Syukuran Pernikahan (2)

Hari Minggu malam Senin, tanggal lima belas Januari adalah malam pertama di rumah sakit. Malam pertama seorang pengantin biasanya diliputi kebahagiaan. Namun, malam pertama di rumah sakit, menunggui istri terasa amat panjang. Istri yang tergeletak lemah di atas tempat tidur menjadi pemandangan utama.

“Bu, Aji pulang!”

Si Bagus yang sehari-hari kami panggil Aji mengirimkan sebaris pesan di grup keluarga. Dari mana dia tahu ibunya sakit? Untuk mengobati rasa penasaran, saya pun menanyakan kepadanya. O, istri Deri. Anak perempuan tetangga depan rumah yang memberitahukan kepada adiknya. Keruan saja, adiknya memberi kabar kepada sang kakak jika ibu mereka sakit.

Sebagai orang tua, kami tidak ingin mereka tahu bahwa kami sedang mengalami kesusahan. Kecuali jika kami mengalami hal yang kritis. Makanya saya agak kaget mendapat panggilan video dari si sulung, anak yang masih menikmati bulan madunya.

“Boleh saja, tetapi jangan bawa mobil. Naik kendaraan umum saja.”

Balasan singkat itu cukuplah. Jika belum terbiasa, menyetir mobil dari Jawa Barat ke Sumatera Selatan sangat melelahkan. Benarlah, kabar baik yang saya dengar, ia dan istrinya naik bus ke Lampung, lalu melanjutkan ke Lahat. Setelah itu, ia meneruskan perjalanan ke Lubuklinggau. Selasa pagi mereka datang ke rumah sakit. Kami bergantian menunggui ibunya.

Pulang dari Rumah Sakit

Kami dirawat oleh dokter Ratri. Dokter perempuan yang masih muda. Beliau adalah dokter syaraf yang merawat istri saya. Setelah dilakukan CT Scan, dokter Ratri memeriksa kembali dan pada hari kelima ia memperbolehkan kami pulang. Kami pun berkemas. Kabar menggembirakan ini saya sampaikan kepada ketua Paguyuban. Pak Edy merespon dan akan menjemput serta mengantarkan kami pulang. Duh, senangnya memiliki ketua yang baik hati.

Sebagian tetangga sudah menengok kami di rumah sakit. Meskipun begitu, ketika kami pulang mereka menyambut kedatangan kami dengan sukacita.

“Jadi ‘kan, Bu, syukurannya?” tanya salah satu ibu-ibu.

Istri saya yang sudah cukup sehat hanya menjawab dengan senyuman.

Selama sepuluh hari berikutnya, istri memulihkan kesehatan. Saya pun teringat tulisan salah satu guru literasi saya. Katanya, setiap musibah mengandung permata yang berharga, tapi hanya orang-orang yang bersabarlah yang berhak mendapatkannya. Kami bersabar dan bersyukur masih diberi kesempatan menikmati sehat. Pun bersyukur memiliki kawan dan tetangga yang baik.

Selama setengah bulan terhitung istri jatuh sakit, kami tidak bisa melanjutkan mengundang tetangga untuk menjadi panitia hajatan. Hal itu menimbulkan tanda tanya bagi mereka, jadi atau tidak hajatan syukuran akan kami gelar. Oleh karena itu, setelah istri merasa pulih kesehatannya, kami melanjutkan mengundang para tetangga dan handai tolan.

Akan tetapi, sedikitnya waktu yang tersisa membuat kami tidak bisa mengundang dari rumah ke rumah untuk semua handai tolan. Hingga kami memutuskan, lima hari menjelang hari “H” saya tidak akan lagi mengundang “door to door”.

Persiapan Acara Syukuran

“Ibu, kapan kita mulai?” tanya seorang ibu muda. Ia seusia anak kami. Ia menanyakan waktu memulai persiapan syukuran. Persiapan syukuran di antaranya menampi beras, membuat kue kering, menggoreng dan menggiling kopi, dan sebagainya.

