Penerbit Indie versus Penerbit Mayor (Pertemuan ke-17 Belajar Menulis PGRI)

Flyer belajar menulis 24

Mengenal Dunia Penerbit

Waktu terus berlalu. Bumi masih tetap melakukan kerja rotasinya untuk membuat pergantian siang dan malam. Planet paling memungkinkan untuk bertahan hidup bagi segala makhluk fisik ini juga masih konsisten berjalan pada orbitnya melakukan kerja revolusinya. Kerja rotasi dan revolusi itu membuat waktu terus beringsut dan mengantarkan peserta pelatihan belajar menulis asuhan Om Jay sampai pada titik ke-17.

Informasi tentang jadwal pertemuan dalam flyer sudah disebar di WAG sejak pukul 11.26 wita. Wajah Pak Mukminin sekarang lebih jelas. Sejauh ini saya hanya melihat beliau wara-wiri dalam bentuk pesan-pesan tertulis di WAG Belajar Menulis 24 dan beberapa WAG sejenis. Ya. Mukminin, S.,Pd., M.,Pd., narasumber pertemuan ke-17 dengan materi “Mengenal Penerbit Indie”. hari Rabu, 23 Februari 2022, didampingi Bu Helwiyah seabagai moderator.

Pukul 18.55 moderator sudah menutup pintu pesan WAG untuk peserta agar kegiatan pelatihan berjalan kondusif. Sebagaimana ritual setiap pelatihan sebelumnya, moderator membuka pelatihan dengan “prosedur standar”, mengucap salam, membaca doa, menyampaikan susunan acara, dan memperkenalkan narsum dengan materi pelatihan.

Sebagaimana narsum sebelumnya, narsum kali ini juga bukan narsum “kaleng-kalengan”. Membaca curikulum vitae-nya setiap peserta akan memiliki persepsi dan pikiran yang sama bahwa Pak Mukminin jelas memiliki kelayakan tak diragukan untuk menjadi narsum pada belajar menulis ini. Sebagai alumni belajar menulis asuhan Om jay, Cak Inin menjadi salah satu alternatif narasumber yang dipandang mampu untuk memberikan pencerahan pikiran kepada peserta. https://cakinin.blogspot.com/2020/10/curiculum-vitae.html

Sebelum menyampaikan materi, Cak Inin berkisah tentang kronologis perjalanan pena-nya sampai menjadi penulis dan berhasil menerbitkan buku. Salah satu bukunya sudah terjual sampai 500 ekp.

Beliau bertutur bahwa karier menulis mulai dirintisnya pada usia 55 tahun (dua tahun yanga lalu). Dalam anggapan kebanyakan orang usia tersebut bisa jadi dianggap terlambat. Akan tetapi, tidak bagi Cak Inin. Bagi saya ini sebuah pesan bahwa belajar menulis itu tidak mengenal usia. Belajar itu bukan persoalan umur tetapi terletak pada kemauan (niat), komitmen, dan keseriusan, ketulusan untuk melakukannya. Pesan ini tentu saja dapat menjadi pemantik peserta untuk belajar tanpa patah semangat dan putus asa. Perjalanan menjadi penulis dituangkan Cak Inin dalam blog-nya yang dapat dikunjungi melalui link https://cakinin.blogspot.com/2022/02/usia-56-tahun-aku-berkarya-dan.html.

Setelah merasa berhasil membakar motivasi peserta untuk terus menulis, Cak Inin menggoda peserta dengan sebuah pertanyaan sederhana.

“Apa alasan seseorang menulis buku sebutkan 4 saja”

Peserta yang menjawab paling logis akan diberikan hadiah. Pertanyaan dan kompensasi yang ditawarkan narsum tentu saja membuat peserta berebut menjawab pertanyaan tersebut.

Setelah berhasil menggoda peserta Cak Inin mengajak peserta memasuki materi inti. Cak Inin menulis,

“Pada zaman melinial ini semua org bisa menulis dan menerbitkan buku. Baik sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dosen, maupun wiraswasta. Menulis dan menerbitkan buku itu mudah, tidak serumit yg kita bayangkan. Apalagi sbg seorang guru pasti bisa menulis baik fiksi maupun karya ilmiah. Guru memiliki byk kisah dan pengalaman inspiratif tersebut perlu kita tulis dan terbitkan buku menjadi yg bermanfaat bg orang lain/ pembaca.

Uintuk bisa terlatih menulis memang butuh ketekunan dan perjuangan. Selain itu, perlu juga tekad dan motivasi tinggi agar tidak goyah saat menjalani proses menulis.

