Suaka Margakata-Guntur Alam

   

Suaka Margakata

Keluarga Arkais dalam Habitat Guntur Alam

Oleh: Erry Yulia Siahaan

Guntur Alam (Sumber: https://twitter.com/alamguntur)

Mengais kata-kata arkais seakan tak ingin lekas habis. Kemarin ada Benny Arnas, kali ini ada Guntur Alam. Di tangan pemuda kelahiran Tanah Abang, Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera-Selatan, 20 November ini, keluarga arkais tersembul di sana-sini, begitu mengalir, seakan tidak ada batas antara yang arkais dan yang bukan, ibarat satu senyawa dalam sebuah larutan.

Guntur Alam, seperti halnya Benny Arnas (baca di sini), merupakan contoh dari sebagian kecil penulis yang melebur arkais sebagai sebuah inklusi dalam kreasinya. Guntur Alam dikenal sebagai penulis cerita pendek (cerpen), khususnya yang bernuansa kisah rakyat atau berbau lokal. Siapa sangka, pemuda yang pernah belajar menulis di Bengkel Cerpen Nida tahun 2005 ini adalah seorang sarjana Teknik Sipil, jebolan Universitas Islam “45” Bekasi. 

Guntur Alam kaya akan prestasi. Antara lain sebagai Juara 1 Sayembara Menulis Cerita Rakyat Kabupaten Muara Enim 2003; 1 dari 10 Cerpenis Terbaik Festival Seni Surabaya 2010; Juara 2 Lomba Cipta Cerpen Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga 2011; Cerpenis Pilihan Kompas 2011-2014; 1 dari 15 Penulis yang lulus seleksi kurator untuk berpartisipasi dalam Ubud Writers and Readers Festival 2012 pada 3-7 Oktober 2012; 20 Besar Lomba Penulisan Romance Qanita-Mizan 2012; Juara 1 Sayembara Menulis Cerpen “Banten, Suatu Ketika” Banten Muda Community 2012; Juara 3 Lomba Mengarang Cerpen Pascasarjana Universitas Negeri Makassar 2013; Juara 3 Kompetisi Tulis Nusantara Kategori Fiksi 2014; Juara 2 Lomba Menulis Hidangan Istimewa Tabloid Sajian Sedap 2015, Juara Harapan Sayembara Cerpen Taman Fiksi 2015 dan lain-lain.

Cerpen-cerpennya mengisi berbagai laman media massa nasional dan lokal. Buku kumpulan cerpennya antara lain adalah Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2015. Guntur Alam juga dikenal sebagai seorang novelis.

Sumber: klipingsastra.com

Sumber: klipingsastra.com

Berikut ini contoh kata-kata arkais dalam cerpen Sebatang Pohon yang Tak Bahagia (yang pernah dimuat dalam Tabloid Nova pada 2017), De Njai Itih (Kedaulatan Rakyat, 2016), dan Maryam Beranak di Limas Isa (2016), Dalam cerpen yang pertama dan kedua, bisa dihitung masing-masing hanya satu kata arkais yang dimasukkan dalam tulisan, yaitu “menguarkan” dan “membuncah”. Lebih lengkapnya bisa disimak dalam penggalan tulisannya berikut ini:

“DI belakang rumah kami, ada sebatang pohon sawo yang tak bahagia. Pohon sawo itu dibeli dan ditanam ibu jauh sebelum aku lahir. Buahnya kecil-kecil tapi manis dan aku suka. Sayangnya, sejak ibu mengatakan pohon sawo itu tak bahagia, aku mulai tak suka memakan buahnya. Dan sekarang benar-benar berhenti memakannya, jadi buah-buahnya yang masak gugur begitu saja, menguarkan baunya yang manis dan segerombolan kelelawar datang saban malamnya.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terdapat pengertian “menguarkan” sebagai kata yang berakar pada kata “kuar” (termasuk verbia) yang berarti “mengulurkan (tongkat dan sebagainya) untuk meraba-raba”; atau berakar pada kata “uar” yang berarti “mengeluarkan (bau dan sebagainya)”. Selanjutnya:

Sumber: id.klipingsastra.com

“Dadaku berdebar-debar saat cupingku menangkap perkataannya itu. Ibu menoleh padaku, lalu menatap perempuan pribumi berkebaya putih di depannya, Nyai Enci, dia tersenyum. Ibu pun tersenyum, hangat, seperti lelehan cokelat. Dadaku berdegup-degup melihat senyuman keduanya. Harapanku membuncah seperti semburan wiski yang dikocok sekencang dan selama mungkin, lalu penyumbat botonya dibuka tiba-tiba.” 

Menurut KBBI, “membuncah” berarti keruh (tentang air); gelisah; kacau (tentang hati atau pikiran).

Pada cerpen berikutnya, tersemai banyak kata-kata arkais. Seperti “terakan”, “limas”, “trap”, “melucumkan”, “mengili-ngili”, “menyempal-nyempal”, “ranakan”, “jurai”, “balam”, “meriap”, “mengingkat”.

Ilustrasi cerpen karya Amrizal Salayan (Sumber: www.kompas.id/)

Seperti halnya Benny Arnas, adakalanya Guntur Alam tidak memasukkan kata arkais dalam tulisannya. Misalnya, pada cerpen Kue Itu Memakan Ayahku (Kompas, 2018). Namun demikian, hal itu tidak mengurangi kualitas seorang Guntur Alam selaku inisiator, protektor, sekaligus kreator konten yang memberikan habitat pada kata-kata arkais. Tentang ini kita patut mengapresiasi. ***

#Lomba Blog PGRI Bulan Februari 2021

#Hari ke-3, Rabu, 3 Februari 2021

 

Tinggalkan Balasan