Wulla Poddu : Ritual Adat Suku Loli, Sumba Barat untuk Keharmonisan Manusia dengan Leluhur dan Lingkungan Alam

 

Ragu Theodolfi

Sumba Barat, adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terletak di Pulau Sumba pada ketinggian 485 meter dari permukaan laut, wilayah ini memiliki beberapa suku yaitu Laboya, Tana Righu, Wonokaka/Walakaka dan Loli.

Bila Suku Laboya  sangat terkenal dengan budaya Pasola (berkuda sambil melempar lembing yang terbuat dari kayu) setiap bulan Pebruari atau Maret, pada Suku Loli terdapat upacara adat Wulla Poddu. Upacara ini memang belum banyak dikenal masyarakat luas, apalagi setiap tahapan ritualnya. Namun bagi masyarakat setempat upacara adat ini selalu ditunggu setiap tahun, biasanya pada bulan Oktober.

Wulla Poddu atau Bulan Pamali adalah sebuah ritual adat untuk menyambut masa bercocok tanam. Ritual ini memiliki makna penting dalam menjaga keharmonisan hidup manusia dengan leluhur, alam sekitar dan hewan-hewan yang ada, fase pembersihan diri. Disamping itu, ritual ini merupakan salah satu fase pembersihan diri, memohon keberkahan dalam hidup sekaligus sebagai sebuah bentuk rasa syukur dari masyarakat yang beraliran Marapu.

Para Rato Memegang Peran Penting Dalam Ritual Adat

Rato adalah orang yang dituakan atau ditunjuk secara khusus untuk sebuah ritual adat. Untuk acara Wulla Poddu sendiri tidak hanya dilakukan oleh seorang Rato, namun dilakukan oleh beberapa Rato. Wulla Poddu akan diawali dengan semedi para Rato untuk menentukan masa bulan suci. Penentuan masa ini tidak ditetapkan berdasarkan penanggalan Masehi, namun ditetapkan berdasarkan perhitungan yang mengacu pada tanda-tanda yang ditunjukkan oleh alam dan benda-benda langit, terutama bulan. Para Rato memiliki cara sendiri dalam perhitungan bulan gelap maupun bulan terang.

Tahapan ritual Wulla Poddu

Jenis dan ritual yang dilakukan tidak selalu sama antara kampung penyelenggara yang satu dengan yang lainnya. Namun secara garis besar ritual adat yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam beberapa tahapan ritual.

Deke Ana Kaleku (penyerahan kaleku)

Pada tahapan ini, Rato Rumata dari Kampung Geila Koko yang merupakan kampung penentu ritual  Wulla Poddu datang ke Tambera untuk memberitahukan bahwa bulan suci telah tiba melalui simbolisasi penyerahan kaleku (tas tradisional Sumba yang berisi sirih dan pinang). Penyerahan kaleku menjadi penanda bahwa warga kampung perlu menyiapkan berbagai hal untuk melaksanakan perayaan besar ini.

Tubba Ruta (pembersihan liang dan guci keramat)

Secara harafiah, Tubba ruta memiliki makna  buang rumput, berlangsung pada malam hari dipimpin Rato  Uma Lede. Ritual ini merupakan pembersihan liang dan guci (periuk tanah) keramat yang diberi nama Dinga Leba. Dinga Leba akan diisi dengan air yang bersumber dari mata air suci Waikasa. Air dalam guci akan dijadikan media untuk meramal prospek hasil panen saat berlangsungnya ritual sangga kulla yang merupakan inti ritual Wulla Poddu.

Setelah kegiatan ritual selesai rato pulang ke rumah dan melakukan pemujaan sampai pagi (pakeleku baga). Kemudian pada sore harinya dilanjutkan dengan Kaleisuna.

Kaleisuna (penyampaian undangan)

Kaleisuna adalah penyampaian undangan oleh Rato Ina Ama kepada rato-rato lain yang bermukim di Kampung Tambera untuk mengikuti Tauna Marapu atau musyawarah adat.

Tauna Marapu (musyawarah adat)

Prosesi ini merupakan forum musyawarah adat untuk membicarakan persiapan-persiapan yang diperlukan dalam pelaksanaan Wulla Poddu. Musyawarah ini berlangsung di kebun pamali yang disebut Kaliwu Dima yang dipimpin Rato Rumata yang menjabat sebagai imam adat. Setelah kesepakatan tercapai kemudian Rato Rumata memimpin upacara pemujaan (noba) dengan menyembelih enam ekor ayam milik enam buah Kabisu (sub-klan).

Seorang Rato sedang ‘membaca’ usus ayam untuk melihat kemungkinan hasil panen yang akan datang

 

Usus ayam dari masing-masing kabisu tersebut dibaca oleh Rato sebagai indikator hasil panen pada masing-masing kabisu. Apabila usus ayam bentuknya bagus maka hasil panen akan melimpah. Namun, bila bentuk usus buruk, kabisu pemilik ayam perlu bekerja lebih giat lagi untuk menghindari kegagalan hasil panen.

