Didong Gayo Adalah Kearifan Budaya Lokal Masyarakat Gayo Lues

Lisan Didong

 

Manusia memiliki budaya dan budaya berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban masyarakat. Budaya dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena budaya lahir dari masyarakat. Oleh karena itu budaya dapat didefinisikan sebagai segala daya upaya manusia untuk memenuhi keperluan hidup, keperluan rohani maupun keperluan jasmani. Kebudayaan diperoleh manusia melalui pembelajaran dan menjadi milik masyarakat yang menjalankannya (Koentjaraningrat, 1980:193).

 

Kebudayaan dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu, pertama kebudayaan dalam arti luas, seperti sains dan teknologi, ekonomi, pertanian, sosial dan kepercayaan. Kedua kebudayaan dalam arti sempit, seperti karya sastra, seni musik, seni tari, seni lukis dan seni patung (pahat) Menurut (Tantawi (2006:36).

 

Antara karya seni sastra dengan karya seni lainnya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah antara karya seni sastra dengan karya seni lainnya sama-sama memiliki nilai seni atau nilai kaidah. Perbedaannya adalah pencipta karya sastra disebut sastrawan dan pencipta karya seni lainnya disebut seniman. Karya sastra dikomunikasikan dengan bahasa sedangkan karya seni lainnya, seperti musik dikomunikasikan dengan suara, seni tari dengan gerak, seni lukis dengan warna dan garis, seni patung dengan bentuk.

 

Didong sebagai karya seni sastra, merupakan hasil dan milik masyarakat Gayo y. Didong merupakan gambaran dan pancaran jiwa masyarakat Gayo Lues. Di dalam Didong, seperti manusia sebagai makhluk sosial , hubungan kekerabatan, strata sosial, dan lain-lain. Masing-masing daerah memiliki kebudayaan sendiri-sendiri dan memiliki berbagai bentuk kesenian yang khusus (Rosidi, 1994:7)

 

Tradisi Lisan Didong sebagai Hiburan

 

Karya seni diciptakan oleh seorang pengarang yang merupakan anggota masyarakat. Pengarang (seniman; sastrawan;penyair;penutur) menciptakan karya bertujuan untuk menyampaikan pesan dan menghibur para pemikat atau pembaca. Perbedaan karya-karya serius (kicth) atau karya sastra yang tinggi kualitasnya lebih banyak menyampaikan pesan dibanding hiburan. Sebaliknya karya sastra yang rendah kualitasnya (pop) lebih banyak memberikan hiburan dibanding untuk menyampaikan pesan, kata Horatius (dalam Samin, 1979:33).

 

Didong sebagai karya seni sastra masyarakat Gayo Lues, berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat Gayo Lues. Sejalan dengan pendapat Suekadarman (1977:9) bahwa di dalam karya seni terdapat dua hal: yaitu, yang bermanfaat dan kenikmatan bagi pembacanya, kenikmatan dalam karya seni dapat memberikan kesegaran dan kenyamanan bagi penikmatnya karena seni adalah pengutaraan keindahan.

 

Menurut Gazalba (1974:550) bahwa fungsi seni sebagai hiburan mendapat nilai yang tak terkira peranannya dan menabah kenyamanan hidup, Nyanyian, musik, tarian, drama, sastra, dan kukisan merupakan tempat pelarian dari jiwa dan semangat yang penat karrna kerja sehari-hari, karena tugas ekonomi, politik dan lain-lain. Semangat yang sudah kendor disegarkan kembali oleh nilai-nilai yang kita nikmati dalam karya seni.

 

Menurut Anwar (1980:5) keindahan itu terdapat di mana-mana. Kita Mandang alam disekeliling kita dan menjumpai keindahan serta kecantikan. Keindahan pemandangan pohon bambu yang menjulang tinggi di atas kampung-kampung di negeri kita. Keindahan laut yang menentang di tepi pantai. Keindahan gunung-gunung yang molek dengan keanggunannya. Bahka suarapun memiliki keindahan. Gerak langit dan gerak penari pun ada keindahannya. Di samping keindahan yang terdapat dalam alam itu, kita sebagai manusia juga boleh membuat beberapa keindahan yang dapat kita dituangkan di dalam karya seni. Serta merasakan dan menikmati keindahan sebagai hiburan.

