KMAC 35. Menjadi Guru yang Beretika

Pendidikan, YPTD68 Dilihat

KMAC 35. Menjadi Guru yang Beretika
Penulis : Theresia Martini, S.Ag., M.M

Seperti layaknya kita makan dengan menu yang serupa, maka lama kelamaan selera makan kita pun akan hilang.

Maka sesekali kita mencoba mencari dan mengganti menu makan kita, untuk membangkitkan selera makan kita kembali.

Demikian pula dengan rutinitas yang dijalani dalam keseharian kita, perlu ada kegiatan yang berbeda untuk membuang kebosanan.

Seperti yang penulis lakukan apabila mengalami kebosanan tingkat dewa dalam beraktivitas terkait dengan tulis menulis.

Jika dibiarkan berlanjut tentu akan menyebabkan terjadinya “Writer’s Block” atau dengan kata lain mengalami kebuntuan dalam menulis yang disebabkan banyak hal seperti misalnya, kebosanan, kahabisan ide atau terjebak dalam pola pikir yang sama.

Situasi ini dapat memengaruhi produktivitas dan kualitas penulis pada tulisannya dan perlu untuk diatasi secepatnya agar tidak berlarut-larut.

Beberapa upaya untuk mengatasi situasi tersebut dapat mencoba dengan teknik-teknik seperti beristirahat sejenak atau mengalihkan fokus pikiran tentang menulis.

Penulis kali ini memilih untuk berhenti menulis dan mengubah aktivitasnya dengan melakukan kunjungan ke beranda-beranda sahabat di Kompasiana.

Salah satu tulisan yang sempat penulis baca dan tergelitik untuk mengupasnya adalah tulisan dari profil Kompasianer Arfiani Yulianti Fiyul yang berjudul, “7 etika seorang Pendidik untuk Mengajar,” terbit pada tanggal 17 Meret 2023.

Tulisan yang dikupas secara sederhana dan menarik ini seakan menjadi pemicu semangat penulis untuk melakukan kembali kegiatan menulis dan siap di kirimkan ke YPTD sebagai platform yang sedang digandrungi  (baca; digeluti) penulis karena sedang mengikuti tantangan menulis selama 40 hari, dan hari ini merupakan hari ke-35.

Ibu Arfi, demikian penulis sering menyapanya saat memberikan rating dan komentar di beranda profilnya.

Untuk mengetahui lebih lengkap sajian dari Bu Arfi tentang etika seorang pendidik untuk mengajar, silakan di baca secara lengkap pada link ini

Penulis hanya ingin menyampaikan bahwa betapa penting sebagai seorang guru hebat memiliki etika dalam melaksanakan proses belajar mengajar, bukan sekadar hadir di depan kelas dan memberikan informasi tentang pengetahuan kepada peserta didiknya.

Bu Arfi menyoroti tentang etika seorang guru yang sekaligus juga seorang pendidik untuk menghargai semua anak didiknya tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, atau latar belakang mereka.

Pernyataan ini sangat menggelitik penulis, karena tidak sedikit kejadian ini terjadi di lapangan seperti tema yang di angkat Bu Arfi menjadi pemicu timbulnya kegagalan dalam proses belajar mengajar di kelas, sebagai akibat sikap guru yang kurang menghargai peserta didiknya, sehingga memberikan pengaruh pada perkembangan psikologi peserta didik.

Kurang percaya diri, minder, menarik diri, dan sebagainya merupakan akibat yang ditimbulkan dari sikap guru yang kurang menghargai peserta didik, karena memandang perbedaan ras, agama, jenis kelamin, atau latar belakang peserta didik.

Dampak lebih hebat tentunya akan timbul, apabila guru terus melakukan tindakan tersebut kepada peserta didik, seperti:

  1. Menurunkan motivasi belajar peserta didik, karena merasa tidak dihargai, tidak nyaman, dan tidak termotivasi untuk belajar di lingkungan yang seharusnya sekolah menjadi tempat belajar yang aman dan nyaman.
  2. Menimbulkan diskriminasi peserta didik yang merasa berbeda, dan berakibat merasa mendapatkan ketidakadilan dalam pendidikan.
  3. Menghambat pertumbuhan emosional dan sosial peserta didik yang merasa tidak diterima dan merasa kesepian sehingga dapat menghambat pertumbuhan mereka.
  4. Meningkatkan potensi konflik dan ketegangan bagi peserta didik sehingga dapat mengganggu iklim belajar yang sehat dan harmonis.

Sebaiknya sebagai guru hebat penulis dan rekan guru lainnya segera menyadari sikap-sikap yang telah melukai peserta didik kita.

Harapan kita bersama peserta didik kembali merasa dihargai dan termotivasi untuk belajar, dan dapat tumbuh secara emosional dan sosial dengan baik.

Sikap menghargai dan memberikan perhatian yang adil kepada seluruh peserta didik, terutama kepada peserta didik yang mengalami keterbatasan kemampuan inteletual,  merupakan perwujudan profesionalisme sebagai seorang guru yang hebat.

Selanjutnya, Bu Arfi juga menyinggung tentang keterampilan guru dalam berkomunikasi kepada peserta didik agar mudah untuk dipahami mereka sehingga menghindari kesalahpahaman antara peserta didik dan gurunya.

Terkait dengan keterampilan berkomunikasi, penulis ingin melihat lebih tajam tentang profesionalisme guru sebagai guru hebat agar berupaya memiliki kemampuan yang baik dalam berbahasa baik secara lisan maupun tulisan sehingga peserta didik dapat meneladaninya.

Upaya yang dapat dilakukan guru hebat terkait dengan kemampuan berbahasa, seperti rajin mengasah keterampilan berbicara, rajin membaca dan menulis artikel sesuai dengan aturan tata bahasa yang benar dan sebagainya.

Dengan melakukan upaya-upaya tersebut, seorang guru dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dengan baik dan efektif, sehingga mampu memberikan pengajaran yang lebih baik kepada peserta didiknya

Tidak cukup hal tersebut di atas yang dikupas oleh ibu dosan cerdas dan cantik, Bu Arfi, yang juga menyinggung tentang keterampilan guru untuk menjaga kerahasiaan yang dimiliki peserta didik agar tidak mempermalukan peserta didik.

Dan terakhir yang dikupas adalah tentang menjaga profesionalitas guru di luar kelas, karena segala sikap yang disajikan guru merupakan sorotan untuk dijadikan cermin peserta didik dan juga bagi masyarakat sekitar.

Berhati-hati dan waspada serta bijak dalam menggunakan media sosial terkait postingan konten yang kurang bahkan tidak pantas dilakukan sorang guru yang berdampak merugikan nama baik diri sendiri dan juga keharuman profesi guru.

Demikian ulasan dari Bu Arfiani Yulianti Fiyul, yang berada di platform Kompasiana, kemudian di kupas kembali oleh penulis karena masih berhubungan dengan materi tentang rahasia menjadi guru hebat.

“Semoga penulis dan rekan guru lainnya takpernah bosan untuk terus berupaya menjadi guru hebat dari berbagai segi.”

 

Pangkalpinang, 17 Maret 2023