Padedalana (pengumuman berantai)

Prosesi ini merupakan penyampaian pengumuman tentang pelaksanaan Wulla Poddu yang diteriakkan secara berantai dari satu rumah ke rumah lainnya. Hal ini dimaksudkan supaya semua warga segera bersiap diri menyambut bulan suci.

Pogo Wawo (memotong pohon pamali)

Ritual ini dilakukan sehari setelah Padedalana, dimaksudkan untuk mengganti pohon pelindung yang berada di dekat natara podu -halaman tempat berlangsungnya ritual dan tarian adat- dengan pohon pelindung baru. Pada kesempatan ini diadakan pertandingan gasing antara Kabisu Anawara melawan Kabisu Wee Lowo. Apabila pemenangnya Kabisu Anawara maka daerah sekitar Tambera dan Loli dipercaya akan menikmati panen melimpah. Apabila pemenangnya adalah Kabisu Wee Lowo maka dipercaya keberhasilan panen akan menjangkau wilayah yang lebih luas.

Toba Wanno (bersih-bersih kampung)

Ritual adat Toba wanno dimaksudkan agar seluruh rumah dan kampung dibersihkan dari penguasaan roh-roh jahat. Ritual ini ditandai dengan pemukulan Ubbu; sebuah tambur keramat yang hanya boleh dibunyikan sekali dalam setahun. Bunyi Ubbu menjadi tanda mulai berlakunya seluruh pantangan-pantangan di bulan suci.

Prosesi ini dilakukan dalam kondisi gelap gulita, tidak boleh ada cahaya sedikit pun. Dalam kondisi gelap gulita, semua penghuni rumah keluar dari rumahnya masing-masing dengan membawa tempurung kelapa berisi abu dapur. Wadah dan isinya ini sebagai simbol roh jahat. Wadah tersebut diletakkan di luar gerbang kampung dan setiap warga kampung dapat melemparinya dengan tongkat kayu yang telah diberi tanda.

Keesokan harinya, warga kampung akan mengecek apakah lemparan semalam ada yang mengenai wadah tempurung kelapa tersebut atau tidak. Apabila lemparan tersebut tepat sasaran, maka pelemparnya dipercaya akan berhasil memburu babi hutan.

Mu’u Luwa (makan ubi)

Proses ini merupakan forum musyawarah adat untuk memutuskan apakah ritual-ritual Wulla Poddu selanjutnya akan dilaksanakan di dalam rumah (kabu kuta) atau di halaman. Pada kesempatan ini semua peserta membawa ubi dari rumah masing-masing dan dimakan bersama di Uma Rato. Mereka juga memberikan persembahan kepada leluhur dan dewa-dewa agar Wulla Poddu tahun ini berjalan lancar.

Woleka Lakawa

Dalam ritual ini anak-anak (lakawa) akan berkumpul di tengah Wulla Poddu, bernyanyi sambil diiringi bunyi gong. Ritual akan dilaksanakan pada malam hari tanpa penerangan.  Woleka lakawa berlangsung setiap malam hingga tiba ritual selanjutnya.

Rega Kulla (menyambut tamu)

Sesuai namanya, Rega Kulla merupakan ritual penyambutan tamu adat yang terdiri dari serombongan rato dari kampung Bondo Maroto. Para tamu (kulla) datang ke kampung Tambera yang berjarak sekitar 10 km dengan menunggang kuda dan konon katanya disertai anjing- anjing Marapu yang tak kasat mata. Tujuan kedatangan kulla adalah untuk mengambil berkat di gua tersebut.

Mereka akan tinggal selama tiga hari dan selama waktu itu mereka melakukan kunjungan ke kampung-kampung sekitar, lalu mengikuti perayaan di gua suci. Di masa silam, rato-rato Tarung turut menjadi kulla di Tambera. Namun akibat perselisihan yang terjadi pada tahun 1970-an, mereka tidak lagi ikut serta dan mengambil berkat ditempat tersendiri.

Ket foto : Kunjungan kulla yang terdiri dari para Rato ke Kampung Tambera untuk mengambil air suci

 

Sangga Kulla (inti perayaan Wulla Poddu)

Inti ritual ini – sebetulnya merupakan inti perayaan Wulla Poddu – adalah pengambilan berkat di gua suci. Sekitar jam tiga sore, rato-rato Tambera, kulla Bondo Maroto, dan seluruh warga kampung berangkat menuju gua suci. Tapi hanya para rato yang diizinkan masuk ke dalam gua dan hanya dua di antara mereka, yaitu Rato Rumata dan Rato Wee Nogo yang boleh mendekati Dinga Leba (guci keramat). Mereka melakukan pemujaan, memberikan persembahan, dan memeriksa air dalam guci keramat. Jika air suci yang telah isi beberapa waktu sebelumnya tetap penuh, berarti hasil panen bakal melimpah.

Ket foto : Para Rato membawa pulang air suci dalam guci keramat

 

Jika tinggal sedikit, berarti hasil panen tidak begitu bagus. Setelah pemujaan selesai, Rato Rumata menyerahkan kawuku (simbol berkat dalam wujud simpul tali) kepada rato-rato Bondo Maroto. Begitu berkat diterima, para kulla itu segera mengambil kuda-kuda mereka dan bergegas pulang, tidak boleh menoleh ke belakang sampai tiba di kampung asal.

