Mbah Taslim

Terbaru63 Dilihat

MBAH TASLIM

Kang Khasan

Kang Karjo datang tergopoh-gopoh, nyelonong begitu saja, tanpa salam memasuki ruang tamu mbah Taslim, bapak setengah baya itu berpakaian seadanya, kaos kumal, celana pendek tanpa dandanan sedikitpun, wajahnya yang lusuh menggambarkan tekanan teramat berat,

“Maaf mbah, anak saya nangis terus, ndak tahu sakit apa” tanpa mempedulikan tamu yang sudah datang duluan, Kang Karjo langsung menghampiri mbah Taslim

“Sudah periksa dokter?” tanya mbah Taslim

“Sampun mbah”

“Kata dokter sakit apa?”

“Panas biasa mbah, tapi badanya nggak panas banget, malah nangisnya sudah dari kemarin belum berhenti,”

“Dari kemarin?” mbah Taslim mau bertanya, tapi keduluan tamunya, “ah masa?” tanyanya lagi

“Nggih mbah, dari kemarin, karena itulah mbah, saya minta tolong mbah Taslim, mohon bantuanya agar anak saya bisa tenang” Kang Karjo memohon

Hening sejenak, nggak tahu apa yang ada dalam pikiran mbah Taslim, namun wajahnya tertunduk seolah memikirkan sesuatu, Kang Karjo dan satu tamu yang masih muda dan badanya segar bugar juga tidak memberi komentar apapun.

“Umurnya sekarang sudah berapa?” tiba-tiba Mbah Taslim bertanya masih dalam kondisi menunduk

“Satu tahun mbah” jawab kang Karjo

“Apa sering sakit-sakitan?” tanya mbah Taslim lagi

“Nggih mbah”

“Namanya siapa?” tanya mbah Taslim

“Roby mbah”

“La itu,” wajah Mbah Taslim tiba-tiba terangkat tanpa sadar “Kamu mau ganti nama anak kamu?”  tanya mbah Taslim kemudian.

“Ganti mbah?” Kang Karjo balik bertanya, bimbang.

“Ya, ganti, itu kalau kamu mau” jawab Mbah Taslim.

Kang Karjo tidak langsung menjawab, wajahnya lesu tertunduk.

“Roby itu artinya pengeranku, atau tuhanku, anakmu kayaknya nggak kuat dengan nama itu, lagian mosok anak kamu panggil pengeranku, rasanya kok yo kurang pas” Mbah Taslim memberikan alasan.

“Nggih, nggih mbah, saya manut” sambil mengangkat wajah, Kang Karjo menjawab, “Saya kasih nama siapa mbah?” Tambahnya.

“Lo, yang punya anak kan kamu, maka kamu yang berkewajiban memberi nama.”

“Mohon jenengan kasih nama Mbah, saya takut salah lagi.”

“Sebentar ya” Mbah Taslim beranjak masuk rumah, berjalan agak berat bersama tongkat usang penyangga tubuhnya, karena fisiknya yang sudah termakan usia; sebentar kemudian keluar sambil membawa gelas plastik berisi air mineral.

“Namanya Taslim saja ya” sambil mengulurka gelas yang dipegang pada Kang Karjo.

“Taslim mbah?” Tanya Kang Karjo ragu.

“Ya, Mohammad Taslim, saya beri nama itu untuk kenang-kenangan” jawab Mbah Taslim.

“Nggih mbah, saya terima”

“Air itu minumkan ke anakmu, usapkan pula di seluruh tubuhnya ya, paling nggak di wajah dan kakinya”

“Nggih mbah” kata Kang Karjo menganggkkan kepala.

“Anakmu namanya siapa?” Mbah Taslim menguji.

“Rob, anu, Taslim mbah” karena kebiasaan, Kang Karjo hampir menyebut anaknya dengan nama Roby, tapi buru-buru menyebut nama Taslim.

“Mohammad Taslim,” tegas Mbah Taslim, “besok kalau kamu punya cukup rizki, tandai dengan syukuran, walimah tasmiyah, sak ambeng (satu baki besa – red) nggak apa” Tambahnya.

“Sudah, sekarang pulanglah, Kasihan istrimu!” Mbah Taslim seolah mengusir.

Setelah mengucapkan terima kasih, Kang Karjo berpamitan, bersalaman pada Mbah Taslim dan tamunya.

Sepuluh menit berlalu, tamu yang sedari tadi menunggu melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus.

“Bagaimana mbah, apakah saya diizinkan buka toko lagi?”

Seperti biasannya, Mbah Taslim tidak langsung menjawab, menundukkan kepala seolah memcari jawaban. Dayat nama tamu tersebut tidak bisa berkutik, hanya diam. Pengusaha emas yang sudah menpunyai tiga toko itu, setiap mau membuka Cabang selalu meminta izin Mbah Taslim, termasuk Cabang ketiga yang sempat berpindah-pindah tempat.

