Jika Saya Menjadi Opa Tjiptadinata…

Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa

Foto Nostalgia di Pinggir Black Swan River – 2013 (Sumber: FB Tjiptadinata Effendi)

 

Judul singkat di atas saya pilih, bukan dengan maksud untuk menyamakan diri dengan Opa Tjiptadinata Effendi, dengan semua pencapaiannya yang luar biasa. Siapa saya dan apalah artinya saya ini, yang sampai detik ini mungkin baru menghasilkan beberapa ratus judul tulisan; tentu tak sebanding dengan jumlah tulisan yang sudah dirilis Opa Tjiptadinata selama menulis di Kompasiana, yang jumlahnya sudah mencapai angka tujuh ribu tulisan lebih. Belum lagi tulisan-tulisan di luar platform Kompasiana.


Duo Penulis yang Terus Berkarya

Jika dirinci lebih lanjut, sampai malam ini, Opa Tjiptadinata Effendi telah menerbitkan 7455 artikel, dan dibaca oleh 6 juta 800 ribu lebih pasang mata, sejak tulisan-tulisannya tayang pertama kali di Kompasiana pada 14 Oktober 2012 silam. Bahkan di 2014, Opa Tjip telah dianugerahi gelar “Kompasianer of the Year”, gelar yang tak pernah menjadikannya tinggi hati.

Sedangkan Oma Roselina Tjiptadinata telah menerbitkan 1662 artikel, dan sudah dibaca oleh 1 juta 300 ribu lebih pasang mata. Oma Rose telah aktif sebagai Kompasianer sejak 12 Januari 2013.

Oiya, judul tulisan Opa Tjip terbaru yang saya baca malam ini adalah, “Membuka Pintu Hati Untuk Belajar Sepanjang Hayat”. Saya pribadi tersentuh dengan sekelumit kalimat yang Opa Tjiptadinata tuliskan, “Satu-satunya jalan untuk merawat antusias untuk terus membuka diri untuk belajar, adalah dengan menumbuhkan rasa syukur kepada Tuhan.” Kalimat singkat ini jika direnung-renungkan isinya sangat mendalam. Dan saya berkeyakinan bahwa Opa Tjip sungguh-sungguh telah mempraktikkan jalan itu dalam kesehariannya.

Dan tulisan Oma Rose yang saya simak malam ini berjudul, “Menjalin Hubungan Persahabatan (Bagian Kedua)”. Dalam artikel ini secara rinci Oma Rose menuliskan sederetan nama orang-orang yang berkontribusi nyata dalam aksi sosial yang dicetuskan Opa dan Oma Tjip di beberapa kota di Indonesia. Saya pribadi kagum, di usianya yang senja ini Oma Rose masih bisa mengingat dengan rinci deret nama orang-orang yang pernah bekerjasama dalam karya sosial yang digagasnya bersama Opa Tjip.

 

Tulisan yang Saling Melengkapi

Duo pegiat literasi di platform blogger Kompasiana ini kiprahnya tak perlu diragukan lagi. Meski keduanya tidak lagi berusia muda, namun semangat menulisnya mampu mengalahkan semangat para penulis muda. Kalimat ini bukan bermaksud memuji Opa Tjiptadinata Effendi dan Oma Roselina Tjiptadinata secara berlebihan. Namun pujian ini patut disematkan di pundak keduanya yang akan merayakan Pesta Hari Ulang Tahun Perkawinan ke-60 di tahun 2025 mendatang.

Sejak lama saya pribadi rutin mengikuti kisah-kisah yang dituturkan Opa dan Oma Tjiptadinata melalui tulisan-tulisannya di halaman Kompasiana. Tulisan keduanya tak jarang saling melengkapi satu sama lain, ibarat kopi dan gula, yang ketika mendapat seduhan air panas yang pas, akan menghasilkan secangkir kopi hitam yang nikmat. Tulisan-tulisan beliau berdua pun terasa nikmat untuk dicerna dan diresapi; tidak hanya sebatas pada kisah-kisah yang dituturkan, namun banyak yang mengandung nasihat dan petuah berharga warisan leluhur.

Produktivitas keduanya dalam menghasilkan tulisan barangkali akan sulit dicarikan tandingannya di antara sesama penulis yang usianya sepantaran beliau berdua di zaman ini. Usia keduanya memang tak lagi muda, persis seperti istilah “gaek” yang pernah termuat dalam beberapa tulisannya. Menurut KBBI, frasa “gaek” artinya tua sekali atau tua renta.

