Sang Penghuni Huntara

Cerpen, Fiksiana103 Dilihat

Riak hujan mengantarkan pagi yang gemetar, dalam dingin yang rindang terdengar celoteh tangis memecah keheningan.

“Ea…eaa…eaa” tangisan si bayi merah yang baru berumur 2 minggu.

“Si cantik umi, pinter ya, pagi-pagi udah bangun. Dede pipis ya? Umi ganti ya popoknya” ujar ibunya sambil mengganti popok.

“Umi, mana pakaian dede yang kotor? Mau Risma cuci” tanya si sulung pada ibunya.

“Itu di pojok. Teteh jangan lupa air tadah hujan di luar bawa ke kamar mandi ya!” balas ibunya.

“Iya Umi”

Si sulung yang penurut kemudian melakukan apa yang diperintahkan ibunya. Dalam desiran angin yang berhembus pada hujan yang rintik, ia menyelesaikan tumpukan cucian yang menggunung.

 

Suasana pagi yang sunyi seakan mengukir celah-celah sajak yang lunglai. Hujan menidurkan matahari hingga ia lupa untuk terbit.

“Teteh kalau udah beres nyuci, masakin umi sayur pakis ya” ucap ibunya memberi perintah.

“Iya Umi” balasnya dengan semangat.

Risma, si gadis cantik yang pintar nan penurut begitu telaten merawat ibunya yang baru melahirkan. Ia menggantikan peran seorang ibu untuk kedua adiknya dengan  rasa sabar dan penyayang.

Selama dua minggu ia mengurus rumah, merawat ibunya serta mengurus kedua adiknya, menjadikan ia seorang pribadi yang dewasa.

Di pagi itu, ia bangun mengejar fajar membuka pagi dengan deretan aktivitas layaknya ibu rumah tangga. Sang hujan yang bercucuran setia membersamainya dengan elok. Hingga detik berlari, dan menit berganti, namun hujan begitu lekat berkawan dengan pagi.

Usai memasak sayur pakis, Risma kembali ke kamar madi. Ia ambil cucian untuk di keringkan di teras rumahnya.

“Umi, gantungan putarnya udah penuh. Baju dede yang kemarin belum kering” ujarnya dari teras rumah.

“Pake jepitan baju aja teh. Jepitin ke tambang” balas ibunya bernada memberi perintah.

Risma kemudian bergegas mengambil jepitan untuk menjepit bajunya. Setelah ia selesai menggantung semua pakaian basah itu, tiba-tiba ia merasakan keanehan di teras rumahnya.

Ia menatap dinding tanah di samping rumahnya. Diperhatikan dengan baik, tekstur tanah itu bergerak perlahan. Melihat hal itu, Risma berlari ke dalam rumah dan berteriak pada ibunya.

“Umi, ada longsor, ayo kita keluar Umi!” ajaknya dengan panik.

Tanpa berpikir panjang, ia menggendong adiknya yang berumur 3 tahun. Ibunya kemudian segera menggendong bayi merah berumur 12 hari itu. Mereka berlari meninggalkan rumah.

Beberapa langkah dari pintu rumahnya, tiba-tiba tanah yang mereka injak bergerak dengan cepat. Risma dan ibunya semakin panik. Ibunya  terjatuh pada kubangan lumpur, serta bainya terpental pada pohon pisang.

Risma histeris dan si bayi menjerit kencang. Pohon pisang itu, semakin melandai terbawa arus longsor. Dengan sigap Risma mengambil si bayi dari pohon pisang itu dengan gerakan kaki yang gemetar.

Ibunya berteriak histeris, kakinya terjebak dalam kubangan lumpur yang semakin dalam. Dari arah samping, nampak longsoran tanah hendak membungkus badannya. Lagi-lagi Risma sekuat tenaga menarik ibunya dengan tangan kanannya. Sebuah perjuangan yang begitu emosional, tangan kiri Risma menggendong si bayi merah dan tangan kanannya menarik ibunya. Di sampingnya sang adik kedua menangis dengan badan yang gemetar.

