Menulis Dapat Menjadi Sumber Stres! (Sumber foto: https://www.liputan6.com )

 

Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM

Hidup sehari-hari itu sudah banyak masalahnya, jangan lagi ditambah-tambah dengan masalah yang baru!”, barangkali kalimat seperti ini pernah kita dengarkan diucapkan oleh seseorang kepada kita di suatu kesempatan. Pun bisa jadi kita pernah mengucapkannya saat tengah curhat kepada orang lain saat kita berbincang dengannya.

Sebuah kalimat lain yang berbunyi, “Jika di dalam kehidupan kita tidak pernah bertemu dengan masalah, rasanya hidup kita belumlah hidup!” tentu akrab di telinga kita masing-masing. Entah bermaksud menghibur atau justru sebaliknya, namun kalimat ini bisa memberi semangat kembali kepada mereka-mereka yang sempat berputus asa akibat masalah yang dihadapinya.

 

Menulis: “Masalah atau Sumber Stres?”

Nah, sekarang kita akan mencoba menggeser paradigma berpikir kita dan menghubungkannya dengan kegiatan menulis. Tentu kalimat yang senada dengan ungkapan di atas pernah kita dengar, paling tidak pernah kita ucapkan pada diri kita sendiri.

Mungkin bentuk atau bunyi kalimatnya akan terdengar sedikit berbeda, misalnya: “Lama-kelamaan, rasanya kegiatan menulis ini malah menjadi masalah! Boro-boro bisa menyelesaikan satu tulisan sehari, lha menentukan topik atau tema tulisan saja rasanya sulit minta ampun!”

Tentu diantara Anda pernah ada yang mempunyai pengalaman saat masih duduk di bangku sekolah atau kuliah, dimana tugas-tugas membuat karya tulis atau makalah selalu menjadi “masalah”! Apalagi di zaman ketika internet belum sepopuler sekarang ini.

Jadi bagi sebagian anak zaman sekarang, tugas membuat karya tulis atau makalah biasanya kerap diserahkan kepada mesin pencari di internet. Tinggal ketik judul atau tema yang hendak dicari, dan beberapa detik kemudian akan muncul ratusan bahkan puluhan ribu situs rujukan yang tinggal diklik dan diunduh isinya. Hal itu juga berlaku manakala seseorang mencari bahan untuk skripsi atau thesis, mesin pencari pun terkadang menjadi salah satu andalannya.

Tapi sebentar dulu, jika misalnya mesin pencari “tidak berkutik” akibat judul atau topik yang ditentukan guru atau dosen “sulit” dicarikan rujukannya di internet, maka di saat inilah kegiatan membuat karya tulis atau makalah akan menjadi sumber stres yang hakiki!

Tentu saja di lapangan ada kemungkinan kejadian seperti itu dialami oleh siswa atau mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan studinya. Dan sudah bisa dipastikan bahwa guru atau dosennya adalah orang-orang “cerdas” yang kekinian dan memahami situasi masa kini.

Bila kita menemui fakta demikian, jangan coba-coba deh untuk tetap keukeuh mengandalkan mesin pencari di internet. Sebab sudah bisa dipastikan bahwa hasilnya akan sia-sia belaka. Kalau pun tetap dipaksakan, hasilnya juga tentu akan jauh dari harapan. Andai dipaksa-paksakan juga, maka sudah bisa ditebak bahwa karya tulis atau makalah yang dihasilkan nggak akan nyambung dengan topik atau tema yang diberikan oleh guru atau dosen tersebut.

 

Belajar” Membaca dan Menulis Adalah Solusinya!

Sub judul di atas mungkin akan kedengaran remeh di telinga kita. Bagi mereka-mereka yang berusia remaja atau orang-orang yang telah berusia dewasa; ungkapan belajar membaca dan menulis akan dimaknai sebagai aktivitas yang sarat dengan kegiatan yang bersifat kekanak-kanakan!

Tapi sebentar dulu, apakah memang benar demikian faktanya?! Jika contoh kasus penulisan karya tulis atau makalah di atas kita renungkan kembali, apa yang dapat kita simpulkan dari kebiasaan sebagian siswa dan mahasiswa kita yang “sering mengandalkan” mesin pencari di internet untuk menemukan karya tulis, makalah, skripsi, dan thesis sesuai tugas yang diberikan guru atau dosen di sekolah atau kampusnya?

Apalagi sudah menjadi budaya bahwa copy and paste (salin dan tempel) menjadi suatu fenomena yang dianggap lumrah, biasa, bahkan wajar. Tentu kenyataan ini seharusnya menjadi keprihatinan kita bersama, manakala budaya literasi yang berkembang di lembaga-lembaga pendidikan kita belum mengakar sesuai harapan.

Di sinilah alasan mengapa budaya “belajar” membaca dan menulis harus kita galakkan di kalangan siswa dan mahasiswa kita. Harapannya adalah supaya kemampuan literasi masyarakat kita bisa meningkat dan bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Jika seandainya aktivitas menulis bisa menjadi sesuatu yang asyik untuk dinikmati sejak anak-anak atau sejak usia remaja, maka sudah bisa ditebak bahwa ke depannya kegiatan menulis tidak akan dijadikan kambing hitam sebagai sumber stres yang hakiki!

Yakin masih nggak mau belajar menulis sejak sekarang? Atau sengaja nungguin sampai tiba waktunya Anda berkata: “Menulis itu sumber stresku yang hakiki”?!

 

Banjarmasin, 19 Februari 2021

Tinggalkan Balasan