KMAC H-24 Redundant 21: Menghadapi Kepribadian Playing the Victim

Redundant 21:

Menghadapi Kepribadian Playing the Victim

Oleh Erry Yulia Siahaan

Playing the victim atau playing victim adalah karakter di mana seseorang cenderung berperilaku sebagai korban atas permasalahan yang dihadapi. Alih-alih mengintrospeksi diri, orang tersebut cenderung melemparkan kesalahan pada orang lain. Artinya, orang tersebut kurang bertanggungjawab. Dengan manipulasi, dia memposisikan diri sebagai korban yang sedang mencari keadilan. Yang penting, tujuannya tercapai. Hidupnya penuh drama, yang dipandangnya karena kesalahan orang lain, bukan dirinya. Biasanya, semakin dibiarkan, pribadi seperti ini bisa membuat suatu hubungan tidak bertahan. Bahkan, tambah runyam.

Karakter ini bisa ditemukan di mana saja. Tidak hanya di ruang kerja seperti yang teman saya alami (baca: Redundant 20: Playing the Victim), tetapi bisa juga di rumah antara orangtua dan anak, antarsaudara, atau antara suami-isteri, dan dalam relasi pertemanan.

Di tempat kerja, kita mungkin sering mendengar seseorang yang berkata, “Loh, bagaimana saya bisa menyelesaikan tugas itu, saya baru diberitahu beberapa hari yang lalu”. Padahal, ketika tugas itu diberikan, dia menyatakan sanggup atau tidak menyatakan keberatan apapun.

Atau, “Oh, yang kemarin itu tugas buat saya, ya. Saya kira cuma pemberitahuan untuk siapa saja yang bersedia”. Padahal, jelas-jelas dia yang diserahi tugas itu dan banyak saksinya.

Atau, “Kamu sih tidak bilang, kalau ini harus selesai hari ini.” Padahal, dia sudah diberitahu batas waktu tugas itu harus selesai. Atau, ungkapan lain semacamnya.

(Sumber: Unsplash)

Persoalan yang seringkali terdengar dari kepribadian seperti ini adalah kewalahan dari orang-orang yang berinteraksi dengan pribadi tersebut. Yakni, jika kepribadian itu seperti sudah “membatu” dalam diri yang bersangkutan alias “lengket” sehingga menjadikan pribadi bersangkutan sulit dihadapi, bahkan cenderung dijauhi.

Kalau baru satu-dua kali berinteraksi dengan tipe pribadi seperti itu, respon awal orang mungkin mau mendengarkan dengan penuh perhatian. Kalau keseringan, lama-lama orang mungkin malah bosan. Bahkan, kesal. Yang parah, orang bisa terhanyut sebagai korban lantaran sangking kesalnya memikirkan tingkah-laku seperti itu atau teralihkan perhatian dan energinya secara percuma, padahal ada hal-hal lain yang lebih penting untuk diurus.

Seperti yang dialami oleh teman saya. Sebagai atasan, dia merasa kewalahan menghadapi bawahan dengan kecenderungan karakter seperti itu. Selain banyak pekerjaan yang menjadi terbengkalai dan melampaui deadline, hubungan kerja juga bertambah tidak harmonis.

Untuk urusan pekerjaan atau pada ranah profesionalisme, mungkin orang-orang demikian bisa diatasi melalui solusi dari pihak manajemen. Namun, bagaimana jika karakter itu muncul dalam kehidupan sehari-hari di luar ranah pekerjaan? Atau, mungkin kita sendiri juga suka menerapkan sifat seperti itu?

Kenali Tanda-tandanya

Sebelum membahas bagaimana menghadapi karakter playing the victim, mari kenali sejumlah ciri mengapa seseorang disebut berkarakter playing the victim.

Dr. Chirstian Maciel (Sumber: Lifehack)

Penulis, gurubesar, dan konselor perkawinan dan keluarga, Dr. Christian Maciel menyebutkan 14 tanda untuk kepribadian playing the victim. Yaitu: (1) tidak bertanggungjawab, (2) keukeuh sebagai orang lemah dan hidupnya stagnan (begitu-begitu saja), (3) menyimpan dendam, (4) sulit bersikap asertif, (5) merasa tak berdaya tapi manipulatif, (6) tidak mempercayai orang lain, (7) tidak memiliki batasan, (8) banyak berdalih, (9) mengasihani diri sendiri, (10) membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, (11) melihat hidupnya selalu kekurangan, (12) kritis, (13) tiba-tiba merasa diri sempurna ketika membuat kesalahan, (14) “baper”-an (suka terbawa perasaan, ngambek, dan memutuskan hubungan).

Menurut pakar pengembangan diri, Barrie Davenport, pribadi seperti itu selalu menganggap dunia melawan mereka. Hampir setiap aksi atau reaksi di sekitar mereka memicu respons yang memunculkan karakter itu. Pribadi seperti itu percaya bahwa mereka ditakdirkan untuk mengalami hal-hal buruk, mereka kekurangan kekuatan untuk mengendalikan hal-hal buruk, dan segala upaya untuk menghentikan hal-hal buruk akan mendatangkan lebih banyak hal buruk.

Tidak tanggung-tanggung, Davenport menilai karakter ini sebagai masalah kesehatan mental, dengan ciri:

Barrie Davenport (Sumber: blog.hubspot.com)

“Ini bukan salah saya.”, dalam artian orang tersebut tidak akan pernah bertanggung jawab atas tindakan atau reaksinya.

“Ini adalah apa adanya.”, dalam artian orang tersebut menegaskan tidak ada solusi.

“Lagipula tidak ada yang peduli.”, dalam artian orang tersebut percaya bahwa dia berjuang sendirian dalam permasalahan yang dihadapinya.

