Memaknai Pasangan Cinta dalam 60 Tahun Perjalanan

Diamond wedding anniversary

Pernah suatu ketika Ciputra, salah satu konglomerat di Indonesia, ditanyai seorang wartawan: Berapa jumlah perusahaannya?

Ciputra menjawab diplomatis. Kalau Anda punya anak lebih dari sepuluh, maka Anda akan susah menyebut nama-namanya. Tapi kalau Anda punya anak lebih dari enam puluh, maka Anda tidak ingat lagi berapa jumlahnya.

Tapi bagaimana mengingat pasangan cinta selama enam puluh tahun perjalanan? Kita dapat membaca bagaimana mengelola dan menyiasati dua sifat dan latar belakang yang berbeda, tapi lulus dengan segala ujian. Ia juga akan menginspirasi terciptanya banyak puisi, tak terhitung kisah-kisah, dan melahirkan banyak cara pandang dalam memaknai hidup. Dan kita dapat memetik pelajaran darinya.

Namanya sebuah perjalanan, tentu tidak selalu bersua jalan yang lurus-lurus saja. Ada yang mendaki atau menurun. Sering juga berbelok tak tahu di mana berjumpa ujungnya. Suatu masa kaki terluka karena menginjak duri. Atau terhenti karena ada karang yang menghadang. Bahkan, terpuruk jatuh karena kaki terantuk. Hingga sampai juga pada suatu titik, di mana pandangan mata begitu luas, kaki ringan melangkah. Dan dulu segala yang diinginkan, kini seperti mudahnya mengelilinginya.

Itulah yang dapat kita baca pada pasangan Tjiptadinata Effendi dan Roselina Effendi. Mengarungi usia pernikahan hingga 60 tahun (Pernikahan Diamond).

Cukup banyak orang melewati Kawin Perak (25 tahun). Makin berkurang pasangan yang bisa merayakan Kawin Emas (50 tahun). Dan lebih sedikit lagi sampai pada Kawin Berlian (60 tahun). Pasangan Tjiptadinata Effendi dan Roselina, Insya Allah 2 Januari (dirayakan bulan Februari) tahun depan akan menggapainya.

Sebuah bilangan yang fantastis, tak semua pasangan bisa mencapainya.

Sebuah angka bisa ditulis berapa saja. Yang membedakannya adalah apakah angka itu bisa memberi makna atau hanya sekadar deret jumlah. Pasangan Pak Tjip dan Bu Lina membuktikan, bahwa angka 60 bukan hanya ditempel dalam perjalanan hidup mereka. Angka itu dapat bercerita banyak.

Cerita indah, kisah keberhasilan, dan segala macamnya bisa dikarang-karang. Ditambah atau dikurangi, dipoles atau diberi warna. Tapi Pak Tjip dan Bu Lina bercerita apa adanya. Tak terbetik untuk pamer bila bercerita tentang keberhasilan. Tak juga merasa ingin dikasihani saat berkisah soal kegagalan. Pak Tjip dan Bu Lina hanya bercerita. Hanya bercerita.

Pasangan ini pandai menempatkan diri dari berbagai posisi. Hari ini bercerita sebagai seorang sahabat. Pada lain kesempatan mereka menjadi kakak, orang tua, atau oma-opa. Kita seolah-olah sedang duduk melingkar mendengar cerita mereka. Di tengah cerita mungkin ada tawa, canda, atau tak terasa mengeluarkan air mata.

Tak dapat dipungkiri dalam menikmati menu perjalanan cinta, tentu, sesekali terdengar bunyi denting karena beradunya sendok dan piring. Tapi Pak Tjip dan Bu Lina, sampai hari ini, dapat menjaga sendok tidak patah, piring tidak pecah.

Baca saja tulisan-tulisan mereka di Blog Kompasiana. Dengan bahasa-bahasa sederhana, takada kesan jemawa. Tapi tersirat nasihat-nasihat dalam mengarungi kehidupan. Tulisan-tulisan hampir tiap hari mengalir.

Pak Tjip sendiri pernah pada bulan Agustus 2020 bertekad menggenapi jumlah tulisannya sampai 5000 artikel, tepat pada tanggal 17 Agustus. Dan itu tercapai.

Sebagai rasa hormat saya mengapresiasinya dengan membuat puisi di Kompasiana.

Lelaki dari Pulau Karam

Kepada Tjiptadinata Effendi

Mari membaca cahaya, yang berpendar di lima ribu perjalanan, tersusun pada untaian kata beribu-ribu, tentang lelaki yang ari-arinya tertanam di Pulau Karam, kampung kecil pinggiran kota Padang

Cerita-cerita bagai mata air, setiap hari sejuk mengalir. Berbagi pengalaman hidup, bagaimana menegakkan mimpi saat jalan oleng, dan memercikkan api, ketika cahaya mulai redup

Menunjukkan cara bersiasat meniti buih, berperahu di sela karang, hingga hilang rasa perih, dan mengantarkan sang buah hati menggapai ilmu di laut seberang

Pulau Karam, saksikan itu

Dia seorang ayah, seorang guru, seorang sahabat. Kepada siapa saja menepuk dan menyapa hangat, seolah-olah kita telah mengenalnya bertahun lama, begitu dekat

Seiring-sejalan, seia-sekata, tertawa dan sedih  bersama, dengan sang istri yang mendampingi dengan setia

Bapak Tjiptadinata Effendi, salam takzim untukmu

***

Cilegon, Agustus 2020

***

Saya mengenal mereka juga di Kompasiana. Selalu memberi vote dan berkomentar secara hangat. Setelah tahu saya juga berasal dari Sumatera Barat, sesekali Pak Tjip dan Bu Lina berkomentar menggunakan bahasa Minang. Ini membuat jarak kami terasa semakin dekat.

Yang takkan terlupakan adalah ketika saya akan menikahkan anak perempuan saya. Seminggu sebelum acara Bu Lina menelpon langsung dari Australia (tempat tinggalnya kini). Mengucapkan selamat. Saya terkejut dan terharu, tak menyangka. Saya juga sempat berbicara dengan Pak Tjip. Tapi tak bisa lama-lama karena saat itu Pak Tjip menyetir kendaraan. Astaga, seusia itu Pak Tjip masih sehat mengendarai kendaraan.

Juga yang membuat saya makin terharu, Pak Tjip dan Bu Lina mengirim karangan bunga. Acara pernikahan anak saya yang cuma ala “tenda biru”, di jalan sempit depan rumah, dapat kiriman karangan bunga. Tetangga-tetangga saya terheran-heran dan bertanya-tanya. Saya yang sehari-hari kehidupan ekonominya “nggak jelas” (orang Betawi bilang, keblangsak), kok ada karangan bunga “nyasar”. Dari Australia, lagi. Ini menjadi sesuatu yang tak terlupakan.

Tahun depan pasangan indah ini, Tjiptadinata Effendi – Roselina Effendi, akan merayakan pernikahan berlian mereka.

Selamat, Pak Tjip dan Bu Lina. Tetapi selalu menginspirasi.

***

Lebakwana, September 2024.

#diamondweddinganniversary