
Parheheon Sekolah Minggu
Oleh Erry Yulia Siahaan
Suasana ramai sudah terbaca dari posisi saya turun dari motor. Beberapa mobil dan motor sudah berderet di samping gereja. Sejumlah kendaraan lainnya mengambil tempat di depan pertokoan yang sudah biasa menjadi tempat parkir.
Makin dekat ke gedung gereja, suara hiruk pikuk makin jelas terdengar. Tawa, canda, tegur-sapa, dan ujaran lainnya kian bisa ditangkap. Memasuki gerbang, sejumlah anak tampak cantik dalam pakaian berbalut ulos, kain tenun ikat khas Batak. Rambut tertata rapi, memakai gulang atau penutup kepala dari ulos. Beberapa ibu ada yang masih mendadani anak perempuan mereka. Sebagian menjepitkan ulos dengan peniti di pundak dan bagian lain agar ulos tidak mudah melorot.
Jemaat yang baru saja datang dipersilakan mengisi buku tamu. Mereka disambut dengan salam ramah dan sematan pita di dada oleh guru-guru sekolah minggu selaku panitia. Beberapa anak saling bercanda, berlarian, atau berpose di depan kamera orangtua. Terlihat, mereka berkelompok dalam nuansa-nuansa senada. Seperti seragam, sesuai dengan kelompoknya.
Ya, mereka bergabung dengan kelompok masing-masing karena hari ini mereka akan mengikuti lomba antarsektor, dalam rangka perayaan Parheheon Sekolah Minggu HKBP yang puncaknya akan diselenggarakan pada Minggu, 2 April 2023. Parheheon berarti kebangkitan. Tema perayaan tahun ini adalah “Karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang” (1 Tesalonika 5 ayat 5a) dengan subtema “Aku Anak Terang”.
Sekitar 250 anak sudah datang lebih dini di gereja. Terjadwal pukul 13.00 WIB, acara hari ini memang sudah menarik antusias anak-anak sekolah minggu sejak jauh-jauh hari. Begitu pula orangtua, saudara, dan ompung (kakek-nenek) mereka. Mereka datang dari 16 sektor yang menjadi wilayah pelayanan HKBP Resort Cibinong. Bisa dibayangkan, betapa ramainya acara hari ini (Sabtu, 1 April 2023).

Antusias
Sekitar dua minggu mereka berlatih untuk mengikuti tiga jenis lomba, yakni Lomba Membaca Indah Ayat-Ayat Alkitab (dalam bahasa Batak), Lomba Menyanyi Trio Idol, dan Lomba Tortor. Setiap sektor diperbolehkan mengirimkan lebih dari satu kontestan. Satu-dua sektor tidak mengirimkan utusan untuk lomba tertentu, karena tidak ada anak-anak seusia murid sekolah minggu di wilayah mereka.
Keunikan dari lomba-lomba ini adalah semua bernuansa adat Batak. Tujuannya, selain menjadikan mereka sebagai “anak-anak terang”, untuk menumbuhkan rasa cinta pada budaya Batak dalam diri mereka sedari kecil. Kearifan lokal ini diharapkan tetap melekat dalam diri mereka.
Acara diawali dengan ibadah yang dipimpin oleh Pendeta Monru Nainggolan dan ditutup dengan doa oleh Pendeta T Hutahaean. Doa penutup diucapkan juga oleh anak-anak, mengulangi kata demi kata dari Pendeta. Acara yang berlangsung sekitar tiga jam itu berjalan lancar dan tidak membosankan. Anak-anak bertahan di dalam gereja hingga acara selesai dan suara mereka tetap keras penuh semangat ketika mengucapkan doa penutup.
Kebaktian pembuka berjalan relatif singkat. Tak lama kemudian, Kak Marta (demikian kami biasa memanggil guru sekolah minggu ini) dan rekan-rekan guru lainnya segera memulai lomba.

