Kejutan dari Sebuah Mangga

Kiri: Sebuah mangga di depan rumah Lia. (Foto: Pedro PK de Ornay Purba/Dokumentasi pribadi) Kanan: Seperti ini bentuk mangga tersebut. (Foto: PNGTree)

Ini cerita tentang sebuah mangga. Kuning. Berukuran sedang, dengan ujung sedikit melengkung seperti tanda baca koma.

Ia menggelantung, sebatang kara di antara ratusan helai daun. Ranum, tapi masih kokoh menempel pada pohon. Ia luput dari pandangan bila tak benar-benar diperhatikan. Bak sehelai daun kering yang menyangkut di tempat itu. Seperti layang-layang yang terbawa angin dan rebah di sela kerindangan.

Entah sudah berapa lama ia di sana, menghabiskan masa hijaunya dan kini menikmati kuningnya. Si empunya bahkan tak menyadari sebelumnya, hingga suatu sore perempuan lanjut usia (lansia) itu berkata setengah berteriak kepada anaknya yang bungsu, “De, ada mangga.”

De, ada mangga,” katanya lagi, penuh semangat, ingin Ade (panggilan untuk anak bungsunya) segera turun dari pagar di dekat pohon, dan menjadi saksinya.

Itu terjadi kemarin sore. Lia dan Ade tengah sibuk membersihkan tumpahan pinang merah di atas parit di luar pagar. Buah-buah itu berserakan sampai ke trotoar. Bahkan, ada yang sampai mengambil badan aspal di depan rumah.

Berbenah

Dengan sapu lidi, pengki, pacul, dan serokan, Lia dan Ade berbenah. Lia bergerak dari titik pagar pas di tikungan. Ade bergerak dari ujung berlawanan, yakni di area dekat pintu masuk dan keluar. Rencananya, mereka akan bertemu di titik tengah.

Rumah mereka terletak di siku jalan. Luaran pagar di atas parit sepanjang sekitar 30 meter itu di satu sisi ditanami pohon-pohon pinang, yang setelah hampir 20 tahun ini menjadi tinggi menjulang. Barisan tanaman itu tampak gagah dari kejauhan. Di sisi lain, luaran pagar ditanami pepohonan dari dua-tiga macam.

Buah pinang yang masak dan merah di kebun. (Foto: IStock)

Buah-buah pinang itu rimbun, cantik. Hijau atau kemerahan. Seperti buah-buah melinjo yang untuk sayur asem, tetapi berukuran lebih besar. Buah-buah itu berguguran bilamana angin kencang datang, seperti yang kerap terjadi belakangan ini. Mereka berserakan di sana-sini. Kadang ditiban lepahan daun kering yang ikut tumbang dari si pinang. Jika tidak segera dibersihkan, semua itu bakal merusak pemandangan.

Kalau dibiarkan lebih lama, buah-buah itu berubah menjadi kehitaman. Terguyur air hujan dan lembab pagi, mereka bisa menjadi lengket di aspal, khususnya di trotoar atau di lipatan beton yang sedikit ditinggikan untuk memagari pohon-pohon pinang itu. Sebagian menjadi gepeng karena sempat terinjak atau terlindas kendaraan.

Lia dan Ade bekerjasama dengan baik. Lia memegang sapu lidi besar yang bergagang tinggi dan serokan. Dengan alat-alat itu, Lia mengumpulkan buah-buah pinang dan memasukkannya ke pengki besar. Ade mengerok dengan pacul bagian-bagian yang lengket dengan buah pinang. Hasil serokan ditaruh di pengki. Setelah penuh, pengki berisi buah pinang itu diangkat masuk ke halaman di balik pagar. Sampah organik itu dibiarkan menumpuk di beberapa tempat agar lapukannya bisa menjadi pupuk alami.

Sebuah mangga di depan rumah Lia. (Foto: Pedro PK de Ornay Purba/Dokumentasi pribadi)

Memanjat Pagar

Ade naik ke pagar agar lebih mudah memindahkan daun pinang kering yang panjang-panjang ke halaman rumah di balik pagar. Meskipun kering, mengangkatnya lumayan repot. Kadang ia harus ditekuk supaya menjadi lebih pendek, atau diseret begitu saja dari luar ke dalam, melalui pagar yang panjangnya lumayan.

Ade sempat menggiring dua-tiga lembaran daun dari luar ke dalam. Dia melihat masih ada lagi beberapa daun. Itu berarti, Ade masih perlu beberapa kali bolak-balik. Ade melihat, ada cara lain untuk memindahkannya.

