Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM
Judul ini pasti akan menimbulkan pertanyaan di hati kita semua sebagai seorang penulis, “Apa yang kita harapkan di masa depan berkaitan dengan aktivitas menulis yang kita jalani saat ini atau selama ini?”
Sudah pasti akan ada yang berharap untuk menjadi penulis terkenal di masa depan. Ada pula yang bermimpi agar karyanya menjadi sesuatu yang selalu dinanti, dengan menerbitkan trilogi atau tetralogi novel sekaligus.
Sebagian ada yang ingin berhasil menjuarai berbagai lomba blog atau kompetisi menulis. Yang lain ada yang terobsesi menulis satu artikel setiap hari. Sementara ada pula yang punya cita-cita dapat menulis pantun atau syair secara berkelanjutan.
Harapan Tanpa Aksi Sama Dengan Nol “Besar”
Jika kita hanya “berharap”, “bermimpi”, “ingin”, “terobsesi”, dan “bercita-cita” saja, tanpa melakukan aksi atau tindakan apapun untuk mewujudkannya; maka semuanya hanya akan menjadi omong kosong belaka!
Mungkin ketika membaca tulisan ini, ada sebagian pembaca yang belum mempercayai ujaran tersebut, dengan dalih bahwa setiap orang memang harus berharap, harus bermimpi, harus mempunyai keinginan, harus mempunyai obsesi, dan harus bercita-cita dalam hidupnya.
Yang menjadi persoalan di sini bukannya kita tidak boleh berharap, tidak boleh bermimpi, tidak boleh mempunyai keinginan, tidak boleh mempunyai obsesi, atau tidak boleh bercita-cita; namun seringkali terjadi justru karena kebanyakan berharap, bermimpi, ingin, terobsesi, dan bercita-cita tadi, seseorang justru lupa untuk melakukan “aksi” nyata!
Seorang Penulis Adalah Pejuang!
Ibaratnya jika air sungai atau air laut yang ingin menjadi hujan sehingga mampu membasahi tanah-tanah yang kering di atas bumi, maka ia harus menempuh perjalanan yang panjang dan sebagian mungkin terasa menyakitkan. Tentu bisa dibayangkan bagaimana perjalanan air sungai atau air laut yang berhasil naik ke atas awan berkat panas terik matahari dan hembusan angin.
Apa yang terbayang dalam benak Anda, manakala Anda harus mengalami proses yang demikian itu? Pun setelah turun menjadi air hujan, Anda pasti masih akan bertanya-tanya, kemana gerangan Anda sebagai butir-butir air tadi akan dibawa mengalir. Apakah Anda akan tiba pada aliran sungai tempat Anda semula berasal? Ataukah Anda akan dibawa mengalir hingga menuju ke lautan lepas?Demikian juga dengan segala hal yang terjadi dalam kehidupan ini, yang tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi esok dan nanti.
Maka hal serupa juga akan kita alami jika memilih jalan karir sebagai seorang penulis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dari zaman ke zaman, selalu muncul atau lahir para penulis yang berjaya pada eranya masing-masing. Bahkan di antara para penulis itu ada yang karya-karyanya mampu melintasi zaman.
Beberapa nama berikut pasti cukup akrab di telinga kita diantara: Kahlil Gibran, Jalaluddin Rumi, Chairil Anwar, Raja Ali Haji, Sapardi Djoko Damono, J.K. Rowling, Pramoedya Ananta Toer, J.R.R.Tolkien, Andrea Hirata, Tere Liye, Agatha Christie, Walt Disney, dan Fujiko F. Fujio.
Tentu sedikit banyak Anda pernah mendengar bagaimana perjuangan Pramoedya Ananta Toer selama menjalani pahit getirnya dibui, namun justru di sanalah lahir tetralogi “Bumi Manusia” yang fenomenal itu. Atau sastrawan Chairil Anwar yang pada masa hidupnya malah dianggap aneh oleh para sastrawan sezamannya karena karya-karya puisinya yang berani “mendobrak” zaman itu.
Adakah di antara Anda yang mengenal dengan baik siapa Raja Ali Haji? Atau jangan-jangan Anda baru mengenal nama ini setelah membaca artikel ini? Jika Anda pernah mendengar hal ikhwal tentang “Gurindam Dua Belas”, maka Raja Ali Hajilah yang membuat karya tersebut. Bahkan karena jasa-jasanya yang besar bagi perkembangan Bahasa Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar “Bapak Bahasa Indonesia” kepada beliau.
Penulis serial novel “Harry Potter” yaitu J.K. Rowling pun mempunyai kisah perjalanan yang unik, sebelum akhirnya terkenal seperti sekarang. Bahkan menurut kisah yang pernah saya baca, J.K. Rowling ini sempat memanfaatkan kertas tisu untuk menuliskan kisah-kisahnya tentang dunia sihir tersebut.
Dengan demikian jelas bahwa menulis dan menyimpan harapan di masa depan adalah dua hal yang satu sama lain harus selalu diikat dan dipertautkan melalui “aksi nyata” untuk terus menulis dan menulis tanpa mengenal kata putus.
Menulis tentang apa saja, menulis di mana saja, menulis untuk siapa saja. Menulis dan menulislah, jangan sampai berputus asa. Menulislah selagi bisa, menuliskan untuk mewujudkan harapan-harapan baik kita di masa depan. Jika menulis sudah menjadi sebuah kebutuhan pokok, maka kita tinggal menunggu waktu saja, dengan tetap memegang keyakinan bahwa “pintu keberhasilan” sudah menyongsong kita di masa mendatang!
Banjarmasin, 26 Februari 2021