Genderang program pemberian makanan Bergizi Gratis Anak Sekolah (MBGAS) telah ditabuh pada 6 Januari 2025 lalu. Serentak program ini digelar di 26 provinsi dengan target menyasar 3 juta anak sekolah mulai dari, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK)anak Sekolah Dasar, anak SMP, anak SMA bahkan mereka yang berada di pondok pesantren. Suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak sekolah.
Masalah gizi sering dialami anak sekolah karena anak usia sekolah merupakan salah satu kelompok rentan dalam siklus hidup manusia (life cycle) yang memiliki kebutuhan dan risiko. Jika kebutuhan tidak terpenuhi maka timbul risiko. Jika risiko terjadi, sulit diperbaiki lagi. Tumbuh kembang anak akan terganggu yang berujung pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia masa depan. Anak kelak akan rawan mengalami berbagai Penyakit Tidak Menular (PTM) yang sudah dikenal berupa penyakit jantung koroner, diabetes, tekanan darah tinggi (hipertensi) dan sebagainya.
MBGAS sebagai program prioritas nasional tentu harus dikawal dengan baik. Karena pemberian makanan yang dilakukan dirancang untuk menyumbangkan 25% dari kecukupan gizi (Recommended Dietary Allowances) anak sekolah yang dianjurkan. Tentu pelaksanaannya tidak sederhana karena menuntut manajemen yang kompleks di dukung komitmen dan integritas berbagai pihak yang terlibat. Soal memastikan sampainya makanan bergizi yang disiapkan pada sasaran baik dari segi kebersihan (Higiene dan sanitasi) dalam pemilihan, penyiapan, pengemasan, ragam menu dan kandungan gizi makanan yang disajikan itu penting. Proses ini tentu menyerap tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Ada aspek lain yang meski sudah diperhatikan tetapi nampaknya masih harus disikapi dengan lebih serius lagi yaitu memantau dan mengevaluasi dampak pemberian makanan ini.
Gizi baik anak usia sekolah tak dapat disangkal merupakan faktor penting yang mendukung kemampuan kognitif dan status kesehatan. Pengukuran dan penilaian status gizi wajib dilakukan sebagai langkah pencegahan dini munculnya masalah gizi pada anak usia sekolah. Salah satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah data dasar status gizi anak ketika program pemberian makanan dimulai serta pemantauan dan evaluasi dampak terhadap status gizi anak sekolah.
Teknik yang paling sering digunakan untuk menentukan status gizi adalah antropometri yaitu metode untuk pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang disandingkan dengan umur. Dengan demikian dapat diperoleh informasi proporsi anak dengan berat badan kurang, normal atau bahkan kelebihan. Penelitian status gizi anak sekolah dapat juga menggunakan metode deskriptif korelatif dan pendekatan cross secational. Untuk mengukur berat badan dan tinggi badan ini tentu terbayang berapa besar biaya yang diperlukan untuk melaksanakannya. Sejatinya biaya yang diperlukan untuk mengumpulkan data dasar, melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala melalui pengukuran anthropomentri ini relatif tidak mahal. Pengukuran tinggi badan dan berat badan pada anak sekolah tentu memerlukan tenaga untuk melakukannya.
Mari kita bersimulasi, sekedar berandai-andai. Tetapi Syukur kalau dapat direalisasikan di lapangan. Seandainya, ini seandainya saja kita melirik sumber daya untuk melakukan itu yang tersedia yaitu dengan institusi pendidikan semisal Poltekkes yang memiliki Jurusan Gizi. Ambil contoh Poltekkes Jakarta II, Provinsi Aceh, Poltekkes Bandung, Poltekkes Banjarmasin, Poltekkes Bengkulu, Poltekkes Gorontalo, Poltekkes Jayapura, Poltekkes Kendari, Poltekkes Kupang, Poltekkes Makassar, Poltekes Malang, Poltekkes Maluku, Poltekkes Mamuju, Poltekkes Manado, Poltekes Mataram, Poltekkes Padang, Poltekes Palangkaraya, Poltekkes Palembang, Poltekkes Palu, Poltekkes Pangkal Pinang, Poltekkes Pontianak, Poltekkes Riau, Poltekkes Semarang, Poltekkes Sorong, Poltekkes Surabaya, Poltekkes Tanjungkarang, Poltekkes Cirebon dan Tasik Malaya, Poltekkes ternate, Poltekkes Yogyakarta. Belum lagi universitas yang memiliki program studi ilmu gizi.
Jika saja, sekali lagi jika saja lembaga-lembaga pendidikan ini dapat memanfaatkan potensi mereka dalam rangka pengabdian masyarakat serta mendukung program prioritas pemerintah ini melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap status gizi anak sekolah di salah satu sekolah , satu saja yang mendapat makanan bergizi gratis dalam satu wilayah binaan mereka, tentu akan banyak didapat informasi berguna bagi program prioritas nasional, setidaknya tersedia informasi tentang perkembangan dan dampak program MBGAs di lebih dari 30 lokasi dari seantero negeri ini.
Lembaga-lembaga pendidikan ini dapat mengerahkan mahasiswa melakukan pengukuran anthropometri. Tentu saja perlu biaya. Namun jika biaya itu disediakan secara tanggung renteng dengan memanfaatkan Anggaran yang tersedia untuk monitoring dan evaluasi diinstitusi terkait mungkin, ya kembali lagi, mungkin tidak terlalu berat. Apalagi dapat menjalin kerjasama dengan Pemerintah Desa yang memiliki peluang untuk menganggarkan dukungan program percepatan penurunan stunting (tengkes) dalam APB desa. Bahkan bagi desa-desa yang memiliki Pendapatan Asli Desanya cukup besar dapat memberi dukungan misalnya menggerakkan tenaga-tenaga kader posyandu yang memang sudah terbiasa melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak.
Karena masalah pelayanan kesehatan masyarakat desa sudah menjadi kewenangan lokal berskala desa sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 44 tahun 2016. Ada juga Alokasi Dana Desa yang merupakan dana transfer dari pusat yang masuk langsung ke kas desa. Desa pun dapat melakukan kerjasama antar desa dan membuat peraturan bersama kepala desa untuk mendukung kegiatan pemantauan dan evaluasi MBGAS di wilayah mereka. Jika ada perusahaan di wilayahnya bisa juga dikembangkan kerjasama desa dengan pihak ke tiga dengan memanfaatkan dana CSR. Nampaknya realisasi hal-hal seperti ini masalahnya bukan bisa atau tidak bisa, melainkan mau atau tidak melakukannya. Sekali lagi hal ini memang tidak mudah tetapi tidak juga mustahil untuk dilakukan secara ”hulupis kuntil baris”. Itu paparan atas dasar berandai-andai.
Ibarat pepatah dari tatar Sunda yang berbunyi:”Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok”. Maknanya betapapun sulitnya suatu pekerjaan, jika dilakukan dengan tekun akan berhasil juga. Ayo coba dilakukan One step at the time..lah.