Penulis: Gregorius Nyaming
Warga sedang menanam padi (menugal) di ladang. Sumber: Dokpri.
Apa yang terbesit dalam pikiran Anda ketika mengetahui kalau orang Dayak itu berladang dengan cara berpindah-pindah dan dengan cara dibakar? Saya cukup merasa yakin ada di antara kita yang akan berprasangka atau mungkin menuduh orang Dayak sedang melakukan pembabatan dan penggundulan hutan dengan cara berladang seperti itu.
Penangkapan terhadap keenam orang peladang di Kabupaten Sintang pada akhir 2018 yang lalu seakan semakin mempertegas kalau tuduhan itu benar adanya. Penangkapan tersebut kontan saja mengundang penolakan yang keras dari banyak pihak, terutama kaum peladang. Sebagai bentuk dukungan moril terhadap keenam saudaranya, para peladang membentuk Aliansi Solidaritas Anak Peladang (ASAP).
Mereka tak kenal lelah memberikan dukungan. Mengabarkan kepada dunia bahwa peladang bukanlah penjahat. Tuntutan mereka hanya satu: keenam saudara mereka itu harus bebas dari semua tuntutan hukum. Mereka berjuang dengan segenap jiwa raga agar tuntutan ini dipenuhi. Sebab jika tidak, maka ke depannya para peladang terancam tidak bisa lagi meneruskan kearifan lokal ini. Perjuangan mereka pun akhirnya membuahkan hasil setelah pada tanggal 9 Maret 2020, Pengadilan Negri Sintang membebaskan keenam peladang itu dari semua bentuk dakwaan. (www.cnnindonesia.com/nasional/20200309160037-12-481782/6-peladang-kasus-karhutla-di-sintang-divonis-bebas)
Sebuah peristiwa yang sangat melukai hati para peladang karena lagi-lagi mereka dikambinghitamkan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dengan dibebaskannya keenam peladang itu, yang artinya juga para peladang kembali diizinkan untuk berladang, tidak serta merta akan menghilangkan prasangka negatif terhadap orang Dayak.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya hendak menunjukkan bahwa aktivitas berladang itu sungguh merupakan sebuah kearifan lokal. Menyebutnya sebagai sebuah kearifan hendak mengatakan bahwa aktivitas berladang bukan hanya sebatas rutinitas. Di dalam aktivitas ini terkandung nilai-nilai luhur seperti yang akan saya paparkan di bawah ini.
Pertama, manusia sebagai pribadi yang terbuka dan terarah kepada Tuhan. Ajaran Kristiani meyakini bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Keterciptaan menurut gambar dan rupa Allah menjadikan manusia memiliki dimensi transenden di dalam dirinya. Manusia memang hidup dalam keterbatasan ruang dan waktu, bahkan dirinya pun adalah makhluk yang terbatas. Namun, hidup manusia tetap menjadi cermin dari kehidupan Ilahi karena dalam hidupnya itu terkandung dimensi transenden. Dimensi transenden yang ada dalam dirinya itu, membuat manusia memiliki keterarahan atau keterbukaan pada Allah.
Bagaimana ketransendenan manusia ini dipahami dalam konteks kehidupan para peladang? Pertama-tama, manusia dalam pemahaman suku Dayak memiliki kodrat ilahi di dalam dirinya. Dialah adalah ciptaan yang paling mulia dan sempurna. Di dalam dirinya ada percikan ilahi. Mereka menyebut percikan ilahi itu dengan semengat (jiwa).
Adanya semengat ini memampukan manusia menjalin relasi dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Semengat ini memampukan manusia untuk membaca tanda-tanda alam yang bisa berupa berkat maupun kutuk. Karena itulah, aktivitas berladang kaya akan ritual-ritual mulai dari proses membuka lahan sampai dengan pesta syukur atas hasil panen (gawai adat).
Ritual dilakukan sebagai bentuk permohonan ijin kepada Yang Maha tinggi (Petara Nan Agung) sekaligus memohonkan berkat agar pengerjaan ladang berjalan dengan lancar, serta agar mendapat hasil panen yang berlimpah. Ritual-ritual yang mereka tampilkan dalam proses berladang hendak menunjukkan keterbukaan pada Yang Ilahi. Sekaligus juga sebagai rasa hormat, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang.
Kedua, manusia sebagai pribadi bagi sesama. Aktivitas berladang menghadirkan dengan jelas betapa tingginya semangat kerja sama dan gotong royong. Menghidupi semangat ini, warga akan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Hadirnya kerja sama dan gotong royong dalam arti tertentu boleh dikatakan sebagai upaya untuk meredam sikap individualisme warga.
Individualisme bertentangan dengan semangat hidup masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kebersamaan. Mereka yang menganut paham ini cenderung akan menutup diri terhadap sesama, bahkan terhadap penderitaan sesamanya. Bagi mereka, menghabiskan waktu demi kepentingan diri mereka sendiri lebih berarti daripada melibatkan diri dalam kegiatan bersama.
