MENGGUGAH SELERA MAKAN ANAK SEKOLAH

Terbaru150 Dilihat

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 2025 lalu kini bergulir sekurang-kurangnya di 26 provinsi. Sasaran awalnya 3,000.000 juta anak sekolah yang secara bertahap ditingkatkan dengan harapan di pertengahan tahun 2025 ini menjadi dua kali lipat dengan jumlah sekitar 6.000.000 anak sekolah. Berbagai pengalaman mulai dipetik dari lapangan, ada yang menggembirakan namun ada juga kasus-kasus yang menampakkan ruang-ruang perbaikan yang harus dilakukan.

Tidak dapat dipungkiri pengalaman negara-negara yang menyelenggarakan program makanan di sekolah (School Feeding) cukup membuktikan manfaat program yang dilaksanakan. Indonesia pun mengambil langkah strategis menyasar anak usia sekolah yang menjadi salah satu kelompok rentan dalam siklus hidup (life cycle) manusia. Kelompok usia ini memang punya kebutuhan dan risiko. Jika kebutuhan tidak dipenuhi maka timbul risiko yang bila terjadi tidak mudah untuk diperbaiki. Selain itu kelompok usia ini juga merupakan generasi harapan bangsa masa depan yang bagi Indonesia digadang-gadang menjadi generasi emas yang berkualitas memasuki tahun 2045 mendatang. Militan, handal dan mampu bersaing dan mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Karenanya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah dirancang dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengatasi tengkes (stunting), serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu masalah yang telah lama diketahui adalah banyak anak remaja putri menderita anemia atau kekurangan zat besi. Hasil Survei Kesehatan Nasional (SKI) tahun 2023, mencatat prevalensi anemia pada remaja putri berusia 15-24 tahun di Indonesia adalah 15,5%. Ini tentunya usia-usia sekolah menengah. Jadi tepatlah MBG diluncurkan menyasar anak usia sekolah ini.
Akibat kekurangan zat besi kronis memengaruhi perkembangan otak anak. Sebab, zat besi turut berperan penting untuk fungsi memori dan kognitif. Informasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan salah satu akibat dari anemia defisiensi besi pada anak adalah melemahnya daya tangkap, kesulitan memproses informasi, dan membuat keputusan yang tepat. Kurangnya zat besi dapat berdampak negatif pada kemampuan berpikir dan konsentrasi anak. Dikuatirkan dampak negatif ini akan dapat terus berlanjut hingga dewasa. Zat besi berperan dalam pembentukan selubung saraf otak dan neurotransmitter, yaitu zat kimia yang berperan sebagai penghantar pesan dari otak ke jaringan tubuh. Keduanya sangat penting untuk membentuk hubungan (wiring) baru antara sel yang satu dengan yang lain dalam otak yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan belajar anak.

Studipun melaporkan anak yang kekurangan zat besi cenderung memiliki skor IQ yang lebih rendah dari pada anak lainnya. Ada lagi dampak lain akibat kekurangan zat besi pada anak yang jarang disadari adalah menurunnya kekebalan tubuh, membuat anak sering sakit karena zat besi berperan penting dalam produksi hemoglobin, yang membawa oksigen ke seluruh tubuh. Tanpa cukup oksigen, sistem kekebalan tubuh anak tidak dapat bekerja dengan optimal, sehingga lebih rentan terhadap penyakit.
Dalam soal pemberian makanan memang terkait dengan selera makan. Makan dimaknai dengan memasukkan makanan pokok ke dalam mulut serta mengunyah dan menelannya. Ini terkait erat dengan selera makan atau nafsu makan. Di sisi lain, bersantap menjadi suatu hal yang menyenangkan, apalagi menyantap makanan kesukaan. Jika kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan selera makan. Hormon ”ghrelin” yang berperan penting dalam merangsang rasa lapar terganggu. Akibatnya selera makan anak menurun atau tidak nafsu makan. Hal ini membuat anak kesulitan menaikkan berat badan atau malah mudah kehilangan berat badan karena tubuhnya tidak dapat memanfaatkan makanan dan energi dengan baik..
Memang soal selera ini gampang-gampang susah karena sangat terkait dengan pola makan yang dipengaruhi lingkungan dan budaya. Ada pepatah China kuno yang mengatakan lebih mudah merubah suatu dinasti dari pada merubah selera makan. Indra penglihat, perasa, pencium berperan dominan menilai rupa, tampilan, rasa yang cocok dengan selera. Soal manfaat sering tersisih oleh rasa puas dan kenyang. Bagaimanapun baiknya menu makanan yang dinyatakan bergizi jika tidak cocok dengan selera, akan mubazir. Ini menjadi faktor penting dalam menyelenggarakan makanan terutama dalam jumlah besar disamping kebersihan dan keamanan makanan.

