Takdir Sang Gadis di Tepi Sungai Ciberang

Cerpen, Fiksiana33 Dilihat

“Ina, udah makan belum?” tanya bi wati kepada anak gadisnya yang duduk di bangku SMK.

“Nanti aja mah, Ina gak mau makan” balasnya dengan nada malas. Tampak sekali ia begitu muram di sore itu.

“Kamu kenapa Nak?” sahut ibunya lanjut bertanya.

“Gak apa-apa mah, perasaan Ina lagi gak enak ” jawabnya.

“Mikirin apa sih Nak? Anak perawan jangan banyak melamun, nanti cepat tua. Cepat mandi, bentarlagi magrib. Setelah magrib anterin Ade ke Pengajian ya” balas ibunya.

Senja pun datang membawa pucuk-pucuk kegelapan, sang senja  menenggelamkan rasa bahagia di hati kecil si gadis yang berambut ikal.

Wajah yang muram serta perasaan yang sedih nampak nampak jelas dalam tatapan matanya. Entah apa yang ada dalam benaknya, kesedihan yang besar seperti berkalung dalam perasaannya.

 

“Ina, udah solat magrib belum Nak?”

Ibunya kembali menengoknya di kamar, melihat ia yang terus berbaring ibunya nampak kesal.

“Ina lagi gak mau solat mah” jawabnya lemas

“Astagfirullah Nak! Gak boleh kaya gitu. Solat itu kewajiban. Ayo sayang, biar hati kamu tenang kamu solat dulu” Ajak ibunya.

Akhirnya Ina terbangun dari kasurnya dengan langkah yang seperti sangat malas. Ina kemudian melaksanakan solat magrib.

“Mah, Ina gak mau anter si dede ngaji, Ina pengen istirahat” ujarnya.

“Iya biar mamah aja yang antar” jawab ibunya.

Senja semakin berkawan dengan gelap. Ibunya kembali dari pengajian dan mendapati Ina yang masih murung di dalam kamar.

“Kamu kenapa Nak? Kalau ada masalah sama temen di sekolah cerita sama Mama” ujar ibunya.

“Aku gak apa-apa mah, gak ada masalah” jawabnya dengan pandangan kosong.

Dari luar, tetiba ada suara yang mengetuk pintu

“Tok tok tok, Assalamualaikum”

Ibunya kemudian bergegas membuka pintu.

“Eh neng Lilis, ada apa neng?” sapa si ibu

“Ina ada gak Bi Nuri? Saya mau ajak dia ngerjain PR bareng” jawabnya.

“Iya ada, ayo kamu ajak Ina belajar ya biar semangat. Dari tadi sore Ina murung aja” sambungnya.

“Iya Bi”

Bak menemani malam yang resah, seperti itulah Lilis menemani sahabatnya yang nampak gelisah. Seperti ada kesedihan panjang yang mengusik rasa di hati sahabatnya. Berkali-kali Lilis menghiburnya dengan sebuah cerita yang menggambarkan kelucuan, tetapi Ina hanya menanggapinya dengan senyum kecut.

 

Jam di dinding semakin berbalapan dengan waktu, malam semakin gelap dan Lilis pun pamit pulang.

***

Lantunan suara adzan membungkus fajar menuju siang. Suara ayam berkokok seakan belomba membuka pagi dengan semangat.

Hari itu pagi berteman dengan laras-laras dingin, menendakan musim panas siap menyongsong.

Musim panas itu terkadang membawa kecemasan bagi warga yang tinggal di area pegunungan. Bagaimana tidak, ketika musim pana tiba sumber mata air dari pegunungan biasanya mengering. Hal itu menyulitkan warga untuk melakukan aktvitas.

Di pagi itu, baik air di kamar mandi rumah Ina dilanda kekeringan, sehingga dengan terpaksa Ina harus mandi di sungai ciberang yang ada di sebrang rumahnya.

“Mah, Ina mau mandi di Ciberang” ujar Ina di pagi hari yang terburu-buru mengejar jadwal sekolah.

“Iya, mamah juga mau nyuci baju. Nanti mamah nyusul setelah bikin nasi goreng” balas ibunya.

Dengan langkah tergesa-gesa Ina bergegas pergi menuruni anak tangga menuju sungai Ciberang. Segala perlengkapan mandi sudah ia bawa lengkap dengan ‘samping’ kain untuk menutupi badannya.

Biasanya pemandangan sungai Ciberang di pagi hari pada musim kemarau, bak pemadangan di tengah pasar. Namu, di pagi itu baru terlihat Ina seorang yang berteman dengan air. Ia perlahan membasuh wajahnya. Rambut ikalnya yang berkuncir ia lerai agar terjambak air.

Di rumahnya, ibunya nampak kerepotan dalam menyajikan sarapan pagi. Piring yang ia ambil dan di letakan di wajan tiba-tiba jatuh tersenggol tangannya.