Dia memanjat pagar hitam yang tersusun dari rangka-rangka besi horisontal itu. Ade terlebih dulu mencantelkan daun kering di punggung pagar. Setelah posisi panjatannya mantap, Ade memungut daun itu. Ade meminta Lia membantu memegangi pangkal daun dan sedikit mengangkatnya, supaya daun itu lebih mudah dipindahkan dari luar ke dalam.

Kejutan

Pada saat membantu Ade mengangkat pangkal daun, Lia menengadah. Lia menyapu pandangan secara acak. Di satu titik, di pohon mangga dekat Ade memanjat, Lia terpana. Pandangannya terhenti pada satu bentuk, kuning, di sela yang hijau-hijau.

Lia tak pernah menyangka bahwa yang dilihatnya kuning itu ternyata mangga. Lia butuh waktu beberapa saat untuk memastikan dulu bahwa itu benar-benar mangga. Maklum, Lia sedang tidak berkacamata. Lia tidak mau berteriak padahal dimensi visualnya keliru ternyata.

Buat Lia dan keluarganya, kemunculan mangga itu merupakan sebuah kejutan. “Keajaiban”. Mereka sudah pasrah apakah pohon itu bakal berbuah atau tidak. Sudah lebih dari sepuluh tahun, kalau mereka tidak salah hitung, pohon itu ada di pekarangan.

Beberapa kali pohon itu dipangkas. Kakak ipar Lia sampai membacok-bacok batangnya. “Supaya berbuah,” kata kakak iparnya.

Toh, tidak juga berbuah. Tanda-tanda berbunga pun tak pernah terlihat, seingat Lia.

Bahwa muncul sebuah mangga, itu membuat Lia senang bukan kepalang. Anak sulung Lia yang sudah menikah dan tinggal beda rumah, ikut penasaran setelah diceritakan. Dia meminta dikirimi fotonya. Lia mengirimi foto hasil bidikan kemarin sore.

Tadi siang, sehabis membidiknya ulang dengan kamera handphone, Lia mengambil bambu panjang, lalu menyodokkannya pada tangkai si mangga. Mangga masih tetap ditempatnya.

Lia berencana memetiknya besok pagi sepulang gereja, dengan galah, yang baru saja diperhatikannya ada di salah satu sudut di garasi rumah. Besok, Lia berencana berziarah ke makam suaminya, bersama keluarga, selazimnya dilakukan pada hari Paskah. Lia ingin membawa mangga itu untuk diperlihatkan kepada anak sulung dan menantunya. Mereka berjanji bertemu di area pemakaman.

Tadinya, anak sulung dan menantunya akan menjemput Lia dan Ade di rumah, lalu mereka bersama-sama berziarah dan makan siang bersama. Lia menolak dijemput dan berada satu mobil dengan anak sulung serta menantunya. Juga, membatalkan rencana makan siang bersama. Itu karena Lia sedang mengalami gejala flu dan gatal di tenggorokan, hingga badan terasa lebih panas daripada yang biasa.

Lia – yang sangat paham soal kesehatan – tidak mau menularkan virus kepada anak sulung dan menantunya. Apalagi, Lia sekarang sedang menanti kelahiran cucu pertamanya. Lia dan Ade akan berkendara motor ke pemakaman. Perjalanan relatif dekat.

“Besok, Abang bawakan Mama dan Ade makanan ya,” kata anak sulungnya melalui chat WhatsApp. Abang, demikian panggilan untuk anak sulungnya, menyarankan Lia untuk banyak beristirahat.

Si mangga belum mengetahui bahwa dirinya akan dipetik besok. Ia juga tidak bisa memberitahukan kepada yang lain sekiranya jadi diambil. Sebab, ia cuma seorang diri ketika muncul sebagai kejutan buat Lia dan keluarga.

Lia dan Ade berlagak seperti ahli forensik, mengintai apakah ada jejak buah-buah lain di sekitarnya, atau setidaknya bunga-bunga yang siap dibuahi. Tidak ada. Yang terlihat, pucuk-pucuk baru daun mangga di ujung tiap ranting, di sana-sini. Banyak sekali.

Mudah-mudahan saja setelah ini pohon mangga itu berbuah lebat dan banyak, kata Lia dalam hati. Semoga saja. Amin. ***

Tinggalkan Balasan