“Laskar Pelangi” Angkat Sosial Budaya Belitung Tahun 70-an

Film, Hiburan, Terbaru237 Dilihat

“Laskar Pelangi” menurutku salah satu film yang perlu ditonton untuk kategori film-film di atas tahun 2000-an atau setelah film Indonesia kembali bangkit setelah sempat mati suri. Duo Riri Riza dan Mira Lesmana kembali berhasil menghasilkan karya yang tak hanya sukses secara komersial, namun juga berhasil dari sisi kualitas.

Dari berbagai unsur film, alur cerita, pengambilan gambar, akting, musik, dan dialog pemain semuanya apik dan pantas untuk meraih pujian. Namun sayangnya ia tak didaftarkan ke FFI kala itu karena kisruh dalam FFI tahun sebelumnya.

Film “Laskar Pelangi” ini diangkat dari novel terkenal karya Andrea Hirata yang juga berjudul sama. Dikisahkan ada 10 anak yang berasal dari berbagai latar keluarga di Belitung.

Mereka rata-rata dari kalangan menengah ke bawah. Mereka disatukan di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, sekolah berbasis agama, yang bangunannya sudah bobrok dan gurunya hanya tiga.

Tokoh utama di sini adalah Ikal. Ia anak pegawai Timah yang ayahnya sangat ingin anaknya bisa mendapatkan pendidikan tinggi.

Sahabat Ikal beragam dari Lintang si anak nelayan yang cerdas, Harun yang polos, dan Mahar yang penggila musik dan radio. Ada sosok guru bernama Bu Muslimah dan Pak Harfan yang penyayang dan sabar.

Ada beragam konflik yang ditawarkan dari kekontrasan SD mereka dengan SD PN, juga nasib Lintang yang harus berjuang ekstra keras menuju sekolah. Ia seringkali harus menunggui buaya lewat dengan rasa was-was di rawa-rawa. Ada kalanya ia kehujanan dalam perjalanan ke sekolah.


Ceritanya ada perbedaan dengan versi novelnya. Naskah film ini disusun oleh Salman Aristo bersama Riri Riza dan Mira Lesmana. Namun meski ada perbedaan, menurutku sama-sama menarik. Sisi kontras pendidikan di kedua sekolah dan kesenjangan sosial tergambarkan di sini, demikian juga dengan kebiasaan masyarat Belitung.

Panorama indah pantai dengan bebatuan granit terekam di sini. Bersanding dengan gambar-gambar lugas isi sekolah yang sederhana, kondisi pasar, dan hutan dan jalan sepi nan rawan yang dilalui Lintang.

Film ini kaya pesan. Ia membuat penonton tersenyum oleh kepolosan anak-anak sekaligus nelangsa dengan keterbatasan di sekeliling mereka.

Para aktor dan aktris senior di sini berperan dengan apik dari Cut Mini, Teuku Rifnu, dan Mathias Muchus. Pemeran anak-anaknya juga tak kalah menawan, terutama pemeran Lintang.

Dialognya juga lugas. Skoringnya turut membantu mendramatisir suasana dan emosi dalam film.

Sebuah film Indonesia yang menurutku ‘kudu’ ditonton.

Gambar: Miles Films/Netflix