Selera pada anak-anak ini tentu harus dibentuk serta digugah sejak dini dengan memperkenalkan makanan yang baik dan sehat di mulai dalam keluarga. Memang tidak mudah nampaknya dewasa ini untuk keluarga dapat berkumpul bersama menikmati menu makanan yang disiapkan rumah. Sehari-hari di luar sana makanan cepat saji dan makanan kekinian tersedia yang dapat diakses dengan cepat dan dinikmati karena tuntutan keadaan dalam kehidupan moderen. Menumbuhkan kegemaran dan terampil memilih bahan makanan bergizi karena begitu derasnya terpaan makanan ”Ultra Proses” yang memang dirancang untuk menyasar selera konsumennya dengan memadatinya dengan bahan-bahan tambahan yang memunculkan “Umami” rasa nikmat yang sulit dilupakan, memang bukan hal yang mudah, tetapi bukan juga hal mustahil untuk dilakukan. Gemar mengudap jadi kebiasaan hanya karena keinginan memanjakan lidah, padahal rasa nikmat itu terasa hanya pada area 10 cm dalam mulut sebelum ditelan masuk ke dalam lambung.

Salah satu rangkaian kegiatan penyelenggaraan makanan yaitu perencanaan menu. Keberhasilan menu yang disukai adalah sikap dan tingkat kesukaan orang yang mengonsumsi makanan. Indikator keberhasilan suatu sistem penyelenggaraan makanan adalah sisa makanan yang disajikan. Semakin banyak makanan yang tersisa tentu semakin jauh harapan hasil yang ingin dicapai dari pemberian makanan tersebut. Konsistensi, ketekunan menanamkan pola makan yang baik dan sehat sesuai dengan selera tentu harus dilakukan terus menerus baik oleh anggota keluarga, komunitas dan masyarakat serta para ahli gizi yang berkompeten dalam hal ini.

Akibat kekurangan zat besi pada anak tidak hanya memengaruhi kesehatan dan prestasi belajar, tetapi juga pada masalah perilaku yang mungkin berkepanjangan. Sering pula dijumpai pada anak yang kekurangan zat besi dalam jangka waktu lama terjadi “Attention Deficit Hyperactivity Disorder” (ADHD) yaitu gangguan mental yang menyebabkan seseorang sulit fokus, sulit mengendalikan diri, hiperaktif, dan impulsif. Keseimbangan hormon dan neurotransmiter yang berperan dalam mengatur emosi terganggu sehingga anak lebih mudah marah, tantrum, atau mudah cemas. Penelitian juga menemukan bahwa kurangnya kadar zat besi dikaitkan dengan gangguan tidur, termasuk sindrom kaki gelisah (restless leg syndrome) yaitu gangguan saraf yang menyebabkan timbulnya keinginan bawah sadar yang tidak terkendali untuk menggerak-gerakkan kaki, terutama pada malam hari selama tidur dan Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau gangguan pernapasan yang menyebabkan seseorang berhenti bernapas sementara saat tidur.

Menyimak hal-hal di atas program MBG dapat menjadi gerbang bagi insan gizi untuk melakukan berbagai penelitian atas dampak pemberian makanan di sekolah ini terlebih guna mendukung terwujudnya cita-cita mulia membentuk generasi emas pada tahun 2045 mendatang.

Tinggalkan Balasan