Perjalananku di Tengah Komunikasi Lintas Budaya

Humaniora, Terbaru72 Dilihat
Ilustrasi membangun komunikasi lintas budaya. Dokumen pribadi

Entah ke mana pun langkah kaki kita, tiada seorang pun yang tahu. Karena setiap orang  memiliki arah dan tujuan yang berbeda tapi bermuara pada “SANG PENGADA.”

 

Ada yang melakukan perjalanan rohani (Ziarah) ke tanah suci, makam orangtua maupun sanak keluarga tercinta yang sudah mendahului kita. Ada pula yang hanya sekadar menuntaskan hasrat penasarannya akan keindahan di belahan bumi lainnya.

 

Perjalanan itu memiliki tujuan yang pasti. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang tahu dengan sangat baik tentang makna perjalanannya.

 

Hidup Adalah Pilihan

Apa pun yang kita pilih, itulah konsekuensi yang nantinya kita jalani. Untuk itu, perjalanan bukan tentang perlombaan. Melainkan tentang seberapa rangsangan atau stimulus positif yang kita tularkan kepada sesama, lingkungan maupun alam tercinta.

 

Senada dengan perjalanan saya menuju kota Batu yang identik dengan kota hujan, kota Apel maupun kota dingin. Namun, lebih jauhnya perjalanan itu adalah bagian dari sistematika perencanaan yang matang.

 

Kematangan berpikir sebelum melakukan sesuatu adalah strategi yang kita gunakan dalam setiap kesempatan.

 

Tahun 2015, saya memiliki kesempatan emas untuk mencicipi dunia pendidikan di salah satu Biara Katolik yakni; Novisiat SVD Roh Kudus Batu.

 

Apa itu Novisiat

Etimologi atau akar kata “NOVISIAT” berasal dari bahasa “LATIN” yakni; Novus dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah pendatang baru yang segar.

 

Entah segar dalam pola pikir (mindset), jasmani maupun spiritualitas. Elaborasi dari ketiga poin ini kita bisa temukan dalam diri seorang novis.

 

Novis adalah calon Imam Katolik yang sudah diajarkan tentang spiritualitas pendiri kongregasi maupun dalam hirarki kepercayaan Kristiani. Tujuan dari bekal ilmu spiritualitas ini adalah untuk semakin memantapkan jalan hidup atau pilihan yang sedang dijalani oleh novis tersebut.

 

Sebagai pendekatan nyata, selama dua tahun saya menjalani masa novisiat di bawah kaki gunung Panderman, Batu, Malang, Jawa Timur.

 

 

Selain bekal spiritualitas dari sang Pendiri kongregasi, saya juga mendapatkan ilmu humaniora yang sangat bermanfaat dalam perjalanan usia mudaku.

 

Bekal ilmu pengetahuan humaniora, saya tidak mengalami kesulitan untuk membangun komunikasi dengan budaya lain.

 

Manfaat Komunikasi Lintas Budaya

Secara pengalaman, saya memiliki jam terbang yang lebih dari rekan sebaya saya semasa di kampung halaman. Karena saya memilih untuk merantau. Khususnya saya merasakan pendidikan karakter yang baik dari para Imam Katolik Societas Verbi Divine (SVD).

 

Societas Verbi Divine atau Serikat Sabda Allah adalah kongregasi terbesar di Indonesia dalam kepercayaan Katolik. Dan sekaligus terbesar dalam pengiriman Imam di kelima benua.

Kongregasi internasional yang berpusat di Steyl, Belanda ini didirikan oleh St. Arnoldus Jansen, SVD. Cikal bakalnya berdirinya pun dari hal yang sederhana yakni keresahan akan tangisan anak-anak yang kelaparan di negeri China.

 

Tokoh humanisme global asal negeri Panzer, Jerman ini saya jadikan sebagai panutan dalam hal berelasi. Karena dari rumah sederhana yang awalnya adalah bar atau tempat minuman. Akhirnya, spiritualitas kemanusiaannya pun ada hingga kini.

 

 

Sobatku, hal yang saya tekankan di sini adalah pentingnya ‘Komunikasi Lintas Budaya.”

 

Mengapa kita perlu melakukan komunikasi lintas budaya? Karena ada manfaat, bila kita memiliki kemauan untuk belajar budaya lain. Tujuan kita belajar komunikasi antar budaya adalah menghindari “culture shock atau gegar budaya.”

 

Gegar Budaya Bersama Rekan Angkatan

Selama di Novisiat, saya bersama puluhan orang yang memiliki tipikal karakter, latar belakang yang berbeda maupun pola pikir serta suku dan bahasa.

 

Nah, untuk memadukan persaudaraan di antara kami, tidak ada cara lain, selain saya harus beradaptasi. Begitu pun dengan mereka. Hukum sebab – akibat (kausalitas) ini berlaku dalam dimensi kehidupan apa pun.

 

Adaptasi artinya saya rela menanggalkan spirit “SOK TAHU” untuk melihat kebudayaan lain dalam terang “LENSA KEMANUSIAAN.”

 

Akan tetapi, awalnya saya merasa kesulitan untuk membangun komunikasi dengan yang lain (Liyan). Namun, seiring dengan bergulirnya mesin kordoba waktu, kami saling mengenal satu dan lainnya. Termasuk bau badan pun kami saling mengenali.

 

Dan manfaat yang saya dapatkan adalah saya bebas berakselerasi dengan orang lain. Selain itu, kehadiran saya selalu diterima orang orang lain.

 

Inilah manfaat perjalanan saya di tanah rantau. Sobatku, bagaimana dengan kisah perjalanan kamu? Apakah kamu masih terjebak dengan budayamu sendiri, dan memandang budaya lain tidak baik? Ataukah kamu terus membangun benteng untuk semakin tak peduli dengan kepercayaan lain?

 

Sobatku, kehidupan ini sangat singkat. Pepatah klasik Jawa mengatakan; “ Urip Mung Mampir Ngombe.” Artinya kehidupan itu seperti seseorang yang hanya numpang minum air.

 

Untuk itu, mari kita memaknai perjalanan kita sejauh ini dengan pertanyaan ini; apakah kehadiran saya menjadi berkat bagi orang lain? Ataukah kehadiran saya justru membawa masalah dalam kehidupan bersama?

 

Sekian sobatku.

 

Jakarta, 03 September 2021

Tinggalkan Balasan