Pada hari Minggu, 14 Maret 2021 lalu, umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi. Hari itu menjadi hari libur nasional. Hari Nyepi inilah yang menjadi momentum yang sangat baik untuk merenung dan wawas diri di tengah suasana tenang, sepi, dan hening.
Upacara Pengerupukan
Umat Hindu merayakan Nyepi setiap tahun sekali. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan hari tersebut dilaksanakan. Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada hari Minggu, 13 Maret 2021, adalah hari pengerupukan.
I Gede Marayana, salah seorang tokoh wariga dan kalender di Bali, mengatakan bahwa pengerupukan pada tilem kesanga itu dilakukan dalam rangka pembersihan bhuwana agung sekaligus tutup tahun kalender Caka Bali.
Secara sederhana, masyarakat awam menyebut pengerupukan adalah hari untuk melakukan upacara sebagai sembah sujud bhakti kepada Tuhan, selain upacara untuk para buthakala, makhluk Tuhan yang tak kasat mata, dengan memberikan sesajen (pecaruan) tertentu.
Harapannya, dari upacara itu, makhluk-makhluk itu akan merasa senang dan tidak satu pun tergerak untuk mengganggu kedamaian manusia. Mereka diberikan sesajen dan diharapkan kembali pulang ke alamnya (somya).
Pada hari pengerupukan tilem kesanga kalender Bali ini biasanya dilengkapi pula dengan pawai ogoh-ogoh. Karena Covid-19, pawai ogoh-ogoh tahun ini terpaksa ditiadakan, seperti juga tahun 2020. Kesemarakan pawai ogoh-ogoh, bagi yang pernah menyaksikannya, tentu menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Empat Pantangan Saat Nyepi
Dengan upacara pengerupukan yang sudah dilakukan secara turun-temurun itu diharapkan pelaksanaan penyepian berjalan lancar tanpa hambatan. Pelaksanaan Nyepi pada keesokan harinya pun diharapkan berlangsung hening, tenang, dan penuh kedamaian.
Nyepi dilaksanakan sehari setelah acara pengerupukan, yang untuk tahun ini jatuh pada hari Minggu, 14 Maret 2021.
Lalu, apa saja yang dilakukan saat Nyepi? Umat Hindu di Bali mengikuti Hari Raya Nyepi dengan melakukan apa yang disebut dengan Catur Brata Penyepian.
Catur Brata penyepian, meliputi empat larangan/pantangan, yaitu dilarang menikmati hiburan (amati lelanguan), dilarang menghidupkan api/listrik (amati geni), dilarang bepergian (lelungaan), dilarang bekerja (amati karya).
Keempat larangan itu tentu tidak sekadar larangan, melainkan ada filosofi yang mendasarinya. Pada intinya, semua itu dimaksudkan untuk mengekang hawa nafsu. Mengendalikan diri.
Tidak menikmati hiburan, tidak menyalakan api/listrik, tidak bepergian, dan tidak bekerja. Semua itu memberikan kesempatan kepada umat untuk duduk hening dan melakukan mulat sarira atau mawas diri.
Wawas diri terhadap apa? Apalagi kalau bukan terhadap perjalanan hidup selama setahun terakhir: perbuatan baik dan buruk yang pernah dilakukan. Nyepi menjadi kesempatan emas untuk merenung dan mengevaluasi perjalanan tersebut seraya meniatkan untuk memperbaikinya.
Apakah hal-hal positif yang sudah dilakukan? Adakah perbuatan tidak baik atau kurang baik yang pernah dilakukan dan dijalani selama ini?
Itulah yang menjadi bahan renungan dan bahan wawas diri disertai niat untuk memperbaiki hal-hal yang kurang atau tidak baik serta mempertahankan serta menyempurnakan hal-hal yang sudah baik.
Intinya, bagaimana mengupayakan agar pikiran, perkataan, dan perilaku sebagai umat manusia menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya sehingga bisa tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), dengan sesama manusia, maupun manusia dengan alam lingkungan.
Keharmonisan ketiga hubungan itulah yang sesungguhnya menjadi penyebab terwujudnya kebahagiaan sejati yang dikenal dengan sebutan Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan).
Toleransi Antarumat Beragama
Penduduk Bali terdiri dari banyak umat dari berbagai agama. Saat Hari Nyepi inilah tampak jelas dan nyata toleransi antarumat beragama di Bali, seperti juga pada hari-hari besar keagamaan lainnya. Toleransi atau tenggang rasa antarsesama kendati dengan latar belakang agama yang berbeda sudah sangat teruji di Bali.
Masyarakat Bali guyub dan hikmat merayakan hari-hari besar keagamaan. Semuanya saling bantu dan saling menjaga. Inilah wujud dari pengamalan Pancasila yang nyata dalam kehidupan di Bali.
Ketika salah satu umat melaksanakan hari besar keagamaan, masyarakat agama lainnya hadir membantu. Paling tidak ikut menjaga kondisi tetap kondusif. Hal ini sudah terpelihara secara turun-temurun di Bali.
Sehari setelah Nyepi disebut dengan Ngembak Brata, saat umat Hindu mengadakan kunjungan atau silaturahmi ke keluarga atau umat lain dalam rangka mempererat tali persaudaraan, menjalin kasih sayang antarsesama manusia dan merawat keharmonisan hidup bersama.
Di Bali ada istilah nyame (saudara). Disebut juga dengan semeton (bahasa Bali halus) dalam makna yang sama. Bahwa semua manusia, apa pun agamanya pada hakekatnya adalah bersaudara.
Karena bersaudara, maka ia harus dilihat bukan sebagai orang asing, melainkan bagian dari keluarga besar masyarakat Bali.
Filosofi yang lebih dalam lagi, ada istilah yang Vasudheva Kutumbakam. Artinya, semua manusia adalah saudara. Inilah modal besar keharmonisan hidup antarumat beragama di Bali.
Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai senantiasa.
I Ketut Suweca
Seorang penulis aktif yang menyukai dunia literasi.
Sip, semua manusia bersaudara. Salam bhineka tunggal ika, Pak Ketut