Berbicara motivasi, ada banyak kata-kata agar kamu terus semangat menulis. Melalui kata-kata mutiara tentang menulis bisa menjadi motivasi agar sukses dalam berkarya.”

Pembuka materi yang ditulis Cak Inin di atas merupakan pintu masuk ke dalam kesadaran peserta bahwa perkembangan zaman (teknologi) memberikan peluang yang sangat luas bagi setiap orang untuk menghasilkan tulisan dan menerbitkannya. Dalam konteks pembelajaran, guru sebagai profesi yang secara langsung bersentuhan dengan proses pembelajaran memilki banyak kisah dan pengalaman inspiratif yang dapat dituangkan secara tertulis. Tulisan yang disusun dengan baik, menarik, dan sesuai standar penulisan dapat diterbitkan menjadi buku. Keberahsilan membuat tulisan tentu saja harus ditopang oleh ketekunan, motivasi, dan tekad yang kuat.

Kata-kata adalah pembakar semangat. Kata-kata adalah struktur logika yang dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk berbuat sesuatu. Cak Inin tidak lupa membumbui materinya denga kata-kata mutiara.

Pada materi inti, Cak Inin menyampaikan “Tahapan Cara Menulis dan Menerbitkan Buku yang Tepat”. Menurutnya, tahapan awal menulis adalah prawriting. Tahapan ini merupakan proses mencari ide. Penulis dalam hal ini harus memiliki kepekaan terhadap peristiwa atau pengalaman yang ditemukan di lingkungan sekitar. (Pay attention). Ada keterlibatan unsur kreativitas dalam menangkap fenomena yg terjadi di sekitar untuk menjadi tulisan. Hal paling utama dari tahapan ini adalah banyak membaca buku.

Tahapan berikutnya adalah drafting. Pada tahap ini penulis mulai membuat draf (outline buku/daftar isi buku). Berdasarkan draft tersebut penulis kemudian mengembangkan gagasannya sampai menjadi sebuah buku.

Menurut Cak Inin, menulis memiliki kebebasan untuk menulis sesuai dengan pasion (hal yang disukai). Seseorang dapat membuat tulisan dalam bentuk artikel, cerpen, puisi, novel dan sebagainya. Dalam membuat sebuah tulisan, seseorang harus mengerahkan daya kreatifnya dalam merangkai kata, menggunakan majas, dan berekpresi untuk menarik pembaca. Ini berarti bahwa kemampuan imaginasi sangat dibutuhkan penulis dalam meramu tulisan agar menjadi sesuatu yang menarik.

Kemampuan imaginasi adalah daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang secara umum. https://bit.ly/3BGVhLb

Pengertian imaginasi di atas mengandaikan bahwa ada keterlibatan logika dalam setiap aktivitas mental. Imaginasi bukan semata tentang khayalan tetapi juga menyangkut kemampuan berfikir untuk menata kalimat sehingga menghasilkan tulisan yang membuat betah pembaca.

Tahap berikutnya adalah revisi. Setelah naskah selesai ditulis tahapan yang tidak dapat diabaikan adalah revisi naskah. Dalam proses revisi penulis dapat mempertahankan unsur tulisan yang baik, membuang unsur yang tidak relevan, serta menambahkan unsur yang dinilai masih kurang. Proses ini, jika dikaitkan dengan materi sebelumnya, mirip dengan proses proofreading.

Jika revisi telah selesai, penulis dapat melanjutkan ke tahap editting/swasunting. Pada tahap ini, penulis melakukan penyuntingan yang meliputi perbaikan kesalahan tanda baca, kesalahan pada kalimat. Tahap ini disebut juga sebagai “swasunting” yaitu menyunting tulisan sendiri sebelum masuk penerbit. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan dalam penulisan. Dalam proses ini, dibutuhkan kemampuan bahasa Indonesia yang baik dan benar seorang penulis yang sesuai denga EBBI.

Materi selanjutnya dari narsum adalah materi inti dari pelatihan, yaitu tentang penerbit. Dalam penjelasannya, Cak Inin membuat dikotomi penerbit menjadi penerbit mayor dan penerbit indie. Perbedaan ke dua penerbit tersebut dipetakan berdasarkan beberapa hal, yaitu,

1) berdasarkan jumlah buku yang dicetak
Pada penerbit mayor buku yang dicetak berkisar antara 1000 sampai 3000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku. Sedangkan penerbit indie hanya mencetak berdasarkan pesanan yang didistribusikan melalui media online.

