Aku sering mendengar orang berkata,“Seorang ibu mampu merawat sepuluh orang anak, namun sepuluh orang anak belum tentu mampu merawat satu orang ibu.”
Entah darimana dan dari siapa kalimat itu muncul tetapi sangat sering diucapkan terlebih lagi ketika kita melihat ada orang yag sudah berusia lanjut bahkan jalannya sudah terseok-seok namun masih saja mencari nafkah sendiri. Saya langsung saja bertanya dalam hati,”Apakah orang tua ini tidak mempunyai anak atau keluarga sehingga ia masih saja mencari nafkah sendiri. Bagaimana jika ia sakit?
Kewajiban anak terhadap orang tua adalah memberikan perhatian dan dukungan pada orang tua yang sakit, baik secara fisik maupun emosional, membelikan obat ketika sakit dan membawa orang tua ke rumah sakit.
Kalimat pembuka tulisan ini, mungkin ini benar terjadi sehingga kalimat ini sering kita dengar tetapi tidak untuk semua anak. Banyak orang tua yang mempunyai anak sangat perhatian kepada orang tuanya. Bukan sepuluh anak tetapi satu, dua atau beberapa anak namun mampu juga merawat orang tuanya. Jadi kalimat di atas menjadi terbantahkan.
Aku delapan bersaudara. Dua orang sudah meninggal dunia, masih enam orang terdiri dari tiga orang laki-laki dan tiga orang peremuan. Kami berenam saling berbagi tugas dengan sendirinya tanpa ada pembagian secara tertulis seperti manajemen kantor. Dengan kesadaran sendiri kami memegang tanggung jawab mengurus ayah yang sedang sakit waktu itu.
Salah satu contoh tanggung jawab tanpa ditulis adalah ketika ayah dibawa ke dokter oleh adik yang biasa menjadi sopir ayah. Ia tanpa diperintah oleh siapa di antara kami untuk membawa ayah ke dokter, ia segera berangkat. Kami yang tidak tinggal satu tempat dengan ayah langsung di kirimi pesan bahwa ayah dibawa ke dokter. Maka dengan cepat kami sudah menungu di tempat dokter.
Bukti kebersamaan kami. Ketika ayahku terkulai lemas di depan ruang praktek dokter, kami setia mendampingi. Tiba giliran ayah akan diperiksa dokter, berbarengan kami berdiri hendak membawa ayah masuk ke ruang perikasa. Anak dan menantu siap membawa ayah masuk ke ruang periksa. Semua bergerak. Demikian juga ketika pintu ruang periksa dokter terbuka, semua kembali berdiri menyambut ayah yang keluar dari ruang dokter.
Untuk penyelesaian administrasi pun demikian. Saling berlomba ingin duluan untuk menyelesaikannya. Mana resep obat, siapa yang ke asisten dokter, siapa yang ke laboratorium. Ibuku hanya diam saja melihat kami yang mengurus ayah seperti itu.
Dalam penyelesaian administrasi, tidak ada yang saling tunggu. Spontan saja di antara kami menawarkan diri untuk penyelesaian administrasinya.
“Saya, urus administrasi laboratorium,” kata adik yang perempuan
“Saya, urus administrasi di dokter,” kata adik yang laki
Aku sendiri menuju apotek untuk mengurus obat ayah setelah resep ku ambil dari adikku. Demikian seterusnya selama perawatan ayah. Tidak ada yang saling tunjuk dalam hal mengurus ayah tetapi dengan kesadaran dan rasa tanggungjwab tanpa ada rasa iri hati. Tanggung jawab sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika tidak dalam bentuk materi maka adik atau kakak akan bertanggung jawab dalam bentuk tenaga dan waktu seperti menjaga ayah di rumah sakit ketika ada adik atau kakak masih di kantor.
Setiap kali ayah dibawa ke dokter atau dirawat di rumah sakit, aku selalu berpesan pada perawat,”Jangan bicarakan masalah biaya di depan ayahku. Kalu ayahku bertanya tentang harga obat, jangan diberitahu harganya.”
Aku berpesan demikian pada perawat karena ayahku masih saja menganggapku seperti anak kecil yang belum bisa apa-apa. Ayahku tidak mau melihatku mengeluarkan uang. Ayahku pernah mengatakan,”Capek kamu cari uang,nak! Karena sakit ayah, uangmu sebentar saja habis.”
Kata-kata ayah itu pernah diucapkan ketika ayah dirawat di rumah sakit karena dipatok ular.
“Ayah adalah tanggungjawabku.”