Kepulangan mereka disambut meriah dengan perayaan dan tari-tarian yang berlangsung sepanjang malam. Di Kampung Tambera juga ada perayaan besar yang disebut Wolla Kawuku, dimeriahkan dengan tarian, nyanyian, serta wara (pitutur adat tentang asal usul nenek moyang).

Perayaan ditutup menjelang dini hari, saat Rato Rumata turun ke natara podu, berkeliling arena sambil menyanyikan lagu Dingu Manu diiringi alat musik tradisional yang disebut katuba. Beberapa orang Wanita akan beriringan di belakang rato, menari sambil masing-masing memegang satu ekor ayam.

Wolla Karua (perayaan beras suci)

Inti perayaan ini adalah menumbuk beras suci (bai wesa karua) yang berlangsung di setiap rumah adat. Padi ditumbuk dalam lesung yang tertutup kain oleh dua sampai lima orang pria berbusana adat lengkap. Beras yang telah ditumbuk sebagian dibawa ke Uma Rato untuk dimasak beramai-ramai saat penutupan Wulla Poddu kelak. Wolla Karua dirayakan selama tiga malam dan dimeriahkan dengan wara dan tari-tarian.

Wolla Wesa Kapai

Ada dua kegiatan inti yang dilaksanakan pada kesempatan ini, yaitu Pogo Weri (pemotongan daun kelapa muda yang berfungsi sebagai simbol atau tanda larangan (weri) dan Oke wee maringi (pengambilan air suci). Baik weri maupun air suci ini untuk sementara waktu disimpan di uma rato, keduanya baru akan digunakan pada puncak perayaan Wulla Poddu yang disebut Kalango. Weri nantinya akan dipasang di bina tama (pintu masuk) dan bina lousu (pintu keluar), sementara air suci akan dipercikkan kepada seluruh peserta upacara sebagai tanda pemberkatan.

Massusara Male (memasak)

Konsep dasar perayaan ini adalah pulang kampung,tempat semua anggota kabisu berbondong-bondong pulang kampung untuk ikut merayakan puncak acara Wulla Poddu (kalango) yang akan berlangsung esok harinya. Masing-masing membawa satu ekor ayam untuk dipersembahkan kepada Ama Wolu Ama Rawi sebagai ungkapan syukur dan mohon perlindungan.

Ada beberapa ritual penting dalam perayaan ini, antara lain Mamulla (ritual berkumur dengan air suci yang dilakukan semua warga di rumah maing-masing sebagai simbol pembersihan diri dari segala dosa dan kesalahan) dan Dengi Wini (prosesi pengambilan beras suci dari rumah-rumah yang berperan dalam Wulla Poddu.

Dengi Wini adalah ritual yang sakral dan hening. Hanya segelintir rato yang diperbolehkan hadir sementara seluruh warga harus mengunci diri di rumah masing-masing. Tidak boleh ada suara, bahkan anjing pun diungsikan ke luar kampung agar tidak berisik.

Prosesi yang berpusat di natara poddu dan Uma Rato ini dimulai dengan pemukulan gong suci, diikuti tarian dua pemuda tanggung yang bertugas sebagai pengumpul beras (boga dima). Selanjutnya, dengan membawa kaweda (simbol Marapu) dan wadah beras mereka menuju ke beberapa buah rumah yang akan diambil berasnya. Mereka tetap melangkah dalam gerak tari mengikuti irama gong di tengah kampung yang kosong dan hening.

Setelah beras diambil, mereka kembali ke Uma Rato, menyimpan beras di tempat yang telah disediakan, lalu mengulangi prosesi yang sama di rumah berikutnya, satu demi satu hingga selesai. Baru setelah itu warga diijinkan keluar rumah dan acara kumpul-kumpul pun dimulai. Hiruk pikuk perayaan berpusat di Uma Rato. Di sini berlangsung ritual Ana Kuku, lomba makan nasi antara dua kelompok anak-anak, kabisu Anawara melawan kabisu Wee Lowo.

Kalango Lado (puncak perayaan Wulla Poddu)

Kalango Lado merupakan puncak perayaan Wulla Poddu yang berlangsung dari pagi hingga pagi berikutnya. Perayaan dimulai dini hari dengan pementasan tarian di natara poddu.  Rato akan melumuri badan mereka dengan arang kayu atau jelaga dari periuk tanah yang disebut burri mala’a.

Ket. Foto : Para Rato melumuri badan mereka arang kayu atau jelaga periuk tanah

Umumnya pada saat ini beberapa Rato akan bertingkah seperti anak kecil, menari di natara poddu. Lalu pada jam tujuh pagi keesokan harinya, sebagian Rato Tambera berangkat ke kampung-kampung sekitar untuk menghadiri upacara penutupan Wulla Poddu di kampung-kampung tersebut.

 

Narasumber : Cornelis Tagubore

Foto : dokumen pribadi Sintus Lodovich Edo

Tinggalkan Balasan

2 komentar