Baiti Jannati (2)

KMAA#36

Selain mengajar di SMP Filial 20 Semarang  aku juga mengajar di SMA Negeri 10 Semarang. Ini kulalukan karena jatah mengajar di SMP Negeri 20 hanya 5 jam pelajaran. Memang aku rasakan ada diskrimasi antara guru senior dan guru yunior di sini, Guru senior berlomba untuk mendapatkan jam mengajar minimal 24 agar tunjangan sertifikasi lancar. Sedang guru yunior hanya bisa pasrah dan ”trimo ing pandum” (ikhlas menerima apa yang diberikan). Bila ini terus terjadi maka aku tidak bisa naik pangkat, dan nilai DP3 akan turun.

Mengajar siswa SMA  berbeda dengan mengajar siswa SMP. Selain karena siswa SMA sudah mandiri, tidak kekanak-kanakan,usia mereka sudah bukan anak-anak lagi. Jadi mereka bertanggung jawab pada masa depannya, lebih mudah untuk mengontrol emosinya dan sudah memikirkan ke depan, mau kemana setelah lulus SMA. Mengajar SMA metode dan pendekatan yang dilakukan juga berbeda, lebih banyak ke arah penerapan, diskusi praktis sejalan dengan perkembangan usia mereka yang bukan anak-anak lagi. kita sebagai guru memposisikan diri sebagai agen perubahan dengan menempatkan mereka sebagai pelaku perubahan.

Sedangkan siswa SMP adalah masa peralihan antara usia anak-anak dan usia remaja dimana pada masa ini mereka masih mencari jati diri, belum stabil emosinya, mudah tersinggung dan belum memikirkan dunia kerja apalagi masa depan. Menghadapi kenakalan remaja SMP, menyelami dunia mereka gampang-gampang susah meski problem mereka belum sekompleks remaja SMA. Kenakalan remaja SMP bila tidak diarahkan dan didampingi dengan intens bisa lebih serius karena rasa ingin tahunya dan ingin ‘mencoba’ lebih besar dibanding remaja SMA.

Beberapa siswa SMAN 10 adalah mantan siswaku di SMP 20. Saat mereka tahu aku juga juga mengajaar di SMA 10, mereka senang, ada pula yang cuek, seolah-olah belum pernah mengenal aku sebagai gurunya. Duuh..anak sekarang nilai karakternya. Bila tidak disapa duluan mereka tidak mau menyapa.  Namun hal ini tak kubiarkan, karena waktu di SMP dulu kuajarkan sikap untuk menghormati guru dimanapun berada, dan  ini harus kuingatkan lagi.

Di SMAN 10 ini lingkungan belajar yang kondusif, komunitas pendidik dan tendiknya yang ramah, wellbeing dan saling menghormati dan mau berbagi menjadikan aku betah dan lebih bersemangat mengajar di sini daripada di satmingkalku di SMPN 20. Memang SMPN 20 dan SMAN 10 bersebelahan, jadi kapan saja aku mau bisa di SMP atau di SMA. Dan SMAN 10 ini banyak pengalaman baru yang kudapat, selain setiap hari ada briefing sebelum pembelajaran dimulai, kegiatan ekstrakurikuler yang lebih beragam, juga kegiatan intrakurikuler kewirausahaan yang menjadi branding sekolah ini yaitu budidaya lele mulai dari pembenihan, pembuatan  pakan sampai pemasaran hasil menarik untuk kupelajari.

Meski jam mengajarku di SMA ini tidak relevan dengan sertifikat PLPG yang aku ounya, setidaknya aku bisa mengabdi, mendapat ilmu dan pengalaman yang bermanfaat. Bukan semata-mata mengejar finansi tapi aku mendapat banyak teman dan saudara di sini. Namun sayang, setelah ada pembukaan SMP negeri baru di ujung timur Kota Semarang dan aku lolos seleksi, maka SMAN 10 pun kutinggalkan dan menjadi salah satu catatan sejarah bahwa aku pernah mengabdi di sana, menebar ilmu dan berkarya di sana.

bersambung…

 

Tinggalkan Balasan