Berkelana Hingga Melupakan Penderitaan Orangtua di Kampung Halaman

Ilustrasi: Meskipun kita melupakan ornagtua, tapi mereka selalu mengingat kita. Komsoskam.com

Sobatku, sebagian dari kita keluar dari rumahnya dan pergi mengembara ke negeri tetangga dengan sejuta harapan untuk mengubah kehidupan dirinya maupun keluarganya. Akan tetapi, ada yang pergi dan tidak pulang lagi.

 

Ada yang pulang dalam keadaan gila, sakit parah, depresi bahkan ada pihak keluarga yang hanya menerima mayat anaknya.

 

Sadis memang kehidupan ini. Apa yang kita inginkan belum tentu kita dapatkan di tanah rantau. Seirama, “Tuhan tahu apa yang kita butuhkan bukan tentang apa yang kita inginkan.”

 

Sobatku, sebagai pendekatan kontekstual, saya akan membagikan pengalaman saya tentang perjalanan di usia muda, khususnya selama di tanah rantau.

 

Jujur merantau itu ada baik dan buruknya. Sisi baik dari saya merantau adalah saya melihat dunia dengan kacamata yang lebih luas. Sementara, jika saya tidak merantau, ya pola pikir saya akan berkeliaran di seputar wilayah kampung halamanku maupun di kota kelahiranku.

 

Nilai plus dan minus ini memberikan pilihan yang sangat sulit bagiku. Akan tetapi, saya harus merantau. karena dengan merantau, saya semakin tahu banyak hal.

 

Akan tetapi, saya pun terjerumus ke dalam budaya “hedonisme.”

 

Apa itu budaya Hedonisme?

Jika saya menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.

 

Sobatku, saya sudah menghabiskan delapan tahun di tanah rantau. Sejak saya menginjak usia 19 tahun, saya sudah memutuskan untukk merantau ke negeri seberang.

 

Gaya hidup yang saya dapatkan dari keluarga, seperti; hidup apa adanya, jangan boros, peduli pada sesama perlahan-lahan hilang dari keseharianku.

 

Penyebabnya adalah saya terjerumus ke dalam lingkaran kehidupan perkotaan yang semakin “hedonis, individualis, acuh tak acuh dan ingin menang sendiri (egois).

 

Gaya hidup atau dinamika ini berasal dari lingkungan di mana kita bergaul. Merry Riana mengatakan;” dengan siapa anda bergaul, anda pun akan sama persis seperti mereka.”

 

Tentu perkataan Miss Merry ini bukan tidak berdasarkan bukti empirik di lapangan. Melainkan, apa yang dibicarakan oleh Miss Merry itu berangkat dari pengalaman hidupnya. Maka, ia tidak ingin kita melakukan kesalahan yang sama.

 

Sobatku, diskursus atau konsep ini bukan mengarahkan kita untuk tidak bergaul dengan siapa pun ya. Melainkan  di sini, saya melihat Miss merry mengajak kita untuk memiliki spirit “selektif.”

 

Selektif

Gaya hidup selektif bukan berarti kita menodai martabat kemanusiaan itu sendiri ya, dengan cara menutup diri. Bukan! Akan tetapi, lebih jauhnya kita harus memiliki sikap penyaringan dalam kehidupan bersama orang lain.

 

Kita boleh mendengarkan orang lain. Tetapi di samping itu pula kita harus menjadi diri sendiri “be yourself.”

Mengenali diri berarti kita mengenali dari mana kita berasal? Untuk apa kita merantau? Apakah kita masih punya orangtua atau tidak? Harta bisa dicari tapi kesempatan untuk mengasihi orangtua hanya sekali saja!

 

Bejibun pertanyaan ini akan membawa kita untuk semakin menyadari akan eksistensi kita sebagai mahkluk yang memiliki perasaan dan akal budi.

 

Kombinasi dari perasaan dan akal budi akan menghantar kita pada kesadaran untuk selalu mengingat setiap tetesan ayah dan ibu tercinta di kampung halaman tercinta.

 

Komunikasi Itu Penting

Sobatku, terkadang kita menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak menambah pengetahuan ataupun rasa cinta kita kepada orangtua.

 

Bertahun-tahun kita merantau tapi kita hanya berkomunikasi dengan orangtua hanya beberapa kali dalam setahun. Bersyukurlah, jika anda selalu menghubungi orangtua sebelum dan sesudah melakukan aktivitas harian.

 

Ironis atau berbanding terbalik dengan saya. Di mana, saya sudah masuk dalam kanker “amnesia” akan komunikasi dengan keluarga.

 

Saya terlalu sibuk dengan dunia saya. Akibatnya, saya jarang mengabarin keadaan ataupun menanyakan keadaan orangtua dan sanak keluarga yang berada di kampung halaman.

 

Saya terlalu egois dan ingin menang sendiri. Beruntung orangtua saya tidak menuntut banyak hal dari saya. Mereka hanya minta pengertian dari saya.

 

Sobatku, apakah anda juga termasuk dalam gaya hidup seperti yang saya jalani selama ini? Jika ya, mari kita merekonstruksi atau memperbaiki gaya komunikasi kita dengan keluarga. Mumpung orangtua kita masih ada.

 

Meskipun kita sering melupakan orangtua di tanah rantau tapi mereka selalu mengingat kita dalam setiap untaian doanya. Kasih mereka tidak akan pernah pudar dalam kondisi apa pun – Fredy Suni.

 

Sobatku, tulisan ini adalah autokritik terhadap diri saya sendiri ya. Bersyukurlah, jika tulisan saya ini pun mengena dengan gaya kehidupan anda saat ini.

 

Untuk itu, solusi terbaik untuk kita keluar dari kehidupan demikian adalah sesering mengabarin orangtua.

 

Karena air mata tangisan kita di liang lahat orangtua tak ada artinya.

 

Sekian dan terima kasih sobatku

 

Jakarta, 30 Agustus 2021

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan