“Anak saya saat TK sering mendapat bintang ketika berhasil melakukan sesuatu. Kemudian setelah masuk SD, pemberian bintang sebagai bentuk penghargaan itu sudah jarang bahkan hampir tidak pernah dilakukan. Ketika saya tanya pun, anak sepertinya kurang bersemangat. Tidak antusias lagi dalam belajar. Jika seperti itu bukankah memberi reward termasuk hal yang baik karena bisa memotivasi anak untuk belajar?”
Begitulah kisah yang dituturkan oleh teman saya dalam salah satu sesi penyegaran Pengajar Praktik Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 6. Bu Andri Nurcahyani, S.Pd., M.S. selaku instruktur kemudian balas bertanya, “Bapak dan Ibu … ketika kita bisa membantu orang lain, apa sebenarnya yang kita dapatkan?”
Nah, apa jawaban Anda?
….
Banyak peserta kemudian menjawab bahagia, senang, empati, dsb. Itulah reward alami yang didapat ketika kita berbuat kebaikan. Memberi stiker bintang untuk anak TK yang telah berbuat kebaikan (misal karena telah berbagi makanan dengan temannya) itu boleh saja dilakukan selama reward aslinya tidak hilang.
Jangan sampai, reward bintang justru menggantikan reward alami. Artinya, anak ingin berbuat baik karena motivasinya adalah untuk mendapat bintang. Bukankah di sekitar masih terjadi orang yang saling sikut (misalnya) untuk mendapat (reward) posisi tertinggi/keuntungan pribadi? Inilah mengapa pemberian reward sebaiknya tidak dibiasakan. Agar anak mampu merasakan dan mendapatkan reward alami, nilai-nilai kebajikan.
Apresiasi
Untuk menghilangkan reward, kita bisa berlatih dengan memberi apresiasi (dalam KBBI berarti penilaian/penghargaan terhadap sesuatu). Misal ketika anak-anak mendapat nilai ujian, kita beri apresiasi dengan memberi makanan kesukaan mereka. Dengan catatan, kue diberikan “setelah” anak selesai ujian.
Tak perlu menyampaikan di awal (sebelum anak menempuh ujian) bahwa kita akan memberi kue, misal dengan mengatakan “Anak-anak, kalau nilai ujian kalian bagus, Ibu akan belikan kue kesukaan kalian.” Hal ini untuk menjaga motivasi internal anak dalam mengikuti ujian. Belajar agar sukses ujian, bukan belajar untuk mendapat kue.
Hal penting lain dalam apresiasi adalah sampaikan bukti/fakta yang dilakukan anak. Misal, ketika kita melihat seorang anak menggambar dengan sangat baik, apresiasi bukanlah sekedar mengucapkan “Kamu hebat!” atau sekedar mengacungkan jempol. Saat mengapresiasi, kita bisa mengatakan, “Wah, gambarmu bagus sekali. Lihat tampak seolah nyata!”
Kita bahkan harus mampu membantu anak untuk menyadari potensinya. Kita bisa juga bertanya “Menurut Ibu gambar kamu bagus. Menurut kamu bagaimana?” Pertanyaan yang disampaikan akan membantu anak untuk menilai dirinya sendiri. Menemukan potensinya. Mengetahui kekuatannya. Bila ternyata anak masih menganggap biasa saja, kita bisa bantu dengan menyampaikan fakta-fakta penting yang kita lihat.
Gunakan Konsekuensi, Bukan Hukuman
Lalu bagaimana dengan hukuman? Satu dua guru mungkin masih berpendapat bahwa tanpa hukuman, anak akan sulit untuk didisiplinkan. Alih-alih memberi hukuman, lebih baik mengajarkan anak bagaimana menerima sebuah konsekuensi.
Punishment (hukuman) jelas berbeda dengan konsekuensi. Konsekuensi adalah akibat dari suatu perbuatan. Sedangkan hukuman (menurut KBBI) adalah hasil atau akibat menghukum (membiarkan orang menderita atau susah sebagai balasan atas pelanggaran yang telah dilakukannya).
Erica Reischer, Ph.D. dalam bukunya Seni Menjadi Orang Tua hebat mengungkapkan “Biarkan anak-anak mengalami konsekuensi-konsekuensi alami dari tindakan dan pilihan mereka. Hal ini penting untuk pembelajaran.” Ya, biarkan anak belajar dari pengalaman. Menghadapi berbagai konsekuensi atas pilihan mereka.
Selain konsekuensi alami, (misal ketika anak memilih tidak membawa alat tulis ke sekolah maka konsekuensi alaminya anak tidak bisa menulis atau harus meminjam kepada temannya) ada juga konsekuensi buatan. Konsekuensi yang sengaja dibuat sebaiknya tidak bersifat menghukum apalagi mempermalukan orang yang berbuat kesalahan. Fokus pada perbaikan karakter, bukan pada sosok pribadinya. Tugas kita bersama (sebagai pendidik atau orang tua atau pemimpin) untuk menumbuhkan motivasi internal dari anak-anak kita dalam berperilaku.
Pastikan konsekuensi yang dibuat berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan. Misal jika seorang anak tidak mengerjakan PR, kita bisa memintanya mengerjakan sebelum pulang alih-alih menjemur anak di lapangan.
Hal ini sejalan dengan teori motivasi yang mendasari tingkah laku seseorang. Bahwa motivasi terendah adalah motivasi eksternal karena takut hukuman/menghindari ketidaknyamanan. Anak belajar karena takut dihukum (bila tidak belajar akan mendapat hukuman).
Motivasi berikutnya adalah karena menginginkan reward/imbalan, misal anak belajar karena ingin mendapat hadiah sepeda atau mendapat predikat anak pintar (berperilaku untuk mendapat penilaian positif). Meski masih motivasi eksternal, menginginkan reward masih lebih baik karena lingkupnya positif (berbeda dengan menghindari hukuman yang masih beraura negatif).
Motivasi tertinggi dan paling baik tentu saja merupakan motivasi internal. Motivasi berperilaku karena anak sadar dengan nilai-nilai kebajikan. Misal seorang anak belajar karena sadar belajar dapat mengantarkannya menggapai cita-cita.
Menghilangkan reward and punishment dalam proses pembelajaran tentu butuh waktu. Saya pun masih berusaha konsisten untuk tidak lagi menggunakan reward and punishment. Masih belajar untuk menanamkan nilai-nilai kebajikan. Membantu anak menemukan potensinya. Semoga kelak bisa lebih baik dalam menerapkan no more reward and punishment.
Semoga bermanfaat, salam kebajikan.
Terimakasih tulisannya Bu Ditta.
Memang sulit menghapus reward dan punishment, tp perlahan pasti bisa.