2) Pemilihan Naskah yang Diterbitkan
Pada penerbit mayor naskah harus melewati beberapa tahap prosedur sebelum diterbitkan apalagi penerbitannya dilakukan secara masal hingga 1000 – 3000 eksemplar. Penerbit harus hati-hati dalam memilih naskah yang akan dicetak atau diterbitkan. Penerbit bagaimanapun juga memiliki target berupa keuntungan sehingga tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Dalam menerbitkan sebuah naskah penerbit memiliki persyaratan yang sangat ketat. Penerbit harus melakukan survey tentang selera pasardan kemungkinan tingkat penolakan.

Berbeda dengan penerbit mayor, penerbit indie tidak terlalu mempersoalkan hal-hal di atas. Penerbit indie akan menerbitkan sebuah karya yang layak diterbitkan dengan catatan, tidak melanggar undang-undang hak cipta karya sendiri, tidak plagiat, serta tidak menyinggung unsur SARA dan pornografi, Hal ini menjadi alternatif baru bagi para penulis untuk membukukan tulisannya.

3) Profesionalitas
Pada penerbit mayor unsur profesional sangat diutamakan. Hal ini karena penerbit mayor memiliki dukungan kapital dan sumber daya pada perusahaan.

Penerbit indie juga sangat mengutamakan profesionalisme. Hanya saja ada semacam opini yang berkembang bahwa penerbit indie cenderung asal-asalan; asal cetak-jadi-jual. Beberapa penerbit indie memang cenderung kurang profesional. Penerbit menawarkan biaya murah tetapi kualitas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Banyak penerbit indie juga kurang memperhatikan mutu dan manajemen pemasaran buku. Hal ini bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Hal-hal seperti cover kurang bagus, atau kertas dalam coklat kasar bukan bookpaper (kertas coklat halus). Untuk itu penting bagi penulis untuk memilih penerbit indie yang memiliki managemen penerbitan yang baik.

4) Waktu Penerbitan
Pada penerbit mayor, umumnya sebuah naskah membutuhkan waktu 1-3 bulan untuk memberikan konfirmasi kepada penulis. Andaipun diterima penerbitan naskah harus mengalami anttrean panjang sehingga proses penerbitan bisa meunggu bertahun-tahun. Hal ini dapat dipahami karena penerbit mayor sebagai sebuah penerbit besar standar prosedur yang panjang dan berbelit-belit. pasca penerbitan juga memerlikan proses terutama pada tahap penjualan atau distribusi. Apabila dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit.

Berbeda dengan penerbit mayor, penerbit indie cenderung lebih cepat memproses naskah yang diterima, bahkan dalam hitungan minggu sudah dapat diterbitkan. Penerbit indie cenderung mengabaikan selera pasar. Perusahaan akan menerbitkan karya diyakini karya terbaik oleh penulisnya dan layak diterbitkan. Perusahaan tidak tidak memiliki pertimbangan rumit dalam menerbitkan buku.

5. Royalti
Penerbit mayor, dalam hal royalti, kebanyakan mengambil royalti penulis maksimal 10% dari total penjualan. Biasanya dikirim kepada penulis setelah mencapai angka tertentu atau setelah 3-6 bulan penjualan buku. Sedangkan pada penerbit indie royalti umumnya berkisar antara 15-20% dari harga buku.

6) Biaya Penerbitan
Biaya penerbitan pada penerbit mayor biasanya gratis. Hal ini menyebabkan penerbit tidak dapat secara langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus oleh mereka. Penerbit memiliki banyak pertimbangan lain, salah satunya, selera pasar.

Berbeda dengan penerbit indie, penulis harus memiliki kontribusi atau membayar kepada penerbit. Biaya penerbitan pada setiap penerbit indie tidak sama. Ini sangat tergantung pada pelayanan dan mutu buku yangg diterbitkan.

Perbedaan penerbit yang dipaparkan Cak Inin cukup jelas. Bagi penulis pemula, alternatif penerbit yang dapat dijadikan solusi adalah penerbit indie. Berbeda dengan penulis yang telah memiliki nama besar. Karya penulis pemula dan penulis profesional tentu saja akan ditempatkan pada posisi yang berbeda, baik oleh penerbit maupun masyarakat pembaca.

Perbedaan di atas tentu saja tidak membuat penulis pemula atau penulis yang masih berada pada tahap belajar akan menganggapnya sebagai tantangan berat. Hal penting dari proses menulis sebagaimana disampaikan oleh semua narsum adalah kemauan, komitmen, keseriusan, dan optimisme untuk menghasilkan tulisan demi tulisan. Analoginya, seorang atlet parkour tidak mungkin tiba-tiba mampu melompat dari satu ketinggian ke ketinggian lainnya tanpa pernah mengalami proses latihan. Mereka pasti pernah gagal dan cidera. Menulispun demikian.

Rabu, 23 Februari 2022