Menjelang jam 11, saya meninggalkan area makan tersebut, sambil berjalan saya menghubungi suami memastikan dimana posisi beliau saat ini. Ternyata jawaban yang diberikan sangat mengejutkan, beliau baru akan bersiap-siap. Akhirnya saya memilih menunggu di sudut musholla rumah sakit.
Sambil menunggu kedua jempol pun mulai berselancar dengan huruf demi huruf menuliskan apa saja yang muncul dari pikiran. Menulis menjadi salah satu cara untuk mengusir kebosanan sehingga waktu begitu cepat berlalu. Saya beranjak dari musholla ketika suami mengirimkan pesan beliau telah berangkat. Saya pun menunggu di gerbang masuk pintu rumah sakit. Setelah sampai, kami pun berjalan beriringan menuju ruang Poli.
Sesampai di poli, saya menemui asisten dokter, seperti biasa, suami harus cek tensi dan berat badan. Semenjak mengetahui suami di Diagnosa menderita kanker Nasofaring, berat badan suami tiap waktu turun drastis. Berat badan awal 80, sampai hari ini menjadi 66. Tidak lama menunggu, tibalah giliran kami memasuki ruang dokter untuk konsultasi. Saya menyerahkan semua hasil pemeriksaan mulai dari CT-SCAN sampai dengan hasil Biobsi. Dokter membaca hasil Biobsi dan memberikan penjelasan. Beliau juga sempat menyinggung gambar hasil endoskopi.
Dokter menyarankan melakukan pengobatan lanjutan yaitu kemoterapi dan radioterapi. Dokter menyerahkan semua keputusan kepada kami. Dokter hanya menginginkan yang terbaik bagi kesembuhan pasiennya. Beliau sebenarnya mengerti yang kami rasakan, sehingga beliau tiada berhenti mensupport dan memotivasi kami untuk terus berjuang dan berusaha.
Beliau juga menjelaskan bahwa masih banyak peluang untuk sembuh, beliaupun sempat menyinggung kembali pasien beliau yang sembuh setelah melewati kemoterapi dan radioterapi. Dokter juga tidak lupa mengingatkan kami akan pengobatan yang akan kami jalani. “Boleh memilih berobat alternatif tapi jangan terlena”
Segala saran dan nasehat dokter membuat kami merasa nyaman dan semangat untuk terus melanjutkan pengobatan. Di sela-sela obrolan, Suami juga sempat bertanya, “Dokter, apakah kemoterapi tidak bisa dilakukan di sini saja?”
Dengan santai beliau berkata untuk apa menyeberang lautan jauh-jauh jikalau di sini bisa dilakukan kemoterapi. Mendengar penuturan dokter, kami pun hanya mengangguk.
Setelah beberapa waktu, suami pun menyampaikan keputusan untuk mengikuti saran dan anjuran dokter untuk melakukan pengobatan lanjutan di Provinsi Sumatera Selatan. Sebenarnya kami bebas memilih rumah sakit rujukan mana saja, mengingat kondisi covid yang makin memanas membuat kami memilih S
salah satu rumah sakit yang ada di sana.
Alasan lain pemilihan rumah sakit rujukan adalah kami memikirkan nasib anak-anak yang masih kecil ketika ditinggalkan. Selain itu saya juga bekerja. Tidak mungkin juga saya mengabaikan tanggung jawab saya Meskipun suami paling penting. Saya mesti sebisa mungkin membagi waktu sehingga tidak ada yang terbengkalai. Saya harus melakoni semua pekerjaan sebaik mungkin sehingga tidak ada yang terabaikan.
Dokter pun kemudian meminta asistennya membuat surat rujukan yang ditujukan ke bagian onkologi bedah plastik-THT rumah sakit tersebut. Meskipun rumah sakit rujukan itu sangat asing bagi kami, lambat laun rumah sakit tersebut akan menjadi rumah kedua sekaligus sahabat dalam suka duka.
Sebelum meninggalkan ruangan, dokter mengingatkan kami bahwa surat rujukan hanya berlaku selama satu bulan dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Beliau pun kembali bercerita bahwa suatu waktu, seorang pasien kanker nasofaring tidak mengikuti pengobatan secara medis setelah mendapatkan surat rujukan. Dia lebih percaya dengan pengobatan alternatif, ketika mengetahui penyakit nya makin parah, baru dia datang menemui dokter dan meminta rujukan ulang. Dokter tidak ingin hal yang serupa terjadi pada kami. Ketika sudah parah baru mau berobat.
Kami pun berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter karena sudah mengarahkan, menasehati dan senantiasa mensupport kami untuk terus berusaha dan berobat, karena apapun terjadi harus dihadapi dengan semangat. Sebagai keluarga pasien, saya sangat terharu dengan sang dokter. Keramahtamahan dan kebaikan nya membuat saya nyaman dan keluar dari rasa ketidakberdayaan. Andai saja semua dokter bisa seramah dan sebaik beliau, tanpa berobat pun pasien sudah merasa sehat. Paling tidak secara psychology nya.
Akhirnya kami pun pamit undur diri dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Sesampai di luar, kami langsung menyerahkan berkas dan surat kepada asisten dokter untuk dicap/distempel. Setelah menebus obat racikan, kami pun meninggalkan rumah sakit.
Sesampai di rumah, suami beristirahat sementara saya menginformasikan kepada abak tentang langkah pengobatan berikutnya. Beliau pun memberikan nasehat agar senantiasa mendampingi suami sampai sembuh. Meskipun Jumat ada jadwal keberangkatan kapal ke Palembang, kami harus menunda keberangkatan sampai Senin.
Tiga hari ini bisa digunakan untuk menghabiskan waktu bersama mereka dan juga untuk persiapan keberangkatan dan menyiapkan segala keperluan mereka selama ditinggalkan. Meskipun ini pertama kali nya saya meninggalkan anak-anak bersama babysitter mereka, saya berharap mereka mampu dan tenang sepeninggalan kami, sehingga tidak merasa kehilangan.
Sampai hari ini kondisi suami masih sama dan tidak ada perubahan sedikitpun. Untung nya Dokter meresep obat nyeri untuk sebulan sehingga ada cadangan obat sebelum mengikuti Tahapan prosedur pengobatan tersebut.
Tugas saya adalah mendampingi suami, memastikan asupan makanan dan nutrisi cukup serta bagaimana saya tetap memompa semangat nya untuk bertahan dan berjuang. Meskipun kadangkala diri ini sangat terpuruk tapi rasa itu mesti dibuang jauh-jauh agar suami tetap semangat melakukan dan menjalani kemoterapi dan radioterapi hingga sampai pada kesembuhan. Aamiin.