Paham yang dapat merusak tatanan kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas sedapat mungkin jangan sampai diberi ruang untuk berkembang subur. Karena itu, sistem kerja gotong royong dapat menjadi salah satu sarana untuk menangkal perkembangan tersebut. Melalui gotong royong warga sesungguhnya di ajak untuk “keluar” dari dirinya.
Dengan mau membuka diri, keluar dari ruang sempit dirinya, maka seseorang bisa belajar dari orang lain. Dalam dunia perladangan, misalnya, seseorang bisa belajar dari yang lain bagaimana cara yang tepat dalam mengolah ladang. Namun, lebih dari berbagi keterampilan, orang diajak untuk memaknai bahwa kepenuhan hidup akan tercapai bila mereka mau memberikan dirinya bagi orang lain dan berkorban bagi sesama.
Ketiga, pemuliaan harkat dan martabat kaum perempuan. Aktivitas berladang bukanlah wilayah yang hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan pun turut berpartisipasi di dalamnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa kehadiran kaum perempuan aktivitas berladang tidak akan berjalan dengan lancar.
Keterlibatan kaum perempuan dalam dunia perladangan memang sudah menjadi tuntutan. Karena mengingat sistem perladangan dalam masyarakat Dayak itu sendiri sungguh memerlukan tenaga yang tidak sedikit. Adalah hal yang mustahil bila menyerahkan pengerjaan ladang hanya kepada kaum laki-laki saja.
Keterlibatan mereka tidak pernah dilihat sebagai beban, tetapi sebagai sebuah tanggung jawab luhur yang mesti diemban dan dijalankan dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, pelibatan kaum perempuan tidak pernah dilihat sebagai sebuah bentuk pemaksaan. Pun bukan sebagai bentuk penindasan ataupun pengeksploitasian. Keikutsertaan mereka adalah bentuk peninggian dan pemuliaan harkat dan martabat mereka sebagai kaum perempuan. Mereka bukanlah kaum kelas dua, bukanlah kaum yang lemah dan tak berdaya.
Keempat, solidaritas terhadap yang kecil dan lemah. Pengolahan ladang memerlukan proses yang cukup panjang. Pengolahan itu sendiri harus selesai secepat mungkin. Mengingat setiap keluarga memiliki jumlah anggota keluarga yang berbeda, yang mana jumlah ini kadang berpengaruh pada cepat atau lambatnya proses pengerjaan ladang, lahirlah kemudian solidaritas terhadap sesama.
Solidaritas yang kuat ini lahir dari pengakuan bahwa sesama bukan hanya sebatas sebagai rekan kerja, melainkan sungguh sebagai saudara dan keluarga sendiri. Tidak ada manusia yang hidup sendiri. Setiap orang itu ada, tumbuh dan berkembang bersama dan selalu dalam relasi dengan orang lain. Inilah dimensi sosial manusia. Karena itu, adalah sebuah pengingkaran yang fatal terhadap kodrat sosial itu sendiri bila yang lain dibiarkan bekerja seorang diri dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Kelima, manusia sebagai homo ecologicus. Dengan homo ecologicus hendak dimaksudkan bahwa manusia sungguh menyatu dengan realitas dunia. Penyatuan dengan realitas dunia ini beralasan karena kosmos dipandang sebagai ciptaan ilahi. Kosmos, karena itu, selalu dikaitkan dengan wujud ilahi dan pelbagai nilai yang terkandung di dalamnya.
Alam memiliki jiwa tersendiri, bersifat sakral dan kerap dipersonifikasi sebagai wujud yang mengatasi kuasa manusiawi, yang kepadanya manusia harus menyesuaikan diri, memberikan hormat dan sembah. Pandangan hidup yang demikian mendorong manusia untuk mengembangkan sikap harmoni terhadap alam. Agar manusia tidak mengalami malapetaka (chaos), maka keharmonisan itu harus terus dijaga.
Wasana Kata
Dari pemaparan di atas, sekali lagi rasanya tak adil bila ada pihak yang selalu menimpakan kesalahan kepada masyarakat Dayak, khususnya para peladang, bila terjadi kebakaran hutan dan lahan. Masyarakat Dayak sungguh menyadari bahwa tanpa alam mereka tidak akan bisa hidup. Oleh karena itu, alam selalu mereka perlakukan dengan penuh hormat dan beradat. Sebuah pepatah mengatakan, “Jangan pernah menggigit tangan yang memberi kamu makan“. Jika tanpa alam orang Dayak tak bisa hidup, maka mustahil mereka merusak sesuatu yang dari padanya mereka memperoleh makanan untuk bertahan hidup.
Kearifan lokal sejatinya menjadi budaya dan memperkaya kehidupan.