Sebuah pepatah lama berujar demikian, “Semakin tua usia seseorang, biasanya ia akan menjadi semakin bijaksana!” dan bunyi pepatah itu sungguh menjadi kenyataan dalam diri dua Kompasianer kawakan ini.

Ketika sebagian manula menghadapi tantangan penyakit pikun, keduanya justru menawarkan “obat mujarab” untuk melawannya, yaitu dengan menulis setiap hari. Menulis dapat menjadi sarana yang jitu untuk merawat pikiran sekaligus mengumpulkan setiap kenangan dan merangkainya menjadi buku catatan perjalanan; yang tidak saja menginspirasi, namun juga pasti memberi arti pada dunia kehidupan yang menopang keduanya.

 

Menimba Ilmu Literasi

Pada HUT Kompasiana ke-12 di tahun 2020 silam, sebagian besar tulisan yang tersaji kala itu banyak yang menyematkan nama mereka berdua, namun hal tersebut tidak menjadikan kedua sosok ini “jemawa”. Mereka tetap menjadi pribadi-pribadi yang sederhana, dengan senyum ramahnya yang sederhana pula.

Dan pada HUT Kompasiana ke-16 di tahun 2024 ini, saya kembali menjumpai banyak tulisan yang ditujukan untuk Opa dan Oma Tjip yang akan merayakan Pesta Intan Hari Ulang Tahun Perkawinannya di tahun 2025.

Sebagai penulis muda yang baru berkiprah seumur jagung, saya akan terus belajar dan menimba ilmu literasi dari Opa dan Oma Tjip. Saya pun bertekad untuk mendidik buah hati saya akan menjadi pribadi-pribadi yang melek literasi sejak dini. Sebab tantangan ke depannya tentu akan semakin tidak mudah.

Meskipun teknologi semakin maju, namun sebagai manusia, kita tidak boleh pasrah pada teknologi semata. Dengan bekal literasi yang cukup, kita dapat menjadikan teknologi sebagai mitra untuk berkarya; dengan tetap mengandalkan dan memanfaatkan pikiran kita secara aktif, di tengah gempuran artificial intelligence (Ai) yang semakin masif. Jangan sampai kehadiran Ai ini justru menjadikan kita malas berpikir, dan menyerahkan segala sesuatunya pada Ai.

“Jangan ya Dek, ya!” mungkin demikian bunyi peringatan dengan bahasa kekinian yang harus kita tanamkan dalam diri kita masing-masing. Sebuah pepatah Latin berbunyi, “Corgito ergo sum”, yang bermakna, “Saya berpikir maka saya ada”. Jika pepatah Latin ini dimaknai lebih jauh, dan diperbandingkan dengan opini tentang Ai di atas; maka jika kita tidak lagi berpikir, dan lebih memilih Ai sebagai sarana untuk berpikir, maka artinya eksistensi diri kita seolah-olah tak ada lagi di dunia.

Tentu bisa dibayangkan, jika kita mengistirahatkan otak kita untuk berpikir, maka lama-kelamaan kemampuan otak kita yang super itu dengan sendirinya akan melemah. Dan aktivitas menulis menjadi salah satu wadah yang tepat untuk mengasah kemampuan berpikir otak kita masing-masing.

Seperti dirilis Kompas.com, Michael Skeide dari Max Planck Institute for Human Cognitive and Brains Sciences di Leipzig, Jerman, dan koleganya dalam sebuah penelitian menemukan bahwa huruf punya efek yang luar biasa bagi otak. Melalui penelitian tersebut diketahui, jaringan otak manusia ternyata dapat diperbaharui dan ditingkatkan dengan cara yang mudah, yaitu belajar membaca dan menulis.

Dari sini saya semakin memahami, mengapa Opa dan Oma Tjip begitu getol membaca dan menulis setiap hari. Hal senada juga banyak dilakukan oleh para penulis tersohor dunia yang terkenal dengan karya-karyanya. Kuncinya ternyata “membaca dan menulis”, dan dampaknya sungguh luar biasa.

Di akhir tulisan sederhana ini, saya sekeluarga ingin mengucapkan selamat berbahagia untuk Opa dan Oma Tjiptadinata yang akan menyambut HUT ke-60 perkawinannya yang akan dirayakan di tahun 2025 mendatang. Semoga Tuhan Yang Maha Baik menganugerahkan kesehatan dan kebahagian berlimpah bagi Opa dan Oma yang berbahagia.

 

Salam hormat dari Kota Seribu Sungai,

Banjarmasin, 22 Oktober 2024

#60thWeddingAnniversary