Dia Ayahku

Terbaru46 Dilihat

Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi menjawab, ‘Kemudian ayahmu.” (HR. Al Bukhari)”

Saat aku menulis ini, sesekali mataku tertuju pada kalender yang tergantung di dinding kamarku. Pandanganku tertuju pada satu nama bulan di tahun 2022 tepatnya bulan Juli. Dua hari yang tak bisa ku lupakan dalam hidupku pada bulan tersebut. Hari Sabtu dan  Minggu, 2 dan 3 Juli 2022. Dua hari yang dipenuhi dengan air mata duka, air mata kesedihan, air mata permintaan maaf, air mata penyesalan dan air mata permohona ampun pada Ilahi Rabbi. Layar handphonku  membiarkan dirinya basah oleh air mata yang mewakili perasaanku.

Seluruh yang ada di sampingku seolah mencemooh diriku yang menangis sembari jemariku terus bergerak untuk menulis. Ia seakan berkata,”Mengapa sekarang kamu menangis?, Apa yang kamu berikan  saat ayahmu masih bersamamu?” Pertanyaan-pertanyaan itu membuat air mataku semakin deras keluar.

Aku menangis karena semua kenangan tentang ayahku nyata ada di depanku. Kedekatanku bersama ayahku, apa yang sudah aku perbuat, apa yang ku katakan bahkan yang ku rasakan pada ayahku seakan nyata muncul kembali.

Ayahku, pria  bertubuh tinggi, langsing, berjenggot dan sedikit berkumis. Ia lelaki gagah, tangguh tapi berpenampilan sangat sederhana. Ayahku juga tak banyak bicara dan tak banyak menuntut kepada semua buah hatinya. Buah hati ayah tidak sedikit. Aku terdiri dari tujuh bersaudara. Aku merupakan anak pertama dari ayah dan ibuku.

Gambaran sosok ayahku, ku tuliskan dalam sebuah puisi . Puisi ini pun tidak akan mungkin bisa menggambarkan bagaimana sosok ayahku seluruhnya. Bahkan sampai tanganku tak kuat lagi memainkan jemari untuk menulis, menceritakan sosok ayahku, itu tidak akan mampu melukiskan sosok ayah terbaikku, terhebatku yang Allah  SWT berikan padaku. Ayah sempurna bagiku dan keluargaku. Lelaki pertama yang ku kenal dalam hidupku.

Dia ayahku…

Lelaki sederhana bertubuh kurus, sedikit berkumis dan berjenggot, dia adalah ayahku

Lelaki tabah, kuat dan sabar,  yang membesarkan buah hatinya,  dalam jumlah yang terbilang banyak, bersama seorang wanita cantik dan tangguh di mataku, ia adalah ayahku dan  ibuku

Lelaki yang telah berjuang ribuan langkah  bahkan tak terhitung bilangan langkahnya, berjuang untuk menghidupi buah hatinya, dia adalah ayahku.

Lelaki perkasa yang tahan dengan dinginnya malam, tahan dengan teriknya panas mentari, kuat dengan derasnya hujan, tak perduli dengan keselamtannya demi buah hatinya, dia adalah ayahku

Lelaki kuat yang tak pernah mengeluhkan lelah, tak pernah menceritakan derita, tak pernah ingin berbagi tentang beratnya hidup padaku, di depanku seakan tanpa beban,… ia adalah ayahku…..

Lelaki tabah yang tak menyalahkan dan menyesali takdir bahkan dengan cobaan dan ujian hidup yang dihadapinya, dia adalah ayahku

Lelaki yang menyimpan kegundahan hatinya, kesusahan dan kesedihannya karna tak ingin membuat  aku  dan  adik-adiku merasakan dan khawatir dengan persasaannya,    dia adalah ayahku ..

Lelaki yang tak pernah menjatuhkan tangannya ke tubuhku karena kenakalanku, dia adalah ayahku

Lelaki yang di bibirnya selalu berkata lembut, bukan berarti tak tegas, namun meletakkan tanggung jawab diri padaku, dia adalah ayahku….

Lelaki yang mengisi hidupnya dengan seluruh kasih sayang padaku, pada semua buah hatinya tanpa syarat,..dia adalah ayahku

Lelaki yang mengajari aku akan arti sabar, ikhlas menerima takdir, yang mengajari aku akan arti berserah diri pada Sang pemilik hidup tanpa harus membalas sakit yang dibuat orang lain padaku, dia adalah ayahku. Lelaki yang memberiku pelajaran bahwa balasan manusia tak seberapa dibandingkan dengan balasan Allah, dia adalah ayahku.

Dia ayahku….lelaki yang kini  hanya tinggal nama bersama seluruh kenangan yang tidak akan pernah hilang dalan perjalanan hidupku.

Dia yang selalu ada dalam setiap aliran darahku,  napasku, setiap pori-pori kulit tubuhku,…di hatiku, di nadiku, di jantungku dan di pandanganku,…dia adalah ayahku.

Meski aku berteriak hingga menggetarkan semesta, ayah tidak akan lagi bisa ada di depanku. Tidak akan bisa lagi ku dengar ayah mengatakan…..