 

Didong sebagai karya seni masyarakat Gayo Lues yang dipersembahkan pada pesta suka bertujuan untuk menghibur masyaraka. Pada pesta suka diundang semua keluarga, semua keluarga membawa muda-mudi yang ada di kampungnya. Pada malam hari diadakan persembahan Didong yang bertujuan untuk menghibur semua tamu yang sudah hadir di tempat persembahan.

 

Didong Jalu dipersembahkan hanya pada pesta suka atau kegembiraan saja, seperti pesta ayunan, pesta penyerahan anak kepada guru, pesta bersunat rasul dan pesta perkawinan. Tujuannya adalah untuk memberikan hiburan bagi masyarakat. Sejalan dengan pendapat Daud (2001:1) bahwa persembahan tradisi lisan tidak akan dilakukan sekiranya tidak dapat memberikan hiburan.

 

Walaupun suasana agama tetap terasa pada persembahan Didong, namun Didong tidak pernah dipersembahkan untuk acara menyambut hari besar agama Islam. Bagi masyarakat Gayo untuk perayaan agama Islam selalu disambut dengan bentuk ceramah agama yang berhubungan dengan hari perayaan Islam dan berkunjung antarkampung (kami mulut) dalam rangka pembacaan selawat nabi serta memuji dan menyanjung kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.

 

Tradisi Lisan Didong sebagai Alat Penyampai Pesan Pendidikan.

 

Pendidikan dapat diterima masyarakat melalui dua cara: yaitu, pertama pendidikan formal atau pendidikan yang dipersiapkan secara resmi, pendidikan semacam ini mempunyai sarana, guru, lembaga dan aturan-aturan yang mengikatnya. Contoh: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Mengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Program D1, D2, D3, dan Universitas Negeri Negeri maupun Swasta. Kedua, pendidikan yang diperoleh secara tidak resmi, termasuk apa yang disampaikan di dalam karya seni. Setiap.karya seni yang diciptakan pengarang atau seniman memiliki pesan yang akan disampaikan kepada pembaca. Pesan seperti pendidikan kemasyarakatan, kekeluargaan, adat kebiasaan dan lain-lain.

 

Seni diciptakan pengarang karena pengarang memiliki niat baiknya untuk mengemukakan beberapa masalah, cita-cita, serta faham-faham yang terkandung di dalam hatinya. Seorang pengarang menciptakan karya sastranya karena pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca semua ia lakukan karna ingin berbagi pengalaman batin dengan pembaca. Pengalaman batin yang disampaikan berupa pendidikan kepada masyarakatnya.

 

Pendidikan yang disampaikan bersifat langsung maupun tidak langsung. Pendidikan yang bersifat langsung dapat dilihat dari dialog langsung yang dilakukan oleh tokoh atau penutur pada seni pesembahan. Tema-tema ucapan dan adegan mempunyai pesan dan tujuan tertentu untuk penontonnya. Walaupun isi dialog seolah-olah untuk keperluan dan konflik antara tokoh yang terdapat didalam karya sastra, sedangkan pendidikan yang bersifat tidak langsung dapat dilihat dari jalan cerita dan perkembangan watak para tokoh dalam cerita. Perkembangan tersebut dapat menjadi contoh pada pembaca atau penonton persembahan.

 

Pendidikan yang bersifat informal dapat disampaikan pengarang melalui karya seni. Misalnya, pendidikan tentang hukum, agama, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dalam satu novel, disana ditampilkan persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, masalah teknologi, agama, sosial, budaya, psikologi, hukum dan berbagai masalah lainnya yang terungkap didalam karya sastra. Sastra tidak hanya memancarkan kenyataan, sastra dapat dan harus turut membangun masyarakat, karena dalam karya sastra itu sendiri disamping menyatakan hiburannya juga pengarang menyampaikan manfaat kepada pembaca atau penontonnya. Sastra lahir dari masyarakat untuk masyarakat. Masyarakat harus belajar dari sastra untuk membangun masyarakat itu sendiri jadi, sastra sangat berguna bagi masyarakat.

 

Didong Jalu merupakan gambaran kehidupan masyarakat Gayo Lues. Oleh sebab itu, Didong Jalu dapat berperanan untuk membangun pendidikan kepada masyarakat Gayo Lues, terutama pendidikan yang bersifat informal. Pendidikan yang berhubungan dengan semua keperluan kehidupan sehari-hari. Misanya harus memahami norma-norma dan sopan santun serta harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan sehari-hari.

 

Dalam Persembahan Didong Jalu Gayo Lues selalu mengulang-ulang persoalan yang sama pada bagian tertentu dan bersifat dinamis pada bagian yang lain. Oleh kerena itu, Didong Jalu dapat menjadi alat untuk menyampaikan pendidikan kepada masyarakat Gayo Lues.

