Membaca Tanda Tanda Zaman dalam Karya Seni Lukis

Humaniora, Sosbud174 Dilihat
membaca tanda tanda zaman lewat lukisan koleksi Istana pada pameran di Galeri Nasional Indonesia (dokpri)

 

 

Saya tertarik untuk membahas dan membaca tanda – tanda zaman lewat media lukis.Pada artikel sebelumnya saya sudah menulis tentang   kiprah Djoko Pekik, Juga Raden Saleh dan Affandi. Sebetulnya masih banyak pelukis yang bisa dijadikan referensi untuk ditulis. Bisa jadi lebih dari dua buku untuk membahas tentang tokoh – tokoh seni rupa.

Tentang perkembangan seni rupa saya sengaja ingin mengeksposnya karena banyak berhubungan dengan aktivitas saya sebagai guru seni rupa. Saya akan banyak berhubungan dengan para siswa yang memerlukan pengetahuan tentang seni rupa.

Kalau seni rupa ditulis dengan bahasa ilmiah, ada kemungkinan pembacanya terbatas, namun semoga sebagai penyuka artikel pop, artikel yang lebih renyah dibaca oleh awam maka saya mencoba bergerak dalam aura seni rupa.

Saya pikir belum banyak penulis seni rupa, dan ke depannya semoga semakin banyak yang tertarik dunia seni rupa. Atau bisa jadi yang malah ketinggalan sebab untuk saat ini dunia visual begitu dominan. Hampir semua ruang publik telah disentuh dan diberi sentuhan visual oleh para seniman, desainer, pelukis mural. Mereka benar- benar memanfaatkan betul momentum masyarakat yang tengah demen selfie, nongkrong di kafe, kongkow – kongkow, jalan- jalan.

Di Bandung, di Yogyakarta, di Surabaya, di Malang, Jakarta, wisata seni rupa tidak kurang- kurang. Pada setiap perhelatan entah musik atau yang berhubungan dengan entertainer kiprah seni rupa tidaklah berkurang. Para desainer mengatur tampilan pertunjukan musik dengan desain visual menarik, dari lini atas dan lini bawah.

Politisi mencoba melakukan peruntungan dengan membuat baliho, membuat tampilan visual semenarik mungkin agar programnya masuk, tapi pada seni murni sayangnya kurang peminat, semoga saya salah karena mungkin minat lukis berhubungan dengan apresiasi dan wawasan seni.

Seni rupa bagaimanapun punya pengaruh kuat di era digitalisasi. Semua yang berhubungan dengan indera penglihatan saat ini tentu berhubungan dengan seni visual. Sebagai penulis yang kebetulan pengajar seni rupa, rasanya ikut bangga karena bagaimanapun seni rupa menyumbang banyak peranan untuk memeriahkan literasi, dunia entertain/ pertunjukan / jasa hiburan.

Ada misi di buku ini bila selesai, bahwa semoga semakin banyak pembaca tertarik untuk mengapresiasi terutama, karya seni rupa baik lukis, patung, kria, graffiti, mural. Sebab tanpa sadar hubungan manusia dan seni rupa sangat erat, tidak mungkin ada yang tidak mengenal graffiti, lukisan, patung, grafis.

Kembali pada bahasan judul membaca fenomena zaman dengan melihat karya seni lukis. Kadang imajinasi pelukis, seniman melebihi zamannya. Contohnya Vincent Van Gogh, juga karya karya Leonardo Da Vinci yang bisa membuat gambar yang akhirnya pada abad mendatang menjadi kenyataan. Lukisan merupakan Jiwa Ketok. Gejolak jiwa, perabaan pada dunia masa depan sering sekali muncul dari gambar atau lukisan.

Fenomena perwajahan yang akhirnya memberi sentuhan keindahan pada aktifitas manusia. Yang sering terlihat dan bisa jadi menjadi semacam sindiran untuk fenomena zaman ialah lukisan Djoko Pekik. Saya sering membaca buku dari Romo Sindhunata. Dalam tulisan- tulisan featurenya yang termasuk menjadi acuan saya saat menulis feature tangkapan apresiasi tulisan Romo Sindhu. Celeng yang sering menjadi cerminan gambaran manusia yang culas, licik digambarkan dengan menarik dalam feature yang ditulisnya. Sebagai penulis tentu saja tertarik untuk menulis tentang lukisan, seni rupa.

Kalau saya melihat lukisan Djoko Pekik. Memang interpretasi tentang celeng, tikus berhubungan dengan sifat- sifat manusia modern. Korupsi, nepotisme, koncoisme, dan berbagai penyimpangan sosial yang selalu ditemui dari waktu ke waktu. Sifat culas dan haus kekuasaan dari waktu ke waktu sudah dihilangkan. Apalagi di sebuah negara berkembang dan sedang berkembang pula pemahaman tentang demokrasi. Kada persepsi demokrasi kebablasan. Kekuasaan membutakan nurani, kekuasaan membuat semula yang rajin beribadah terlihat rakus dan lupa akan ilmu kebaikan yang menjadi esensi ajaran agama.

Jujur saya masih malu disebut seniman atau pelukis, masih lebih suka penyuka seni itu saja. Seni lukis kadang menurut pengamat, kurator itu semacam mempunyai kasta. Bila seniman sangat rajin melukis, maka ia mempunyai kasta tinggi, karena jam terbang dan bakatnya. Sedangkan saya melukis masih suka- suka kalau sedang mood ya melukis, kalau tidak mood yang lebih sering jalan- jalan dan menulis belum bisa disebut seniman. Meskipun kalau masalah susah diatur dan cenderung ingin bebas itu salah satu sifat saya yang mendukung menjadi seniman. Hehehe.

Affandi, Djoko Pekik, S. Sudjojono, Nashar, Basuki Abdullah, Widayat, But Mochtar, Nyoman Nuarta, Nyoman Gunarsa dan masih banyak pelukis Indonesia adalah fenomena, pelukis- pelukis yang banyak memberi warna perkembangan seni budaya, mengenal mereka seperti merasakan denyut nadi kebudayaan Indonesia. Melihat lukisannya rasanya kecintaan pada seni budaya semakin menguat. Awam seni semoga semakin mengenal sejarah perkembangan seni Indonesia. Budaya Indonesia maju maju pula Indonesia untuk bisa bersaing di tingkat global. Salam budaya.

 

Jonggol, 23 September 2021

Tinggalkan Balasan