah, rasanya sangat ingin berada di rumah berkumpul seperti dulu.

Ayah adalah seorang pahlawan bagi kami. Ayah memotivasi kami menemukan bakat kami masing-masing. Nadi menjadi penulis dan aku juga. Namun apa yang kami tulis memang berbeda.

Selamat hari pahlawan, ayah. Selamat hari ayah untuk ayah kami tercinta.

….

Written by Ari Budiyanti

9 November 2020

kisah ini hanya fiksi semata.

Cerpen ini audah tayang di Kompasiana

Tinggalkan Balasan