KMAC H-35 Covid Sebabkan Prosopagnosia?

Covid Sebabkan Prosopagnosia?

Oleh Erry Yulia Siahaan
(Sumber: Lia Koltyrina/Shutterstock)

Dapatkah Covid menyebabkan “kebutaan wajah”?

Demikian judul artikel dalam Psychology Today yang terbit Jumat, 17 Maret 2023.

Pertanyaan itu dilontarkan oleh psikolog klinis, Dr. Andrea Bonior, berdasarkan hasil riset yang belum lama ini diterbitkan oleh jurnal ilmiah Cortex pada 9 Maret 2023. Penelitian tersebut melaporkan munculnya kasus prosopagnosia pada seorang wanita berusia 28 tahun, Annie, setelah dia terinfeksi Covid-19.

Prosopagnosia (ada yang menyebutnya sebagai “kebutaan wajah” atau “face blindness”) adalah kondisi di mana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengenali wajah orang yang paling dikenal, bahkan dalam kasus ekstrem wajahnya sendiri.

Dilaporkan bahwa wanita tersebut sebelumnya tidak memiliki masalah dalam pengenalan wajah. Munculnya kasus tersebut telah menimbulkan pertanyaan yang memprihatinkan, akankah kasus-kasus serupa bakal muncul seiring banyaknya jumlah orang yang terinfeksi Covid. Juga, bagaimana penjelasan mengenai dampak neurologis dari Covid terhadap penderitanya?

Tugas A: Contoh gambar item dalam Cambridge Face Memory Test (CFMT). Tugas B: Contoh gambar iitem dalam Cambridge Face Perception Test (CFPT) (Sumber: Research Gate)

Efek pada Otak

Pengaruh Covid pada otak sudah diketahui sejak awal munculnya berita mengenai kasus-kasus infeksi Covid. Dalam banyak kasus, penderita Covid mengalami berkurangnya atau hilangnya kemampuan indera penciuman sebagai gejala yang menonjol. Juga, terjadi masalah pada indera pengecap, daya ingat, gangguan bicara dan bahasa, serta psikologis. Namun, pengaruh Covid pada kemampuan navigasi dan pengenalan wajah, relatif kurang mendapatkan perhatian.

Marie-Luise Kieseler dan Brad Duchaine dalam Cortex menjelaskan pengalaman Annie. Dua bulan setelah tertular Covid pada musim semi tahun 2020, Annie mengalami gejala pernapasan yang khas, termasuk demam dan batuk. Annie juga menyadari “ada yang tidak beres” dengan persepsinya tentang wajah. Termasuk ketika dia berusaha keras membedakan yang mana (wajah) ayahnya dan pamannya, serta mengalami sensasi meresahkan dengan tidak mengenali lagi suara-suara yang dulunya akrab di telinganya

Sebagai pelukis wajah paruh waktu, Annie memiliki keterampilan visual yang substansial dan detail mengenai persepsi wajah. Sebelum didiagnosis positif Covid pada Maret 2020, Annie mengatakan tidak ada masalah dengan kemampuannya tersebut. Dia bisa menggambar wajah seseorang tanpa harus melihat foto dari orang itu. Sekarang, Annie kesulitan melakukan hal serupa, seperti ketika dia harus memahami bahasa yang sama sekali asing baginya.

Berdasarkan hasil test memori terhadap empat wajah berbeda (dua wajah yang dikenal dan dua wajah yang tidak dikenal), skor kemampuan Annie terbukti rendah sekali. Meskipun kemampuannya dalam navigasi wajah menurun, fungsi kognitif Annie secara keseluruhan tidak terlalu terpengaruh. Annie mendapat skor normal pada tes lain termasuk pengenalan objek, pengenalan adegan, dan memori non-visual.

Cortex mencatat, defisit navigasi sering terjadi bersamaan dengan prosopagnosia. Annie melaporkan bahwa kemampuan navigasinya jauh lebih buruk daripada sebelum dia jatuh sakit. Data survei laporan diri dari 54 responden dengan long COVID menunjukkan, mayoritas responden mengalami penurunan pengenalan visual dan kemampuan navigasi.

“Singkatnya, hasil Annie menunjukkan bahwa COVID-19 dapat menghasilkan gangguan neuropsikologis yang parah dan selektif yang mirip dengan defisit yang terlihat setelah kerusakan otak, dan tampaknya gangguan visual tingkat tinggi tidak jarang terjadi pada orang dengan long COVID,” kata Cortex.