Kak Marta memimpin anak-anak menyanyikan beberapa lagu pujian, sementara kontestan Lomba Membaca Indah Ayat-Ayat Alkitab menghampiri meja panitia untuk mengambil nomor undian. Anak-anak menyanyi meriah. Bahkan orangtua dan ompung mereka ikut bergembira, menggoyangkan kepala dan tangan sambil ikut bernyanyi. Anak-anak menjadi tambah bersemangat. Saya pun terbawa suasana. Bahagia.
Lagu “Hari Ini Kurasa Bahagia”, “Yesus Kekasih Jiwaku”, dan “Sayang Disayang” dinyanyikan secara medley dengan iringan organ Sintua Nyonya Panggabean boru Simanjuntak. (Sintua adalah istilah Batak untuk “penatua” gereja). Lagu tersebut diulang beberapa kali. Tidak membuat bosan. Anak-anak tetap bernyanyi riang dan bersuara nyaring. Apalagi, musik iringan melantun dengan lincah dan semarak.
Setelah selesai, peserta nomor undian satu langsung dipersilakan tampil, disusul peserta lainnya. Ayat yang diperlombakan adalah Mazmur 23 ayat 1-6. Tiap kontestan terdiri dari dua orang sesuai dengan ketentuan. Satu kontestan ada yang membaca solo. Semua anak terdengar fasih dalam membacakan nas berbahasa Batak itu. Tentu itu berkat dukungan dari orangtua dan keluarga di sektor masing-masing.
Selesai lomba membaca Bibel (istilah Batak untuk “Alkitab”), Kak Marta kembali memimpin anak-anak untuk bernyanyi lagi, sementara kontestan Trio Idol mengambil nomor undian. Ada dua lagu pilihan yang tersedia, yaitu Ngolunta On Do Tingki Na Ummarga (Hidup Ini Adalah Kesempatan) dan Ho Do Pangondianki (Engkaulah Tempat Aku Meminta), yang populer lewat suara Arvindo Simatupang). Tiap penampilan terdiri dari tiga orang.
Selesai lomba Trio Idol, dewan juri menyanyi ditodong untuk menyanyi oleh Kak Marta. Lagunya sama dengan lagu yang dilombakan, Ho Do Pangondianki. Sementara mereka bernyanyi, anak-anak yang ikut lomba tortor mengambil nomor undian.
Tersedia dua macam musik pengiring untuk lomba tortor, yaitu Aek Sibulbulon yang relatif lebih kalem dan lebih lambat temponya dan Sappe Tua yang riang dan bertempo cepat. Jumlah setiap penampil bervariasi, ada yang hanya empat orang, ada yang hingga 12 orang. Usia penampil bervariasi, dari empat tahun hingga menjelang praremaja.

Begitulah acara berlangsung ceria dan meriah sampai seluruh kontestan tampil. Usai makan bersama, dewan juri masing-masing lomba mengumumkan hasilnya. Seluruh dewan juri berdiri di depan. Satu persatu pemenang ikut berbaris di depan.
Meskipun ini lomba antarsektor, pengumuman pemenang tidak menyebutkan dari sektor mana anak-anak yang menang itu. Juri hanya menyebutkan nomor urut penampilan.
Memang, motif penyelenggaraan lomba adalah untuk menanamkan nilai-nilai Kristiani dan adat Batak kepada anak-anak. Menang kalah bukan yang utama. Yang penting adalah bagaimana semua mempersiapkan diri sebaik-baiknya, tampil sebaik-baiknya, menjalin koordinasi, komunikasi, dan interaksi yang indah selama persiapan dan sesudahnya dengan keluarga dan sesama jemaat.
Dengan penampilan para kontestan, semua yang hadir, baik anak-anak maupun keluarga, diharapkan merasakan kehadiran Tuhan. Lalu, pulang membawa sukacita dan damai sejahtera, serta tetap memelihara kebersamaan.
Suatu niatan yang baik, pikir saya, yang ikut pulang dengan hati riang. ***