“Kamu boleh buka toko lagi, tapi ada syaratnya” Kata Mbah Taslim yang agak lama terdiam.

“Kok pakai syarat mbah?” Candra Dayat.

“Ya, kali ini harus pakai syarat” tandasnya.

“Nggih mbah, jika saya mampu, saya akan penuhi”

“Pasti kamu mampu, masalahnya kamu mau atau tidak” tegas Mbah Taslim

“Nggih mbah, jika saya dianggap mampu, pasti saya penuhi, syaratnya apa Mbah?” Tanya Dayat agak ragi.

“Syaratnya, setiap bulan kamu harus memberi honor guru Madrasah Diniyah di Musholla sebelah, paling sedikit satu guru, Bagaimana?”

“Nggih Mbah, siap” Jawab Dayat tegas.

“Jika siap, mulailah hari Ahad Kliwon, pekan depan”

“Nggih mbah” hanya jawaban itu yang bisa diucapkan oleh Dayat.

“Sekarang pulanglah, saya terpaksa mengusir kamu, sebab sudah sore, saya mau mandi dulu, mensucikan diri, sambil nunggu cucuku yang belum datang, biasanya kami sholat magrib berjamaah, dan cucuku yang jadi Imam.” Kata Mbah Taslim mengusir.

Dayat berpamitan, kakinya hampir saja berdiri, tapi terhenti melihat ada tamu yang barusan datang.

“Ooo kamu Jo, ada apa lagi?” Setelah menjawab salam, Mbah Taslim menyapa tamu yang ternyata Kang Karjo.

“Alhamdulillah Mbah Taslim, Taslim sudah diam, nggak rewel lagi” Kata Kang Karjo.

“Alhamdulillah, bawa sini mendekat” Mbah Taslim tersenyum saat namanya disebut dua kali, Kang Karjo mendekatkan anaknya, dipegangnya dahi Taslim kecil, mulutnya berdoa, kaki kanya dihentakkan ke bumi tiga kali sambil berkata “Hebat, Hebat, Hebat”

Kang Karjo dan istri mengamini ucapan Mbah Taslim, begitu juga dengan Dayat.

“Sudah, sekarang pulanglah” Kata Mbah Taslim.

Istri Kang Taslim yang dari tadi tersenyum, menyerahkan kantong kresek berisi gula dan kopi, yang dibawa rumah.

“Apa ini nduk?” Tanya Mbah Taslim

“Sekedar ucapan terima kasih” jawab istri Kang Karjo.

“Nggak usah, bawa pulang saja ya”

“Ngak Mbah, sudah saya niatkan dari rumah”

“Gini saja, bawa pulang, nanti habis isyak kamu masak, bawa kesini ya” perintah Mbah Taslim.

Kang Karjo dan istri saling pandang tanpa kata sedikitpun.

“Atau biar disini, tapi nanti kamu setelah isyak kesini untuk memasak bawaanmu, pilih mana nduk”

“Ada acara to Mbah” Dayat yang penasaran memberanikan diri bertanya.

“Nggak, nggak ada acara apa-apa, kamu juga nanti harus kesini lo” Kata Mbah Taslim yang dijawab anggukan oleh semua tamunya, sementara istri Kang Karjo memilih meninggalkan bawaanya.

Mbah Taslim masuk ke rumah untuk mandi, berpapasan dengan Fatimah cucu menantunya.

“Nduk, di luar ada kantong kresek, taruh meja tengah, nanti biar dimasak istrinya Karjo ya,” Fatimah mengangguk dan mengambil yang dimaksud Mbah Taslim.

Fatimah baru dua tahun  dinikahi cucu Mbah Taslim, mereka hidup rukun bahagia, menemani si Mbah yang hidup sebatang kara, setelah sang istri meninggal setahun lalu.

Seperti hari-hari sebelumnya, ruang tengah rumah dimanfaatkan jamaah magrib sekeluarga, tidak di Musholla yang letaknya tepat di sebelah utara, mengingat sholat Mbah Taslim dalam posisi duduk, itupun selalu menjadi makmum sedang yang menjadi imam adalah cucunya Prasetyo Aji.

Sore ini, adzan magrib belum berkumandang, namun Mbah Taslim sudah menggelar sajadah dibantu Fatimah, bahkan sudah duduk berdzikir memutar tasbih putih kesayanganya, yang terbuat dari tulang Onta. Setelah magrib, Fatimah menyusul bersiap berjamaah.

“Nduk, kok tumben, suamimu belum datang, kemana?” Tanya Mbah Taslim.

“Sebentar lagi paling Mbah, apa kita sholat dulu” Fatimah menawarkan.

“Nggak nduk, kita tunggu suamimu, kamu yang sabar ya” jawab Mbah Taslim.