“Praaaakk”

Suara piring itu seperti memecah perasaan Ibunya Ina. Seketika ia menjadi gelisah dan teringat anak gadisnya. Seolah mendapat sebuah firasat, ia segera berkemas mengambil cucian dan berlari menuju sungai.

Dari anak tangga yang menjadi akses menuju sungai, Bi Nuri melihat tubuh anaknya yang separuh badanya di tenggelamkan oleh Ina. Betapa Ina begitu menikmati suasana mandi di pagi Itu.

Belum sampai di anak tangga terakhir, tiba-tiba Bi Nuri menyaksikan sebuah batu besar menggelinding dari atas tepi Ciberang. Bi Nuri kaget setengah mati dan Ia berteriak

“Inaaaaaaaaa Awaaaaaaaaaaaaaasss”

Belum sempat menengok ke arah ibunya, batu besar itu menididih badannya amat cepat. Lebih cepat dari hitungan menit. Baru itu seperti kilat yang menggelinding seperti luncuran senjata. Batu yang amat besar itu seketika membuat tubuhnya yang mungil seperti tertelan.

Ibunya histeris, cucian yang di gendongnya di lemparkan seketika.

“Inaaaaaaaaaa Tolooooooooong” teriak ibunya yang seperti di tusuk bilah pisau paling tajam. Ia tak kuasa menyaksikan anaknya menghadapi sakratul maut ia sesak sembari terus berteriak meminta tolong.

Beberapa menit kemudian 5 orang lelaki yang merupakan tetangga Bi Nuri turun menuju sungai mendengar sebuah teriakan.

Bi Nuri lemas dan tak sadarkan diri. Kelima lelaki itu sekuat tenaga mengangkat batu besar yang menumpuk badan mungil Ina. Tapi upaya itu tak berhasil. Karena suasana yang mulai gaduh akhirnya seluruh warga di kampung pergi menuju sungai.

Suasana di sungai seketika berubah menjadi ramai, banyak ibu-ibu yang menangisi Ina, dan banyak pula yang menenangkan ibunya.

Para Bapak-bapak semua bergegas mengangkat batu. Setelah kurang lebih tiga puluh menit akhirnya batu itu terangkat dengan bantuan puluhan tangan para bapak-bapak.

Suasana itu begitu mengharukan, tubuh mungilnya seperti tak bertulang, tulang bagian dadanya nampak remuk. Kepalanya berlumuran darah, dan sebagian tulang pipinya terlihat remuk.

Dengan sigap warga membawanya dari sungai. Salah satu warga meminjami mobil untuk membawanya ke tempat pertolongan terdekat yaitu puskesmas.

Ibunya yang masih lunglai, kemudian tersadar dan ia berteriak histeris. Ia merasa kecewa dengan keadaan dan berharap bahwa ini semua adalah mimpi. Dengan lemas ia menyul anaknya menuju puskesmas.

Di puskesmas para perawat melakukan upaya terbaiknya, badan Ina masih terasa hangat dan nadinya masih berdetak, para perawat berkeyakinan bahwa Ina bisa selamat.

Dengan langkah yang bergetar, suara yang serak serta air mata yang berjuntai, Bi Nuri mendatangi anaknya. Ia tak kuasa melihat kondisi anak gadisnya yang tadi pagi baik-baik saja. Seperti di terpa petir di siang bolong, ia merasa sesak melihat putrinya yang berjuang dengan maut.

Perlahan dan pelan denyut nadi Ina semakin melemas, separuh wajahnya yang nampak remuk semakin lemas dan pasrah dengan keadaan. Lima menit setelah kehadiran ibunya Ina menghembuskan nafas terakhirnya tanpa sepatah kata kalimat perpisahan. Tangis ibunya pecah. Ia meraung-raung seakan gila. Seperti mimpi di tengah hari ia tak kuasa menerima keadaan.

Suasanya di puskesmas menjadi sangat emosional. Banyak warga yang merasakan kepergiaannya, isak tangis seakan bersahutan di ruang rawatnya. Ibunya yang masih histeris sulit menerima kenyataan.

Tak ada firasat, tak ada kekhawatiran yang di rasakan ibunya. Tak ada kata pamit membuat dada Bi Nuri begitu sesak. Satu jam sebelumnya Ina terbangun dengan wajah segar, ia kuncir si rambut ikalnya dengan ikat rambut berwarna pink. Masih terlihat jelas dalam pikiran Bi Nuri.

Siang semakin berangkat mau tidak mau, berat atau sulit inilah takdir. Akhirnya Bi Nuri iklas melihat anak gadisnya di bawa dalam keranda mayat menuju rumah sang khalik.

Setiap kematian akan menjemput tanpa kita ketahui dengan cara apa maut itu akan tiba. Untukmu, gadis manis yang penulis narasikan dalam tulisan ini, semoga engkau syahid dalam kematianmu. Aamiin.

-Sekian-

Tinggalkan Balasan

1 komentar