HANYA hitungan lima menit saja dari jalan depan SMA Negeri 1 Moro –tempat kami berhenti sejenak– kami sudah sampai di jalan belakang sekolah, lokasi tanah saya yang akan kami tengok. Jaraknya hanya 300-an meter. Pak Pai saya ajak berhenti di tepi jalan lokasi tanah. Tanah itu tidak seberapa luas. Saya membelinya ketika saya masih berdinas di SMA Negeri 1 Moro beberapa tahun yang lalu itu.
Walaupun tanah itu tidak berubah, rumah setengah jadi yang ada di atas tanah itu juga tidak berubah hingga sekarang, namun hati saya begitu senang dan bangga dapat melihatnya. Hati saya serasa masih berbunga-bunga bagai mengingat dulu saat mendapatkannya. Tanah itu diperoleh dengan membayar secara angsuran kepada pemiliknya. Karena niatnya untuk membangun tapak rumah, pemilik tanah bersedia menjualnya kepada saya dengan cara cicilan. Tidak mudah juga mendapatkannya. Agak lama juga lunasnya. Dan setelah lunas, begitu berbahagianya rasanya hati saya. Inilah salah satu perasaan puas yang membuat hati saya rasanya berbunga-bunga.
Kini tanah itu dapat kembali saya lihat setelah sekian lama tidak datang berkunjung ke Moro. Saya sempat ngobrol dengan Iwan, orang yang saat ini saya izinkan menumpang di rumah itu. Beberapa menit di sini, kami meneruskan berkeliling. Saya benar-benar merasa berbahagia hari ini. Bersama tokoh Moro yang dulu bersama memajukan SMA Negeri 1 Moro saya bisa berkeliling. Dia rela meminjamkan motornya untuk saya berkeliling kota Moro. Dia pun rela menemani saya sekaligus menjelaskan segala sesuatunya selama kami berboncengan, naik motor itu. Ibarat guaet, bapak yang sejatinya sudah sepuh ini tetap cekatan bercerita dan mengenang masa-masa lalu kami saat bersama, dulunya.
“Kita ke lokasi tanah yang dekat MTs sana, Pak. Boleh?” Pak Pai langsung menjawab cepat, ayo. Kemana aja kita pergi, ayo, kira-kira begitu dia menegaskan atas pertanyaan saya itu. Kami pun berangkat menuju arah lokasi tanah yang tidak jauh dari sekolah agama itu. Setelah meamrkir motor agak ke tepi jalan, saya naik ke atas. Kebetulan tanahnya berbukit sedikit. Jadi, Pak Pai menunggu saya di sekitar parkir motor bagian bawah.
Selama kurang lebih 15 menit kami berhenti di lokasi tanah ini. Ini tanah kedua yang masih saya miliki di Moro. Dua persil lainnya sudah saya jual beberapa tahun yang lalu setelah saya pindah bertugas ke Tanjungbalai Karimun. Dua persil yang tersisa ini saya biarkan tetap menjadi aset saya di Moro, pulau yang lebih dari 8 tahun saya bersamanya. Ada banyak kenangan yang terbayang saat ini. Semua itu bagaikan membayangkan taman-taman indah yang pernah ada dalam hidup saya selama di sana.
Memang terasa sentimentil jika mengenang banyak pengalaman selama di Moro. Delapan tahun tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar. Selama itulah saya menjadi warga Moro dengan segala suka-dukanya. Dua orang anak saya yang lahir ketika saya bertugas di Tanjungbatu, saya besarkan di Moro. Anak sulung hingga remaja sementara anak kedua hingga dia tamat Sekolah Dasar. Keduanya membersamai saya dan isteri (Rajimawati, isteri pertama) hidup di Moro. Satu orang lagi anak saya (anak bungsu), lahirnya di Moro. Morolah daerah tumpah-darahnya. Maka sangat tepat jika saya memiliki begitu banyak kenangan di Moro.
Ada banyak kenangan bagaikan taman selama di Moro. Banyak pula kenangan bagaikan ujian ketika hidup memegang kendali maju-tak majunya sebuah sekolah baru, SMA Negeri 1 Moro. Inilah SLTA pertama di Kecamatan Moro yang mencakup banyak pulau waktu itu. Dua kecamatan pemekaran yang saat ini sudah lahir –Kecamatan Durai dan Sugi Besar– wilayahnya masih menjadi bagian dari Kecamatan Moro. Sulitnya komunikasi dan transportasi dari dan ke Moro waktu itu menjadikan nama Moro waktu adalah Moro Sulit.***
Renyah