 

Ibunya semakin bergejolak, sekuat tenaga ia mengangkat kakinya dari jebakan lumpur, gusar hatinya seperti berlomba dengan arus longsor susulan yang hendak menimpa tubuhnya.

Hampir lima menit penyelamatan itu berlangsung, akhirnya Risma dan ibunya berhasil menyelamatkan diri dari maut.

Mereka berlari bersamaan dengan kejaran longsor. Risma dan ibunya menyaksikan para warga berhamburan dari rumah mereka.

“Bi Sitti, ayo kita lari ke Hutan Sibanung” teriak salah satu warga kepada ibunya Risma.

Risma dan ibunya kemudian mengikuti arahan warga. Mereka beralari menuju hutan Sibanung. Sebuah hutan di atas bukit dengan dataran yang luas.

Para warga berduyun-duyun menuju Sibanung, mendirikan tenda dan menunggu bala bantuan. Si bayi merah yang malang itu, hanyut dalam dingin. Bibirnya  membiru dan tangisnya amat lemah. Risma dan ibunya amat bingung. Tak ada pakaian yang mereka bawa, meski hanya sehelai. Para warga berupaya keras menghangatkan badannya.

Rumahnya yang tertimbun longsor, meninggalkan  segala perabotan serta elegi yang mendalam. Tiada lorong harapan yang menguatkan hati mereka. Mereka gundah dan resah dalam perut yang lapar. Bahkan bulan pun tak muncul meski hanya untuk mengintip.

Si Bayi merah yang kuat, bertahan dalam gelap yang pekat. Dalam pelukan hangat ibunya ia amat sabar seolah mengerti dengan keadaan.

Setelah penantian selama selama tiga hari tiga malam, ibu Bupati datang menjemput para korban untuk dilakukan evakuasi. Keluarga Risma adalah keluarga kedua yang di angkut dengan helikopter.

Mereka para warga yang malang itu kemudian bermukim di Batalion Mandala Yudha, sebuah Mess TNI yang kini di kosongkan, karena para TNI itu menghuni tempat baru.

Tiga bulan dalam pengungsian banyak suka cita yang mereka dapatkan. Kehilangan rumah huniannya adalah ratapan yang hingga saat belum terpecahkan solusinya.

Ibu Bupati kemudian memulangkan para warga menuju kampung halamannya. Hutan Sibanung yang dulu dijadikan tempat untuk menyelamatkan diri, kini di sulap menjadi sebuah hunia beratap biru. Para warga menyebutnya dengan sebutan ‘Huntara (Hunian Sementara)’. Sebuah hunian beratap terpal yang apabila datang hujan atapnya menari-nari kencang senada dengan tarian angin, dan apabila datang cuaca panas, maka suhunya amat menusuk tulang.

Sebuah harapan yang masih tersimpan dalam hayalan, entah kapan mereka memiliki rumah yang layak seperti sebelumnya. Belum ada jawaban yang pasti. Mereka berkawin dalam perasaan yang terombang ambing menunggu sebuah kepastian.

Begitulah seorang Risma dan warga lain menjalaninya, hidup dalam tenda biru bukan hanya judul sebuah lagu melainkan langit rumah mereka, para penghuni HUNTARA.

Bila harus penulis ceritakan, ada sesak yang mendalam di hati mereka. Sebuah impian berlagu sebagai kabar angin yang entah kapan berlabuh dengan pasti.

Demikian tulisan ini penulis utarakan sebagai narasi penggugah rasa syukur di hati pembaca. Setidaknya ketika pembaca membaca narasi ini, ia menatap langit rumahnya yang berseri menjadi payung kokoh. Tak seperti mereka para pengisi tenda biru yang hampir lapuk atas terjangan angin. Bocor ketika hujan, dan menyengat ketika panas.

Semoga ada untaian doa dan pemberi harapan untuk mereka sang penghuni Huntara.

-Sekian-

 

Tinggalkan Balasan