 

Didong Jalu sebagai Alat Untuk Menyampaikan Nasihat.

Karya seni yang diciptakan seniman atau pengarang menjadi satu dunia fiksi yang tersusun secara rapi dan teratur. Di dalam dunia fiksi ini terjadi jalan pikiran dan berhubungan dengan kehidupan. Pengarang merekam peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan, namun pengarang sebagai anggota masyarakat memiliki pengalaman dan kajian apa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pemahaman dan kajian pengarang ini mempengaruhi pengungkapannya di dalam karya sastra yang kaya dengan daya imajinasinya. Karya sastra tidak menampilkan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat secara total tetapi telah dicampurkan dengan daya imajinasi pengarang.

 

Pengarang menyampaikan pikirannya melalui karya sastra. Ia membuat karyanya memiliki tujuan untuk memberikan nasihat agar si pembaca mendapat pencerahan, diharapkan agar pembaca dapat melakukan perbuatan yang baik dan terarah sesuai kaidah dan norma yang berlaku dimasyarakat. Pengarang berusaha menyampaiak nasihat-nasihat dalam karyanya hingga mengungkapkan kejayaan dan keberhasilan untuk para pembaca yang melakukan perbuatan baik yang mereka senandungkan. Dalam karyanya mereka memasukkan nilai-nilai yang sangat tinggi dan lebih bertanggungjawab kepada ora g lain, bangsa dan negara serta agama.

 

Didong Jalu sebagai Alat Untuk Membina Budaya

Salah satu ciri-ciri tradisi lisan, selalu mengulang tema yang sama dengan cerita-cerita sebelumnya. Penutur dapat menambah dan mengurangi cerita sesuai dengan keperluan tuan rumah (sukur), penonton dan penutur itu sendiri pada masa tradisi lisan itu dipersembahkan. Akibatnya timbul versi dan variasi cerita di dalam tradisi lisan.

 

Kebiasaan yang diceritakan dalam tradisi lisan selalu tentang kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang melahirkan tradisi lisan itu sendiri. Oleh sebab itu, tradisi lisan dapat dikatakan menjadi alat untuk membina budaya. Setiap persembahan dijalankan, penonton dapat mempelajari seluk beluk adat dan kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Apa saja ya g diuraikan di dalam tradisi lisan selalu mempunyai hubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

 

Didong Jalu sebagai Alat Untuk Meningkatkan Hubungan Kekeluargaan

Sebagai mana telah diuraikan di atas, bahwa Didong Jalu hanya dipersembahkan pada peristiwa suka atau pesta gembira saja. Pada masa diadakan persembahan Didong Jalu, selalu mengundang (MANGO) semua keluarga yang berada di kampung lain. Setiap keluarga yang di undang akan membawa muda-mudi (Mahatur) semua masyarakat yang bergabung di dalam bagian (belah) di dalam satu kampung.

 

Undangan disampaikan hanya kepada salah satu keluarga yang ada di kampung lain. Keluarga yang dijemput inilah yang akan menyampaikan undangan kepada semua ahli masyarakatnya. Masyarakat akan hadir beramai-ramai terutama golongan muda-mudi (Beru Bujang) saja. Undangan tidak berbentuk tulis tetapi di sampaikan dengan batik (tempat kapur sirih) yang berisi sirih, pinang, gambir, dan kapur. Sirih pinang ini dibawa dan dinrikan oleh semua anggota masyarakat sambil menyebutkan maksud undangan tersebut.

 

Sistem undangan untuk mengikuti undangan ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Gayo Lues. Jika ada undangan untuk persembahan Didong semua muda-mudi boleh hadir di tempat persembahan (Kumah Sara) dengan demikian persembahan Didong Jalu dapat meningkatkan pertemuan antara satu kampung dengan kampung yang lain, sehingga dapat mengkaitkan hubungan kekeluargaan.

 

Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa tradisi Didong Jalu merupakan karya sastra lisan yang dilakukan oleh masyarakat Gayo Lues sebagai wadah untuk menghibur semua masyarakat nya, selain itu Didong Jalu sebagai wadah untuk menyampaikan pendidikan, menyampaikan pesan kebaikan , sebagai wadah untuk mengembangkan dan membina tradisi budaya, serta meningkatkan hubungan kekeluargaan.

 

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca semuanya.

 

Salam literasi untuk kita semuanya.