ILUSTRASI. Warga melintasi banjir yang menggenangi kawasan padat penduduk di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (15/1/2021). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/foc.

 

Hujan masih turun, Syanak ai!

Kiriman air masih datang lagi

dari hulu ke hilir

dari tempat tinggi ke dataran rendah

Tenggelamkan kampung-kampung kami

Merendam kota-kota kami.

 

Di zaman bahari

Bumi Banua tak seperti ini

Cerita air yang pasang dan surut itu biasa

Tapi bukan banjir bandang ngarannya

Tentu banyak pertanyaan akan muncul:

“Ada apa dengan Kalsel kami sabujurnya?”

 

Setahu kami sungai-sungai sudah dibersihkan

Warga membuang sampah lebih tertib supaya nyaman

demi menjalankan imbauan pemerintah dan cinta lingkungan.

Tapi kenapa banjir tetap datang?

Siapa yang bermain “lempar batu sembunyi tangan?”

 

Syanak ai,

Banjir ini bencana kita bersama

Namun penyebabnya “bukan” karena perilaku kita semua

 

Renungkan haja, Syanak ai

Tanah Banua ini setengahnya sudah dikuasai

oleh izin pertambangan dan kebun-kebun sawit

tahun semalam haja ada 814 galian ampun 157 perusahaan batubara

sebagian masih aktif, sisanya ditinggal lenggang kangkung

“tanpa reklamasi!” oleh pemiliknya.

 

Syanak ai,

Siapa nang handak disalahkan sekarang?

imbah lalu bencana terjadi seperti ini?

Gegara izin diberikan,

banyak hutan menjadi lubang galian

banyak resapan air jadi perkebunan membentang

resapan air hilang, air bah pun tak tertahankan!

 

Sebuah pertanyaan kecil muncul dan patut ditanyakan:

“Mungkinkah masyarakat kecil ‘punya kuasa’

melahirkan izin tambang batubara,

dan lahirnya kebun-kebun sawit setiap tahunnya?”

 

Banjarmasin, 15 Januari 2021

 

CATATAN :

Syanak ai = saudara semua

bahari : zaman dahulu kala

ngarannya = namanya

sabujurnya = sebenarnya

haja = saja

imbah = makanya

 

Sudah pernah tayang di Kompasiana di alamat:

https://www.kompasiana.com/agus-puguh-santosa/600089fed541df28056c2602/pray-for-kalsel-2

Tinggalkan Balasan