AYO BELAJAR BERHEMAT
Oleh: Nanang M. Safa
Anda pasti sudah sangat faham bahwa menyucikan diri dari hadas dan najis menjadi syarat sahnya shalat. Perbedaan antara hadas dan najis jika ditinjau dari sisi hakikatnya, najis adalah perkara yang zhahir dan bisa dilihat, seperti air kencing, darah, dan lain sebagainya. Sedangkan hadas adalah perkara maknawi yang ada di dalam jasad dan tidak dapat dilihat oleh panca indera (https://islam.nu.or.id/thaharah/ini-perbedaan-hadats-dan-najis-orW6a). Contoh hadas kecil adalah mengeluarkan kentut atau bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.
Cara membersihkan hadas yang paling lazim dan semua orang Islam melakukannya adalah berwudu. Dalam berwudu sendiri juga ada syarat sah wudu, rukun wudu, sunah wudu, dan doa sesudah wudu. Namun dalam uraian ini saya tidak akan membahas secara rinci tentang hal tersebut. Silahkan Anda membaca di buku fikih atau membuka situs internet yang banyak dikupas oleh ahlinya. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk mengungkap hal-hal yang jarang disoroti dan dibahas berdasarkan hasil pengamatan saya secara langsung.
Pernahkah Anda mengamati orang yang sedang berwudu?
Beberapa hari lalu saya ajak siswa di kelas yang saya ajar untuk praktik berwudu. Mereka saya ajak ke deretan kran yang ada di dekat masjid sekolah. Mereka begitu bersemangat. Lalu satu persatu mereka saya suruh untuk praktik berwudu. Satu kelas di sekolah saya ada 32 siswa. Setelah selesai semua, mereka saya ajak kembali ke kelas untuk mengadakan refleksi dan evaluasi.
Hasil refleksi sebagai berikut:
Pertama: Pemborosan air. Saya mengajak mereka menganalisis tentang penggunaan air. Dari 32 siswa ternyata hanya 6 anak saja yang membuka kran setengah lingkaran sedangkan 26 siswa membuka kran secara penuh. Perlu diketahui bahwa di sekolah saya kran yang digunakan berukuran ¾. Kran tersebut jika dibuka penuh akan mengalirkan air cukup deras. Saya pernah mengadakan percobaan dengan menghitung jumlah menit rata-rata orang berwudu yakni 1 menit. Saya juga memasang timba berukuran sedang untuk menampung air yang dikeluarkan si kran dalam waktu 1 menit tersebut. Ternyata dalam waktu 1 menit tersebut air memenuhi timba bahkan cenderung lebih. Lalu saya coba bandingkan ketika si kran hanya dibuka ½ putaran saja. Ternyata debit air yang dikeluarkan si kran hanya setengah timba saja. Jika dikalikan jumlah siswa di sekolah kami (670 siswa) maka bisa Anda hitung sendiri berapa selisih air yang harus terbuang di sekolah kami untuk berwudu.
Hal negatif lain yang saya catat adalah ketika kran dibuka penuh, aliran air kran yang cukup deras justru akan sulit ditampung di telapak tangan ataupun untuk membasuh anggota tubuh yang harus disucikan ketika berwudu. Justru lebih banyak air yang muncrat kemana-mana dan tidak mengenai sasaran. Bukankah hal ini juga bisa mengganggu orang lain yang sedang berwudu di sebelah kita?
Kedua: Saya jelaskan bahwa berwudu itu menjadi sebab sahnya shalat kita. Maka jika wudu kita tidak sah otomatis shalat kita juga tidak sah. Syarat sahnya wudu salah satunya adalah harus meratakan air ke seluruh anggota wudu (baca: anggota tubuh yang harus dibasuh ketika wudu). Dalam pengamatan saya ternyata masih banyak anak-anak yang membasuh anggota wudunya kurang merata. Misalnya ketika membasuh kedua tangan, masih banyak yang bagian belakangnya tidak sampai siku. Hal ini terjadi karena mereka tidak membalik tangannya ketika berwudu. Juga untuk kedua kaki. Seringkali kaki yang bagian belakang tidak terkena air secara merata sampai mata kaki. Penyebabnya juga sama, ketika membasuh kaki, mereka hanya membasuhnya di bagian muka tanpa membaliknya.
Ketiga: Ketika berwudu ada yang disertai canda. Hal ini tentu bisa menjadi sebab batalnya wudu karena bisa mengganggu ketertiban dalam berwudu yang merupakan salah satu rukun wudu.
Keempat: Belum bisa membedakan antara rukun dan sunah wudu. Hal ini terdeteksi ketika ada temannya yang lupa tidak berkumur atau membasuh telinga misalnya, ada yang serta merta berkomentar wudunya tidak sah, dan sebaliknya anak yang lupa tersebut juga buru-buru mengulang wudunya. Bukankah berkumur atau membasuh telinga merupakan perbuatan sunah? Perbuatan sunah itu memang sebaiknya dilakukan sebagai penyempurna ibadah. Namun ketika terpaksa tidak bisa melakukannya toch tidak akan membatalkan amalan kita. Itulah yang ingin saya fahamkan pada mereka.
Kelima: Masih ada anak-anak yang belum bisa membedakan antara bersuci dari najis dengan bersuci dari hadas. Hal ini saya temui dari seorang anak yang kebetulan menginjak najis (tahi ayam). Tanpa membersihkan najisnya terlebih dahulu, si anak langsung saja berwudu. Ketika saya tanya alasannya, dia bilang toch nantinya juga membasuh kaki ketika berwudu.
Itulah beberapa hal yang saya temukan dari pengamatan saya terhadap para siswa yang saya ajak praktik berwudu beberapa hari lalu. Bisa saja hal tersebut juga terjadi pada banyak orang di luar sana.
Sebenarnya prinsipnya adalah saya ingin mengajak mereka melakukan amalan/ibadah sesuai syariatnya dengan tetap memperhatikan sisi yang lain. Semisal dalam penggunaan air. Selain mereka harus belajar berwudu dengan baik, mereka juga harus belajar berhemat dalam menggunakan air. Bukankah dalam Al Qur’an surat Al Isro’ ayat 26 dan 27 Allah SWT juga melarang kita berlaku boros, sebab para pemboros itu adalah teman syetan.
Silahkan Anda tambahkan hal-hal lain sesuai hasil pengamatan Anda.
#kmab#32