“Kapan datang, nak?”

“Sudah makan, nak?”

Dan…..kata-kata yang  selalu dapat meneduhkan hatiku, membuat tentram perasaanku dan membuatku mempunyai semangat besar dalam hidupku, di samping buah hatiku dan suamiku sebagai lelaki kedua dalam hidupku..

Meski aku berontak sekuat ragaku untuk meminta ayah kembali padaku, namun ayah tak akan mungkin kembali. Ayah sudah dipanggil Sang Khalik.

Kini hanya tinggal kenangan yang ada. Kenangan itu bahkan sengaja aku tumbuhsuburkan dalam ingatanku. Mulai dari kenanganku bersama ayah di masa kecil sampai pada kenanganku bersama ayah yang terus menjadi motivator hidupku dalam membangun rumah tanggaku.

Ayah,…..ayah adalah sosok lelaki tangguh yang tak pernah mengeluh. Beratnya tanggung jawab ayah terhadap keluarga mampu ayah pikul. Masih lekat dalam ingatanku ketika ayah mengajakku dan ibu ke hutan karena ayah adalah buruh tani hutan. Banyak yang ayah kerjakan kala itu sampai mengajak kami menginap dalam gubuk kecil di sana. Ayah sosok pemberani. Berani  dengan sunyinya hutan, tidak takut memanjat  pohon yang sangat tinggi hanya sekedar mendapatkan ranting kayu yang kering. Ayah  kuat memikul batang kayu balok yang beratnya sampai berpuluh-puluh kilogram.

Sekarang, ayah sudah tidak ada lagi bersamaku. Kenangan tentang ayah selalu muncul dalam ingatanku. Ayah yang  bekerja sebagai tukang pikul  batang kayu balok teramat berat demi menghidupi kami. Ayah melangkah di depanku, ketika aku mengikuti ayah bekerja. Melintasi tanjakan atau jurang yang terjal dan licin. Kaki  ayah  tampak jelas sedang menahan beban di pundak agar tidak jatuh dan agar ayah tidak terpeleset. Sesekali ayah memanggilku tanpa menoleh ke arahku. Ayah memastikan aku tidak tertinggal  jauh di belakangnya.

Aku memperhatikan tulang rusuk ayah tampak jelas berbaris menunjukkan bahwa ayah sedang menahan beban berat di pundak. Keringat mengucur di sekujur tubuh ayah. Waktu itu aku masih kecil, aku tak merasakan beban yang ayah pikul. Kini ketika aku dewasa, membayangkan ayah saat itu saja, aku tak sanggup. Aku sedih, aku menangis. Ayah yang berjuang sangat berat untuk kami.

Ayahku sosok yang penyabar.  Ayah tak pernah menjatuhkan tangannya ke tubuhku, tubuh semua buah hatinya karena kenakalan kami. Kasih sayang ayah tanpa syarat dari kecil bahkan sampai aku dewasa, aku masih dianggap bagaikan anak kecil yang harus terus dibantu. Itu pula yang membuat aku tak bisa lepas dari ayah.

Waktu terus berjalan, umur terus bertambah namun usia terus berkurang. Itulah kenyataan yang terjadi.

Bulan Ramadhan tahun 2022, aku sholat ashar bersama ayahku sebelum aku pulang ke rumah. Ketika sama-sama bangun dari  tempat sholat, ayah mendekatiku dan menatapku penuh arti. Posisi berdiriku sangat dekat dengan ayahku. Aku memeluk ayahku yang saat itu tampak ingin menyampaikan  sesuatu padaku. Aku tidak menyangka ayahku akan mengatakan sesuatu yang mengejutkanku saat itu.

“Nak, ayah mungkin tak bisa menemanimu sampai akhir puasa ini. Ayah sudah tidak kuat lagi. Lihat! Kaki ayah sudah mengecil.”kata ayahku sambil menatapku dan mengusap-usap hidunnya.

“Jangan berkata seperti itu, Yah.” ujarku.

“Benar, nak!, Ayah sudah capek.

Aku menangis di depan ayahku. Ayah masih saja melanjutkan, mengapa ayah tak kuat lagi.

Aku salah pada ayahku. Ayahku sudah mengatakan tidak kuat lagi, kakinya sudah mengecil, namun aku tidak lantas melihat mana kaki ayahku yang sudah mengecil itu. Aku tak menghabiskan hariku bersama ayah. Aku sibuk dengan keluargaku. Aku seperti lebih mengutamakan keluarga kecilku, daripada ayahku  Aku tidak mengecek kesehatan ayahku. Aku tidak memaksa ayahku untuk pergi berobat, padahal aku tahu ayahku sulit diajak ke dokter karena tidak mau menyusahkan buah hatinya. Aku hanya membelikan vitamin dan sejenisnya tanpa ku tahu sakit apa yang diderita ayahku. Aku tidak peka dengan apa yang disampaikan ayahku waktu sholat Ashar bersama.

Ini adalah penyesalanku……Ayah…Alimudinku.

Tinggalkan Balasan