Bahasa Ibu, Teramat Sayang Bila Tak Dilestarikan! (Sumber foto: https://bangkok.unesco.org )

 

Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM

“Bahasa Daerah Terawat, Bahasa Indonesia bermartabat,” demikian tagline yang dikumandangkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesis dalam Festival Pemertahanan Bahasa Ibu 2021 memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh setiap tanggal 21 Februari.

 

Tak Kenal Maka Tak Sayang

Bila seandainya saja semenjak kecil saya sudah dibiasakan berbahasa Inggris oleh kedua orang tua saya, maka sudah bisa ditebak bahwa saya tidak akan berkenalan dengan pengetahuan dan kebudayaan Jawa. Sangat mungkin ketika saya tengah berbicara dengan orang lain, maka saya akan lebih mengenal sopan santun ala orang bule ketimbang unggah-ungguh dalam tradisi Jawa.

Dalam unggah-ungguh (tingkatan) berbahasa Jawa, terdiri dari empat, yaitu: ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu,dan krama inggil. Perbedaan kosakata atau pemilihan kata diberlakukan karena adanya perbedaan usia dan tujuannya dalam relasi sosial sehari-hari. Sedangkan bila kita memakai bahasa Inggris, maka tingkatan berbahasa tersebut praktis tidak akan kita temukan.

Dari gambaran di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ternyata pengetahuan dan kebudayaan daerah setempat sangat erat kaitannya dengan bahasa daerah masing-masing, di mana pengetahuan dan kebudayaan daerah tersebut tumbuh dan berkembang. Sehingga otomatis bila bahasa daerahnya tidak kita kuasai, maka hampir mustahil kita akan dapat mempelajari pengetahuan dan kebudayaan daerah tersebut.

Artinya, jika misalnya kedua orang tua kita aslinya berasal dari suku Jawa, maka jika sejak kecil kita tidak diperkenalkan dengan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, maka hampir bisa dipastikan bahwa kita pun tidak akan mengenal pengetahuan dan kebudayaan asli Jawa. Sebab akan menjadi kesulitan tersendiri manakala kedua orang tua kita tetap keukeuh untuk mengajarkan pengetahuan dan kebudayaan asli Jawa dalam balutan bahasa Inggris. Sehingga sudah bisa diprediksi bahwa ungkapan “Tak kenal maka tak sayang” pun akan berlaku.

Bila sejak kecil seorang anak tidak mengenal pengetahuan dan kebudayaan Jawa; bagaimana mungkin dia akan mencintainya? Bila sejak kecil seorang anak tidak mengenal pengetahuan dan kebudayaan Makassar; mana mungkin di saat dewasa nanti anak tersebut bisa kita harapkan untuk melestarikan kebudayaan asli Makassar?

 

Bahasa Ibu dan Budaya Menulis

Mungkin antara bahasa ibu dan budaya menulis tidak mempunyai hubungan yang berkaitan lurus satu sama lain. Karena banyak dijumpai, para penulis yang menghidupi budaya menulis dalam hidupnya namun tidak menuturkannya dalam bahasa ibu yang mereka kuasai.

Secara umum kebanyakan penulis akan memakai yang sebagian besar dikuasai oleh para “pembaca” atau “penggemar” tulisan-tulisannya. Jika seseorang menulis untuk audiens yang sebagian besar menjadikan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sebagai bahasa utama komunikasinya sehari-hari; maka penulis itu akan mewujudkan artikelnya dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Hal serupa juga terjadi manakala seseorang tengah berbicara dengan orang lain atau orang-orang yang dikenalnya; maka dengan serta merta orang tersebut akan mempergunakan bahasa apa yang paling dominan dipergunakan sebagai sarana komunikasi. Jadi kesamaan suku tidak selalu dapat dijadikan ukuran yang pasti mengenai pemakaian bahasa lisan; entah itu dikaitkan dengan bahasa ibu atau bahasa daerah tertentu.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud bahasa ibu itu tidak selalu identik dengan bahasa daerah setempat; karena bisa jadi bahasa asing tertentu bisa menjadi bahasa ibu bagi bagi sebagian orang. Tentu latar belakang peristiwa dan asal usul kedua orang tua dari seorang anak akan turut menentukan label “bahasa ibu” pada anak-anak mereka.

Dalam situs resminya, UNESCO (Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) menekankan bahwa keragaman bahasa kini semakin terancam sebab semakin banyaknya bahasa yang menghilang dari atas bumi ini. Untuk itu, UNESCO di tahun 2021 ini mengangkat tema: “Fostering multilingualism for inclusion in education and society” (membina multibahasa untuk inklusi dalam pendidikan dan masyarakat.”

Secara global, 40 persen penduduk dunia saat ini tidak memiliki akses ke dalam bidang pendidikan dalam bahasa yang mereka gunakan atau pahami sehari-hari. Namun demikian, kemajuan sedang dibuat dalam pendidikan multibahasa berbasis “bahasa ibu” dengan pemahaman yang berkembang tentang pentingnya, terutama di sekolah usia dini, dan lebih banyak komitmen untuk pengembangannya dalam kehidupan publik.

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, mari kita ikuti anjuran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berikut, “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing!”

Dan berkaitan dengan bahasa ibu, maka dapat kita berlakukan dalam diri kita masing-masing, “Bahasa ibu: sayang jika tak dikuasai, teramat sayang bila tak dilestarikan!”

 

Banjarmasin, 21 Februari 2021

Tinggalkan Balasan