Prosopagnosia (Sumber: Wikimedia)

Stroke

Dalam tulisannya, Bonior mengingatkan, penting untuk menggarisbawahi juga batasan dalam kasus Annie tersebut. Misalnya, bahwa Annie pernah mengalami stroke. Seperti diketahui, risiko stroke meningkat pada kasus Covid. Juga, diagnosis Covid itu sendiri (pada masa awal pandemi di mana penegakan diagnosis masih sulit dilakukan) ternyata tidak bisa dipastikan positif Covid, meskipun ada dugaan kuat ke arah sana.

Kasus serupa Annie hingga kini tergolong jarang, namun tidak menutup kemungkinan ada tapi tidak terlaporkan. Baik karena yang bersangkutan tidak mencari pengobatan, atau terjadi penggabungan gejala prosopagnosia ke dalam kategori masalah otak yang lebih luas, yang merupakan keluhan sangat umum bagi mereka yang menderita Covid cukup lama. Kasus Annie sendiri dinilai cukup untuk mengaitkan infeksi Covid dengan kemungkinan terjadinya gangguan kognitif untuk tipe yang sangat selektif.

Dengan adanya temuan tersebut, kata Bonior, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji korelasi antara Covid dan risiko neurologis dan psikiatris jangka panjang yang disebabkannya.

(Sumber: Scribe Publication)

Prosopagnosia

Psychology Today mendefinisikan prosopagnosia sebagai kasus di mana seseorang tidak dapat mengenali wajah yang dikenalnya dan seringkali tidak dapat membedakan wajah orang asing. Mereka mungkin juga kesulitan mengenali tempat atau benda yang sudah dikenal atau untuk mengenali perbedaan antara wajah seseorang dan benda lain. Beberapa penderita prosopagnosia bahkan kesulitan mengenali dirinya sendiri. Para peneliti memperkirakan bahwa 1 dari 50 orang mungkin memiliki beberapa bentuk prosopagnosia.

Selain diduga berkaitan dengan infeksi Covid seperti pada kasus Annie di atas, prosopagnosia bisa muncul dan berkembang selama masa kanak-kanak karena faktor keturunan, tapi bisa juga akibat kelainan atau kerusakan otak prenatal atau pada masa kanak-kanak. Prosopagnosia non-keturunan bisa terjadi pada usia tua setelah cedera otak, stroke, atau timbulnya penyakit degeneratif. Mendiagnosis prosopagnosia secara akurat seringkali terbukti sulit, karena pengenalan wajah melibatkan proses kompleks di otak.

Untuk kasus prosopagnosia, kata Psychology Today, istilah “kebutaan wajah” sedikit keliru. Seseorang dengan kondisi ini mungkin melihat langsung ke wajah seseorang, tetapi tidak dapat menangkap pengenalan keseluruhan wajahnya. Mereka mungkin hanya dapat fokus dan mengidentifikasi fitur individual. Setelah wajah orang itu berlalu dari pandangan, mereka tidak dapat mengingatnya kembali. Selain “kebutaan wajah”, penderita prosopagnosia mungkin juga sulit mengenali petunjuk tentang wajah seseorang dan untuk mengingat suatu tempat.

Bagian otak yang bermasalah dalam kasus ini adalah fusiform gyrus yang bertanggung jawab untuk mengenali wajah manusia secara lebih rinci daripada benda mati yang sama rumitnya. Bagian ini diyakini berhubungan dengan memori. Ada teori yang menyatakan bahwa prosopagnosia terjadi ketika fusiform gyrus berubah bentuk atau rusak.

Diagnosis dilakukan melalui sejumlah tes di mana penyandang prosopagnosia harus mengidentifikasi wajah orang terkenal dengan benar. Dalam Benton Facial Recognition Test (BFRT), peserta harus mencocokkan wajah target dengan salah satu dari enam pilihan wajah yang berbeda. Dalam Cambridge Face Memory Test (CFMT), penyandang prosopagnosia diperkenalkan pada enam wajah target; kemudian mereka diuji dengan serangkaian tiga wajah, termasuk satu wajah target yang sudah dikenal, yang harus mereka identifikasi dengan benar.

Hingga kini belum ada obat untuk prosopagnosia. Dengan adanya kemungkinan bahwa penyandang prosopagnosia mengalami gejala kecemasan atau depresi, bantuan seorang profesional mungkin dibutuhkan.

Sementara itu, diperlukan pula upaya untuk mengembangkan keterampilan kompensasi untuk mengenali individu, termasuk teman, anggota keluarga, dan kenalan, seperti memperhatikan tanda-tanda khusus mencakup karakteristik fisik atau suara yang unik. Contohnya, seorang guru dapat mengidentifikasi seorang siswa dari tempat duduknya di kelas atau ransel yang dikenakan siswa setiap hari. Penyandang prosopagnosia bisa terinspirasi dari orang-orang terkenal yang telah berhasil mengatasi kondisi tersebut, termasuk Oliver Sacks dan Chuck Close. ***