Ujian Lima Tahun Perkawinan (12)

KMAA#24

Wajah kusut tampak garis-garis yang menua di bawah mata. Beban berat yang ditanggungnya seakan tercermin dalam wajah wanita umur tiga puluhan itu. Garis-garis kecantikannya memudar karena tak sempat lagi untuk merawat tubuhnya. Jangankan berlipstik,  berbedakpun kini ala kadarnya. Dalam pikirannya, bagaimana mendapatkan uang untuk bisa membayar hutang-hutang suaminya. Waktu dihabiskannya untuk mencari uang dan mencari uang, berhemat dan berhemat. Selesai mengajar dia lantas mencari tambahan dengan mengajar di tempat lain atau memberi les privat.  Sore hari baru pulang bahkan Isya baru pulang. Namun belum juga hutang-hutang itu lunas.

Terbersit dalam fikirannya siapa yang bisa membantunya. Kedua orang tuanya ? Tak mungkin ia berani cerita pada kedua orang tuanya. Bapak ibu sudah banyak membantu. Aku sudah sering merepotkannya. Lalu siapa? Bisakah aku pinjam uang orang lain, yang bisa memberi kelonggaran aku dalam mengangsurnya ? Kalau tak segera kututup hutang-hutang ini, setiap hari menjadi beban fikiranku, setiap hari ada saja orang yang datang menagih hutang. Aku akan pinjam pada satu orang dan kututup semua hutang beberapa orang yang menagihku.  Dan aku hanya fokus untuk mengembalikan pada satu orang. Tapi siapa? Apa rumah ini satu-satunya barang berharga yang kumiliki harus aku jual? Duuh Gusti Allah…berikan petunjukMu.

Beberapa saat aku termenung. Satu persatu kupikirkan kira-kira siapa teman yang bisa membantuku. Kurebahkan badan ini di atas kssur. Anakku Huda sudah sejak sore tadi terlelap. Kupandangi wajahnya yang polos bersih dan lucu menggemaskan.  Aroma tubuh bayi menyegarkan badanku. Melihat Si Kecil pulas di sampingku, rasa lelah setelah seharian keluar rumah, terhempas hilang, terobati dengan mengelus dan menciumi tubuh anakku. Ya Allah, begitu masuk rumah hilang seluruh penatku, berganti dengan rasa syukur yang tak ternilai melihat anak-anakku sehat dan menyenangkan. Meski aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk mereka, setidaknya aku sudah berusaha memberikan yang terbaik.

Tiba-tiba aku teringat teman  lama ketika aku masih mengajar di Akademi Analis Kesehatan Nusaputera. Bu Widyawati namanya. Ya, Bu Wid panggilannya adalah orang yang dermawan dan baik hati. Dia sering menolong orang yang kesusahan, menolong orang yang membutuhkan bantuannya. Karena dia tidak berkeluarga karena tidak menikah, dan tidak punya masalah finansial, sehingga uangnya banyak digunakan untuk membantu siapa yang menbutuhkan, sebagian disimpan di bank dalam bentuk deposito. Kiranya Bu Wid adalah orang yang tepat yang harus aku hubungi dan mintai pertolongsn.

*****

Kuceritakan semua kejadian yang menimpaku pada Bu Wid. Mulai dari awal pernikahan sampai detik itu yang terlilit hutang sekian puluh juta, yang tak sanggup aku bayar dan terus menerus dikejar administrasi dan bunga yang beranak pinak. Bu Widya memahami dan segera memberi solusi untuk melunasi semua hutang-hutangku, juga menebus sertifikat rumah kami. Dan Alhamdulillah Bu Widya memberi kelonggaran waktu kapan saja bila aku punya uang bisa mengangsurnya, berapa pun akan diterimanya semampuku, tanpa jaminan apapun. Subhanallah…begitu baik dan ikhlasnya beliau dan ini tak akan kulupa seumur hidupku. Aku tak usah memikirkan lagi, yang penting aku dan keluarga sehat, Mas Aro tidak mengulangi perbuatannya. Uang bisa dicari, tapi persahabatan dan cinta kasih  demi mempertahankan mahligai rumah tangga itu yang terpenting. Kuncinya adalah  kesabaran dan keikhlasan.

Berkat uluran tangan Bu Widya akhirnya kami bisa melunasi semua hutang-hutang kami dan juga bisa menebus sertifikat rumah. Semoga ini yang terakhir dan tak akan terulang lagi. Semoga ini menjadi pelajaran yang sangat berharga buat kami. Semoga hari-hari mendatang dapat kami songsong dengan hati yang optimis, hidup bergairah dan tekad untuk memperbaiki. Hari esok harus lebih baik dari hari ini dan hari kemarin.

bersambung…

Tinggalkan Balasan