Oleh : Heri Setiyono,S.Pd
TERIMA
Guru Elin terduduk lesu di kursi kerjanya. Seharian ini segalanya tidak berjalan sebagaimana yang ia rencanakan. Margaret, kepala sekolahnya enggan memberikan pinjaman buku-buku untuk kelasnya. Kelasnya dianggap tidak mampu dengan bahan bahacaan sastra, mereka hanya akan merusaknya katanya. Phil rekan kerjanya juga berpendapat sama, ia hanya menganggap anak-anak itu hanya kesalahan masuk ke sekolah mereka. Latar belakang kebencian Phil kepada pemerintah atas terbitnya peraturan bahwa sekolah harus menerima semua murid termasuk dari etnis apapun membuatnya makin apatis.
“Mereka hanya merusak akreditasi sekolah ini, biar saja mereka seperti itu, tidak perlu kau bantu. Lambat laun mereka juga akan pergi dari sekkolah ini.” Gerutunya geram mengomeli Elin.
Pembiaran hingga berlalu sampai mereka lulus bukanlah hal yang dapat diterima Elin. Murid-murid kelas emergency, kumpulan dari semua murid nakal di kelas sebelumnya. Semuanya berlatar belakang berbagai etnis dan kelompok yang saling bersitegang dalam masyarakatnya.
Elin mengadu kepada dewan pendidikan. Diutarakannya bahwa sekolah menggaungkan untuk bersekolahlah untuk pendidikanmu, tapi di lain sisi enggan memberikan bantuan untuk mereka. Meski mendapat dukungan, dewan tidak bisa berbuat apa-apa. Kewenangan sekolah otoritas sekolah mereka tidak bisa mencampurinya. Elin harus terima pil pahit bahwa hanya ia yang mampu menolong mereka tiada orang lain.
SADARI
Menyadari dirinya satu-satunya yang bisa mengubah murid-murid di kelasnya. Elin berjuang sendiri. Ia bekerja sambilan agar bisa mendapatkan uang untuk membeli buku-buku kepada murid-muridnya. Ia juga mengubah pendekatan kepada mereka. Diberinya buku kepada setiap murid. Ditugaskannya setiap murid untuk menceritakan segala tentang diri dan pikirannya di buku itu. Buku jurnal harian, diary segala curahan hati. Mereka boleh menyimpan rapat cerita mereka. Namun jika mereka memperbolehkan Elin membacanya maka mereka boleh menyimpannya di loker kerjanya.
Hari pertemuan dengan wali murid berlangsung. Elin mempersiapkan segalanya. Kelas telah rapi dan dia telah cukup elegan dengan dandanannya. Kelas sebelah telah ramai dengan kedatangan wali murid, namun hingga sore tiba tiada satupun wali murid dari kelasnya datang. Ia kecewa. Memalingkan muka, Elin melihat lokernya. Ia sadari janjinya, ia buka loker, didapatinya lokernya penuh buku, ternyata semua anak mengumpulkan jurnal yang ia bagikan.
Elin membaca satu persatu. Tanpa terlewat satupun, ia makin memahami semua muridnya. Markus yang pernah dipenjara anak-anak sedangkan ia tidak melakukan kejahatan apapun, tetapi polisi memperlakukannya seperti binatang hanya karena ia kulit hitam. Eva yang muak dengan orang tuanya yang selalu mengedepankan rasnya sehingga bersikap anarkhi dan membuatnya tertekan untuk mengikuti yang dia percaya. Gomes yang dari keluarga miskin dan etnisnya selalu dianggap rendahan, ayahnya dikambing hitamkan dan ditahan dengan alasan tidak jelas. Greta yang mengalami kekekerasan dalam rumah tangga hingga ia dan adiknya pernah tidur di trotoar jalan. Chen yang trauma menyaksikan sebuah geng menembak kakaknya di jalan depan rumah. Semua kisah murid-muridnya membuat Elin menangis. Bu guru yang cantik itu menyadari murid-muridnya hanya butuh sebuah kesadaran untuk kebaikan mereka. Karena peperangan hanya akan menimbulkan peperangan lainnya. Ia ingin mengkikis kebencian dalam diri mereka yang membuat mereka menjadi berandalan.
PERBAIKI
Setelah cukup mendapatkan uang, Elin membeliikan buku untuk semua muridnya. Buku itu adalah “The Diary of Young Girl” yang ditulis Anne Frank, seorang gadis kecil yahudi korban Holocaust Nazi. Ia menganggap buku itu cocok untuk para muridnya, bertahan dalam perang dan pembantaian kaumnya, bersembunyi di balik dinding selama dua tahun dan dikhianati sebelum akhirnya mati di kamp konsentrasi.
Semua murid ditugaskan untuk membaca dan meringkas hikmah dari buku itu. Markus yang kagum oleh Miep Gies, seorang wanita belanda yang menyembunyikan Anne Frank menjadikan ide dalam diri Elin untuk memberikan tugas kepada semua murid untuk menulis surat kepada Miep Gies yang bermukim di Belanda. Namun murid-muridnya memiliki ide yang lebih gila, mereka ingin mendatangkan Miep ke kelas mereka untuk bisa berbagi cerita seperti yang pernah Elin lakukan. Mereka bekerja sama menggalang dana, sesuatu yang bahkan susah untuk dibayangkan Elin, kelas yang tadinya terkotak-kotak saling bermusuhan bisa saling menerima dan bekerja sama. Luar biasa.
Gerakan penggalangan dana hingga masuk kedalam berita nasional. Banyak seponsor akhirnya bergabung mendukung. Miep Gies yang lanjut usia akhirnya datang ke kelas mereka. Menceritakan kisahnya di hadapan para berandal itu, bertutur bahwa ia telah membaca semua surat yang mereka kirim. Miep Gies menyemangati mereka, memberikan dorongan akan kebaikan dalam diri mereka dan pendidikan adalah jalan untuk memperbaiki keadaan.
Suatu ketika Bu Guru Elin berkata,
“Jangan biarkan hal kecil mengganggu. Jika ada yang mencela abaikan. Jika ada yang merendahkan, abaikan. Kalian memegang kendali dengan hidup sendiri. Kau harus lulus, karena kau yang pertama dalam keluargamu yang bisa menuntaskan pendidikan. Kalian semua pahlawan untuk diri kalian sendiri. Bukan aku.”
From the film “Freedom Writers” (2007)