Menghadapinya

Maciel, dalam situs Lifehack, menyelipkan poin-poin cara menghadapi karakter tersebut berdasarkan ke-14 tanda yang disebutkannya itu. Intinya, setiap indikasi tersebut sebenarnya bisa diintervensi agar pribadi playing the victim tidak makin terpuruk oleh keadaannya. Ini melihat juga kasus per kasus. Sebab, ternyata karakter ini bisa dalam level ringan, bisa dalam taraf berat.

Kalau masih ringan-ringan, kita bisa memberikan dukungan dengan tidak menghindari orang dengan kepribadian tersebut, melainkan tetap berinteraksi dengan membantunya untuk berkembang ke arah lebih baik. Sebab, setiap situasi, keadaan, dan peristiwa bisa menggiring pribadi tersebut ke arah lebih buruk (jika dibiarkan) atau ke arah lebih baik (jika mendapatkan pendampingan).

Kalau sudah berat, baik Maciel maupun Davenport, justru menyarankan kita sebaiknya lebih menyerahkannya kepada psikolog. Artinya, kita tidak menjauhi mereka, namun kita juga tetap berhati-hati untuk tidak terlibat dalam “permainan manipulatif” mereka. Orang demikian sangat dianjurkan untuk menjalani konseling.

Contoh di mana kita bisa berkontribusi adalah ketika seseorang memperlihatkan tanda tidak bertanggungjawab (poin kesatu dari 14 tanda yang disebutkan oleh Maciel). Dalam hal ini pelaku cenderung memposisikan orang lain sebagai yang bersalah alias dirinya menolak untuk bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi, bahkan atas keadaan yang mereka alami. Menurut Maciel, setiap keadaan dan kejadian bisa membuat seseorang makin baik atau justru makin parah dalam karakternya itu.

Untuk membuatnya berkembang ke arah yang baik, diperlukan seseorang yang dewasa, bertanggung jawab dan kooperatif untuk membimbing kepribadian playing the victim ini  membiasakan diri bertanya “apakah saya andil dalam permasalahan itu”. Meskipun tidak serta-merta menjadikan kepribadian itu menjadi orang yang bertanggungjawab, cara itu akan membantu membuatnya lebih waspada untuk menghindari hal (kesalahan) serupa di kemudian hari.

Contoh lain adalah tanda di mana seseorang cenderung keukeuh sebagai orang lemah dan hidupnya stagnan (begitu-begitu saja). Kepribadian ini percaya bahwa mereka bergantung pada belas kasihan semua orang di sekitarnya dan biasanya sulit membuat kemajuan dalam hidupnya, sehingga kehidupannya stagnan. Jika ditanya mengapa demikian, dia akan mengatakan segudang alasan, tetapi tidak memberitahukan alasan sebenarnya, bahkan juga apa rencananya untuk kehidupannya di kemudian hari. Hal ini, apalagi untuk kasus yang ringan, bisa diatasi dengan membantu orang itu membuat daftar langkah-langkah kecil yang dapat dilakukannya untuk mencapai tujuan dalam hidup. Orang demikian perlu diberikan kesempatan untuk bertanggung jawab, termasuk terhadap diri sendiri. Agar, orang tersebut bisa keluar dari kecenderungan melihat dirinya sebagai korban dan yang perlu dikasihani.

Kasus Berat

Pada kasus yang berat, kita mungkin saja seperti kehabisan akal untuk melakukan apa dalam menghadapi pribadi playing the victim, seperti yang dialami oleh teman saya. Karakter demikian, pada level parah utamanya, bisa membuat kita kehabisan energi, apalagi kalau kita mau terpancing memikirkannya, terpancing emosi, terjebak dalam distraksi, sehingga kita abai terhadap hal-hal yang justru lebih penting.

Pada tanda keempat dari Maciel, pribadi playing the victim biasanya sulit bersikap asertif. Artinya, tidak benar-benar percaya bahwa dia sebenarnya dapat mengendalikan hidupnya. Karena tidak percaya, pribadi playing the victim menjadi cenderung berusaha menuruti apa yang diinginkannya dengan memanfaatkan orang lain dan itu dilakukan berulang-ulang. Padahal, ini hanya akan merugikan harga diri dan perkembangan pribadinya. Bahkan, bisa menjurus pada kegagalan memutus kecenderungan tersebut, dan berpotensi mengalami gangguan kecemasan atau depresi.

Untuk hal ini, Maciel menyarankan pribadi ini segera mencari bantuan dari psikolog profesional atau konselor, untuk memulai mengubah arah hidupnya sebelum akhirnya terlambat. Belajar menjadi asertif bukanlah sesuatu yang instan. Dibutuhkan waktu, latihan, belajar, mencoba, dan gagal berulang kali. Namun, dengan cara ini, pribadi yang semula playing the victim bisa terlepas dari rasa ketidakberdayaan dan kecenderungan mengasihani diri sendiri – yang sekian lama telah menggerogoti dan membuatnya terpuruk. Dalam hal ini, diperlukan teman atau keluarga untuk berlatih dan menjalin komunikasi asertif bagi pribadi-pribadi semacam itu.

Menurut Davenport, perilaku demikian bisa membuat kita serba salah. “Jika Anda mencoba membantu, Anda menyerang korban. Jika Anda menerimanya secara pasif, Anda terjebak dalam kebiasaan mereka. Jika Anda mencoba melawannya, Anda telah menjadikannya korban,” kata penulis sejumlah buku terlaris itu dalam blognya yang terkenal, Live Bold and Bloom. (bersambung)

 

Tinggalkan Balasan

3 komentar