USG dan SWAB

Rabu, 4 Agustus 2021 adalah hari ketiga kami kembali ke rumah sakit. Hari ini kami tidak perlu pengambilan nomor antrian karena paket berobat Masih berlaku. Sesampai di rumah sakit, kami berbagi tugas agar pemeriksaan bisa dilakukan dua sekaligus, suami mengantri di ruang tunggu radiologi sementara saya di bagian pendaftaran laboratorium untuk tes SWAB antigen .

Kami harus bersabar menunggu sampai mendapat nomor antrian.
Setelah berkas masuk di radiologi, suami diarahkan menuju atau menunggu di pintu paling ujung dimana USG akan dilakukan. Ketika menuju tempat yang dimaksud, suami bisa melihat pintu demi pintu untuk melakukan cek radiologi, ada pintu ronsen dada, MRI, dan sebagainya.

Sementara saya masih menunggu nomor antrian swab keluar. Sambil menunggu, saya pun mengumpulkan bukti pengambilan hasil lab. Ibarat kata, “Sambil menyelam minum air.”
Tidak berapa lama pun nama suami dipanggil dan saya mengambil hasil cek darah pertama.

Setelah mendapatkan nomor antrian, saya mengikuti salah satu keluarga pasien menuju lokasi Swab, karena saya tidak tahu dimana tindakan swab dilakukan makanya saya membuntuti nya. Saya mengikuti beliau dan sekali-kali kami berpapasan dan berbicara. Kami terus berjalan melewati ruang Radiologi, tapi belum kelihatan tempat yang kami tuju. Kami terus berjalan ke arah ruang jenazah, tapi kami masih bingung karena arahan satpam masih tak terlihat.

Karena kebingungan, kami kembali mundur dan kembali bertanya ke satpam, kemudian beliau menjelaskan bapak ibu sudah benar tinggal terus saja berjalan sampai ke luar pagar, karena lokasi swab di tenda gedung sebelah.

Kami kembali berjalan ke arah kamar jenazah kemudian belok kiri, kami pun mengikuti petunjuk satpam. Setelah 100 meter barulah kami melihat tenda yang dimaksud. Kami pun melapor kepada petugas yang ada di sana dan mencatat nama pasien. Sebelum meninggalkan lokasi, saya menanyakan petugas tersebut, “Maaf bang nanya, Jam berapa swab dimulai?” petugas pun menjawab, “Kira-kira jam 11.” Saya pun pamit dan meninggalkan lokasi tersebut setelah mengucapkan terima kasih.

Saya berpikir masih bisa menemani suami melakukan USG sehingga beliau tidak sendirian. Saya pun mulai melihat sekeliling dan terlihatlah seseorang masuk ke dalam pagar, (saya menganggap ini jalan tikus) tanpa ragu saya pun mengikutinya. Jika saya nyasar, saya bisa kembali ke belakang, tapi jika saya mengenali jalan tersebut, maka saya mendapat keuntungan bisa membawa suami lewat situ.
Ternyata jalan ini adalah jalan pendek menuju ke ruang utama. Saya pun lega karena tidak harus melewati jalan pertama menuju lokasi swab.

Saya kembali menemani suami menunggu antrian USG. Untung nomor antrian suami tiga besar, sehingga tidak memerlukan waktu lama menunggu. Sebelum ke ruang USG, saya sempat mendaftarkan suami untuk ronsen dada, ternyata, ronsen dada harus dilakukan besok pagi.

Setelah USG, saya bersama suami kembali ke lokasi Swab lewat jalur pendek tadi, sebenarnya jarak tempuh tidak terlalu berbeda, yang membedakan adalah keteduhan dan kesejukkan. Ketika tiba di lokasi, ternyata di sana sudah ada petugas Swab. Kami pun mencari tempat yang jauh dari kerumunan.

Kami menunggu di tempat yang rindang di bawah sebuah pohon besar untuk mematuhi protokol kesehatan. Kami di sini lebih kurang dua jam sampai giliran suami. Hasil dari swab itu sendiri diambil keesokkan harinya.