Baju Mbah Taslim dibiarkan terbuka, memberi kesempatan kipas angin kecil di hadapanya masuk mengenai tubuh yang terbungkus kaos dalam. Sebentar kemudian, terdengar suara salam dari luar, suara yang tidak asing itu berasal dari mulut Aji.

“Ayo le, cepetan, langsung ambil wudhu” perintah Mbah Taslim.

Aji langsung masuk ke kamar, ganti pakaian, ambil wudhu dan mengikuti perintah si mbah. Aji berdiri paling depan, Mbah Taslim sholat sambil duduk di belakang Aji agak ke kanan, sementara Fatimah ada di belakang, jamaah magrib berlangsung khusuk.

Usai salam, Aji berjabat tangan menyalami si Mbah, kali ini tangan beliau memegang begitu kuat dan agak lama, Aji membiarkan tidak berusaha melepas, hingga duduknya digeser agak ke kanan, dipandanginya wajah si Mbah penuh makna, wajah si Mbah juga menatap Aji, mulutnya tersenyum lembut sambil berkata “kamu yang sabar, yang ikhlas ya” Aji mengangguk.

Aji masih memimpin wiridan, hatinya berkecamuk aneh atas parilaku si Mbah kali ini, setelah selesai membaca tahlil, Mbah Taslim gantian mimpin do’a, namun berdoa kali inipun juga aneh, agak lama tidak seperti biasa.

Mbah Taslim mengambil posisi rebahan, tangan kananya masih memegang tasbih yang sesekali digerakan, sedang tangan kirinya kadang digunakan memegang ujung surban, mengusap mulutnya. Aji melaksanakan sholat bakdiyah magrib, tepat ketika salam, terdengar suara klotak, disusul dengan suara Fatimah.

“Mas, Mas Aji, Mbah mas.”

Buru-buru Aji menoleh ke belakang, didapatinya gigi  palsu Mbah Taslim lepas dari mulutnya hingga tadi bersuara klotak, dipandanginya wajah seperti sedang tertidur, dipegangnya pergelangan tangan yang masih hangat.

“Mbah, Mbah,” Aji menggoyang-goyang tubuh Mbah Taslim, tapi sama sekali nggak ada jawaban, diperiksanya lagi dengan meraba beberapa urat nadi tangan dan kaki, namun tidak sedikitpun ditentukan yang Aji cari, hingga akhirnya mulut Aji berguman “Innailaihi wainna ilaihi roojiun.”

Fatimah yang masih memakai mukena seketika berteriak tanpa sadar, menangis menghampiri suaminya, begitu kuat teriakan itu, hingga terdengar K. Kodir yang sedang lewat depan rumah untuk menunaikan sholat isyak.

“Ada apa, ada apa?” K. Kodir nyelonong masuk rumah.

“Mbah Taslim yi, coba jenengan teliti” jawab Aji meneguhkan hati.

“Innailaihi wainna ilaihi roojiun” setelah memegang sama sini, mulut K. Kodirunpun berucap.

“Tolong Yi, sampaikan pada tetangga, umumkan nanti setelah sholat isyak saja, biar nggak mengganggu sholat mereka” Aji masih bisa berfikir jernih.

K. Kodirun keluar rumah, mendadak beberapa orang yang akan berjamaah berdatangan, melihat jasad Mbah Taslim yang masih berada di atas sajadah, memakai peci putih, sorban menggelantung di leher dan tanganya memegang tasbih.

Suara adzan isyak berkumandang.

“Bapak dan Ibu, monggo berjamaah isyak dulu nggih, nanti ke sini lagi” tanpa bermaksud mengusir, Aji justru mempersilahkan orang yang datang untuk meninggalkan rumahnya dulu.

“Kamu kok nggak merasa kehilangan” ada diantara yang datang nyeletuk.

“Saya sedih karena kehilangan, tapi saya yakin Mbah Taslim wafat dalam keadaan khusnul khotimah, itulah kenapa saya nggak menangis” jawabnya ringan.

Aji menghibur istrinya yang masih menangis, beberapa saat terdengar pengumuman dari pengeras suara Musholla “Innalilahi wa innailaihi rojiun, telah meninggal dunia dengan tentang H. Moh. Taslim, pada jam 18.35”

Tetanggapun banyak berdatangan, sebagian diantaranya ada yang menangis, ada pula yang setengah tidak percaya. Semua yang hadir benar-benar kehilangan sosok yang selama ini suka menolong, memberikan nasehat,  memberikan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, tak terkecuali Kang Karjo dan Dayat yang menjelang magrib tadi meminta tolong dan baru meatas undangan Mbah Taslim sore tadi.

Selamat jalan Mbah, semoga Allah menerima semua amal baiknya, dan mengampuni semua dosamu.

Amin.

Bojonegoro, 13 Juni 2021.

Tinggalkan Balasan