Mereka pun membuat kesepakan untuk memulai bekerja. Sementara tetangga laki-laki menyiapkan kayu bakar, lokasi tarup, dan tempat untuk memasak serta mencuci perabotan. Mereka bahu-membahu mempersiapkan segalanya. Saya dan istri sebagai tuan rumah diperlakukan sebagai tuan yang tidak boleh ikut bekerja. Sebagai gantinya, kami menyiapkan bahan makanan dan peralatan masak untuk menjamu para pekerja.

Pada malam yang ditentukan, kami mengadakan acara pembentukan panitia. Setelah panitia terbentuk secara resmi, keesokan harinya dilanjutkan dengan kegiatan memasak dan mengantarkan nasi punjungan untuk handai tolan, yang diundang untung rewang maupun handai tolan yang jauh dan sudah ditentukan nama-namanya. Kegiatan itu berlangsung hingga tengah hari. Pada sore harinya, mereka memotong kambing dan mengulitinya.

Memotong dan menguliti kambing (Dok. Pribadi)

Hari berikutnya adalah “H-1”. Pada hari itu, hari para ibu memasak aneka makanan untuk hari pesta. Meskipun belum hari H, kami mengundang sedulur Ngapak untuk bersama-sama mengeratkan persaudaraan dan meresmikan bertambahnya anggota baru. Acara diisi dengan beberapa sambutan, bernyanyi, dan mengumpulkan dana sosial untuk paguyuban.

Spanduk ucapan dari Paguyuban (Dok. Pribadi)

Pada hari itu juga, teman-teman guru yang tidak bisa hadir pada hari H datang dan memberikan doa restu kepada kedua mempelai dan memberi ucapan selamat kepada kami sekeluarga. Kami dan besan menyambut mereka dengan sukacita. Tidak lupa memperkenalkan besan dan keluarganya kepada rekan-rekan yang hadir.

Pelaksanaan Acara Syukuran

Keesokan harinya adalah hari pelaksanaan. Pagi-pagi kami sudah siap. Perias pengantin pun sudah hadir dan merias sang raja sehari secantik dan sebagus mungkin. Satu demi satu para perewang pun hadir dan menempatkan diri pada posisi masing-masing. Demikian pula anggota Ikatan Keluarga Alumni Surakarta atau IKAS. Mereka kompak menghadiri hajatan kami.

Sebagian perewang (Dok. Pribadi)

IKAS adalah paguyuban yang kami bentuk karena pada awalnya ada 22 orang lulusan FKIP UNS Program Studi Diploma 2 PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Dengan baju seragam yang baru, mereka berpasangan datang dan memberikan doa restu kepada anak-anak kami.

Karena saya adalah anggota Grup Keroncong maka hiburan pada hari perhelatan adalah orkes keroncong. Ini adalah upaya menghargai grup sendiri dan upaya melestarikan kesenian yang di daerah kami masih digemari generasi tua.

Anggota IKAS (Dok. Pribadi)
OK Gita Laras (Dok. Pribadi)

Doa dan Harapan

Acara pada hari Sabtu tanggal 18 Februari 2023 itu berlangsung tertib, aman, dan lancar dari pagi hingga petang hari. Tidak sepi mulut ini mengucap syukur kepada Tuhan. Pun ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran hajatan syukuran atas pernikahan anak pertama kami.

Tidak lupa, kami berdoa semoga pengantin berdua diberi keselamatan dan kesehatan, kebahagiaan, serta momongan.

“Mbah Akung …,” saya menunggu ada anak kecil memanggil sambil berlari mendekat seraya mengangkat kedua tangannya kepingin digendong.

“Tuhan, datangkan ia kepadaku,” ucapku dalam hati.

Salam Blogger Pembelajar
PakDSus

#KMAC – 04

Tinggalkan Balasan

1 komentar