Setelah selesai, saya pun mengajak suami lewat di jalan tikus tersebut. Saya berjalan mengimbangi langkah kaki suami, terkadang saya lupa kalau langkah suami terbatas semenjak beliau sakit sehingga ketika menoleh, beliau tertinggal jauh di belakang. Jalan yang kami tempuh lumayan jauh, berhubung mengambil jalan tikus jadi tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Untung saja petugas tidak menanyakan keperluan kami sehingga kami bisa lolos dari pemeriksaan petugas penjaga pintu masuk rawat inap.

Saya tahu ini tidak benar, tapi demi mengimbangi kondisi suami, terpaksa saya mengambil jalan pintas. Sambil berjalan beliau menahan sakit dan nyeri kepala, sambil berjalan beliau hanya mengandalkan mata kanan, ditambah menahan capek dan lelah karena terlalu jauh berjalan, sementara asupan makanan yang dimakan tidak berimbang, jadi membuat kondisi beliau mudah lemah dan lelah.

Kami terus berjalan dan berhenti di kantin untuk membeli makan siang. Suami hanya mau bubur sumsum dan puding sementara saya memilih masakan Padang. Setelah selesai, kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah singgah.

Di rumah singgah, suami langsung beristirahat karena merasa sangat lelah. Tentu saja setelah beliau bersih-bersih dan mengganti pakaian.
Saya hanya bisa memandangi nya, karena fisik beliau lebih kurang dua bulan ini benar-benar turun drastis.

Untuk membuat badan beliau rileks dan bisa tertidur, saya hanya bisa bantu melalui pijatan ringan di badan, tangan, serta kaki.
Pijatan tersebut bisa mengalihkan nyeri yang diderita. Setelah memastikan beliau terlelap saya pun berhenti memijat.

Saya pun mengambil HP dan mulai berselancar menghasilkan sedikit demi sedikit kalimat, hingga menjadi bagian-bagian yang dapat menjadi cerita. Saya menulis menggunakan smartphone kecil ini. Saya jarang menulis menggunakan laptop. Ketika menulis, pikiran melayang kemana-mana. Ada saja ide yang datang sehingga memenuhi kertas putih. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan dan suasana hati ketika mulai menggoreskan kata-kata, karena hati pun seakan-akan sunyi. Dia hanya bisa diam sambil menatapi tiap untaian kata.

Lamunanku buyar ketika suami terbangun dan minta dibuatkan susu. Dengan cepat ku tinggalkan HP dan mulai membuat susu. Untung saja perut suami masih mau menerima cairan putih ini, kalau tidak saya tidak tahu bagaimana dia bertahan.

Untuk melakukan kemoterapi, hasil pemeriksaan darah menjadi taruhannya. Jika hasil leukosit, hemaglobin, dan tranbosit dianggap kritis maka proses kemoterapi akan ditunda sampai ketiga hal tersebut kembali normal. Alhamdulillah, hasil pemeriksaan darah sangat normal, tinggal menunggu ronsen dada selanjutnya echo jantung besok pagi.

Harapan saya sebagai keluarga pasien, menginginkan yang terbaik untuk kesembuhan suami, sehingga suami bisa normal dan sehat seperti dulu. Sedih melihat anak-anak hanya berada di rumah tiap hari, sementara teman-teman bercerita mereka selalu jalan-jalan.

Semoga saja anak-anak tumbuh menjadi anak yang mengerti dan paham akan kondisi dan keadaan sekitar sehungga dia mereka bisa berempati dengan orang lain.

Sejauh ini pendidikan anak sulung baik-baik saja, meskipun kami tidak bisa mendampingi dia belajar, masih ada ayuk dan keluarga lain di sana. Tumbuhlah menjadi anak yang soleh, jujur, bertanggung jawab, dan mandiri hingga kau mampu menyelesaikan masalah mu dan sekolah mu tanpa bantuan orang lain, syukur kalau ibu bisa mendampingi terus menerus jika tidak pun kau harus terus dan selalu bersinar seperti matahari di siang hari dan seperti bulan di malam hari.
We always love you, My dearest children!

Tinggalkan Balasan