ANAK STUNTING RENTAN OBESITAS??

Terbaru51 Dilihat

Tidak salah kalau gambaran anak stunting yang muncul dalam bayangan banyak orang tubuhnya selain pendek juga kurus. Pasalnya memang disebabkan oleh kurang asupan zat gizi yang berkepanjangan.

Tak dinyana hasil suatu studi tentang tingkat metabolisme dan oksidasi lemak pada anak-anak Shantytown dari Sao Paulo-Brazil menunjukkan anak stunting ternyata berat badannya dapat dengan mudah meningkat secara berlebihan alias menjadi obes.

Penelitian dilakukan pada sejumlah anak remaja yang memasuki masa puber. Sebagian anak-anak ini stunting. Sebagian lagi memiliki berat dan tinggi badan normal. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara stunting akibat kekurangan zat gizi dengan imperasi oksidasi lemak yang diprediksi menjadi faktor riskannya anak-anak jatuh kedalam kondisi obesitas.

Apa pasal? Meski penyebab mendasarnya belum terlalu jelas, ini konon katanya ada hubungan dgn imperasi oksidasi yaitu suatu kondisi ketidakmampuan tubuh mencerna atau membakar zat-zat gizi seperti karbohidrat, lemak dan protein secara efektif untuk dijadikan energi. Dengan demikian akan tertumpuk dalam bentuk lemak tubuh.

Ketidakmampuan tubuh ini terjadi antara lain disebabkan oleh adanya disfungsi sel mitochondrial, ketidak seimbangan hormonal seperti kerusakan hormon thiroid, kelumpuhan adrenal, kekurangan vitamin B12, B6 dan mineral zat besi, magnesium, juga terjadinya proses penuaan.

Akibat hal-hal tersebut di atas, salah satu dampak yang muncul adalah bertambahnya berat badan yang tak terkendali, maka terjadilah obesitas dan gangguan-gangguan kesehatan lain.

Pandangan awam ketika melihat anak gemuk sering terbetik rasa senang karena dianggap lucu, menggemaskan dan dianggap sehat. Sering tidak disadari atau tidak diketahui berat badan berlebihan pada anak jika tidak dikendalikan akan mendorong anak kelak kedalam kondisi riskan terhadap penyakit tidak menular (PTM) diantaranya penyakit jantung, darah tinggi atau hipertensi, diabetes dan sebagainya.

Pola makan anak yang mengonsumdi makanan kekinian yang tinggi kalori protein, lemak dan garam serta berbagai pengawet ikut memberikan sumbangsih yang tidak sedikit. Dukungan teknologi modern yang mempermudah dan meringankan aktivitas fisik pun ikut cawe-cawe dalam kehidupan keseharian. Kini petani yang pergi ke sawah atau ladang dengan berjalan kaki semakin berkurang dengan adanya sepeda motor yang hampir merata dimiliki penduduk desa. Piranti komunikasi seperti ponsel marak menawarkan permainan yang membatasi gerak fisik. Bisa di bayangkan input makanan yang masuk tidak seimbang dengan makanan yang diubah menjadi energi karena aktivitas tubuh yang rendah.

Menurut catatan prevalensi obesitas di Indonesia pada anak usia di atas 18 tahun pada tahun 2023 mencapai 23,4% dari populasi. Ini artinya bahwa 1 dari 4 penduduk dewasa di Indonesia mengalami obesitas. Indeks massa tubuh (IMT) mereka melebihi standard yang ditetapkan yaitu
untuk orang dewasa di dikatakan normal jika berada pada nilai 18,5–24,9.

Data Riskesdas 2018, menunjukkan prevalensi penyakit jantung di Indonesia adalah 1,5% dari total penduduk.Jumlah penderita diabetes di Indonesia juga terus meningkat, diperkirakan akan mencapai lebih dari 20 juta orang pada tahun 2024. sedangkan prevalensi hipertensi sebesar 34,1% dari total populasi orang dewasa Indonesia.

Menarik untuk ditelusuri lebih jauh jika dilihat angka-angka penyakit tidak menular yang terus merangkak naik dan melihat angka prevalensi stunting yang masih bertengger pada angka di atas 20% sebagaimana standard yang ditetapkan WHO.

Upaya percepatan penurunan stunting (Tengkes) telah didorong dengan terbitnya Perpres 72 tahun 2021. Namun hasilnya belum sesuai dengan yang ditargetkan yaitu menjadi 14% pada akhir tahun 2024.Dalam Rakornas Percepatan penurunan stunting 2024 lalu dikemukakan prevalensi stunting berada pafa angka 21.5%. Angka ini masih lebih tinggi dari standard yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 20%.

Kini pemerintah baru menggelar program nasional Makan Bergizi Gratis yang terfokus pada anak usia sekolah (MBGAS). Segmentasi sasaran ini memang tepat. Karena selama ini upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia terpusat pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Hal ini ternyata tidak cukup. Anak masih tetap bertumbuh dan berkembang selama 8.000 HPK yaitu sampai anak berusia seputaran 21 tahun.

Program-program penanganan anak usia setelah balita belum menjadi perhatian intens. Kini digelar MBGAS.meski di era Repelita III pernah diluncurkan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) bagi anak Sekolah Dasar di desa-miskin.

Pemberian makanan anak sekolah ( school feeding) bukanlah hal baru. Tidak kurang dari 93 negara di dunia telah menerapkan program pemberian makan anak sekolah sejak akhir perang dunia ke II. Hasilnya memang menunjukkan adanya perbaikan status gizi yang signifikan. Bahkan ada penelitian di India misalnya menunjukkan anak wanita yang mendapat makanan bergizi di sekolah ketika berumah tangga jarang melahirkan anak stunting.

Untuk pelaksanaan MBGAS apabila aspek pengumpulan data dasar tidak mencakup spektrum yang cukup luas dan memperhatikan aspek monitoring dan evaluasi hanya pada status gizi kurang dan normal dan tidak mencermati pertambahan berat badan yang berlebihan, maka tidak tertutup kemungkinan muncul masalah baru yaitu obesitas hasil kotribusi anak stunting dan kelebihan berat badan sebagai dampak ikutan makan bergizi yang berlebihan.

Menilik situasi ini tersirat pertanyaan apakah sumberdaya manusia yang berkualitas unggul di era generasi emas yang digadang-gadang pada tahun 2045 mendatang dapat terwujud. Hal ini tidak akan pernah terjawab sampai studi-studi intensif di bidang gizi mendapat perhatian dan ruang prioritas pada tatar kebijakan pembangunan nasional. Semoga

Tinggalkan Balasan