GIZI BUKAN NUTRISI
Kata gizi secara umum kini sudah banyak dikenal. Namun sejak kapan digunakan di Indonesia menarik untuk dipaparkan ulang agar lebih banyak orang yang tidak gagal paham dan berbeda interpertasi. Sejarah mencatat, pada tanggal 4 september 1950 didirikan sekolah Ahli Makanan yang bertempat di Jakarta oleh Prof. Poorwo Soedarmo yang kala itu memimpin Lembaga Perbaikan Makanan Rakyat (LPMR). Hal ini didorong oleh kesadaran dan hasrat dalam dirinya bahwa rakyat perlu dididik dan dibimbing agar dapat mengatur asupan makanan yang menyehatkan tubuh mengingat begitu banyak rakyat yang sakit karena kekurangan zat-zat yang dibutuhkan bagi kesehatan mereka. Untuk meningkatkan pemahaman rakyat tentang hal pentingnya memilih bahan makanan dan mengatur pengolahannya dengan baik maka dari itu diperlukan penyuluh-penyuluh Masyarakat.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1952 sekolah itu berubah nama menjadi Sekolah Ahli Diet, dengan lama Pendidikan 1,5 tahun. Siswa yang diterima disekolah ini adalah lulusan Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP). Pada tahun 1957 nama sekolah kembali dirubah menjadi akademi Pendidikan Nutritionist dan Ahli Diet. Pada tahun yang sama Lembaga Pendidikan ini dipindahkan dari Jakarta ke Bogor. Karena Bogor merupakan pusat Pendidikan dibidang pertanian dan ilmu-ilmu Biologi yang sangat menunjang sarana Pendidikan bagi akademi. Lalu kapan kata gizi mulai digunakan? Munculnya kata gizi di Indonesia tidak lepas dari peran beberapa tokoh dan lembaga.
Pada tahun 1953, Prof. Djuned Pusponegoro, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar penyakit anak di Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI) telah menggunakan kata gizi meski pada waktu itu Lembaga Bahasa Indonesia belum menetapkan secara resmi penggunaan kata ini. Kemudian pada tahun 1955, ilmu gizi resmi menjadi mata kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Prof. Poorwo Soedarmo pun menggunakan istilah gizi dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Gizi pertama di Indonesia pada tahun 1958 di UI. Selain itu Prof. Poorwo Soedarmo pada tahun yang sama mendirikan Akademi Pendidikan Nutrisionis dan Ahli Diit di Bogor, pada tahun 1958 itu juga ia mengutus 4 orang mahasiswanya (termasuk Soekirman sekarang prof.Em dari IPB Bogor) menemui Dr. Haryati Soebadio yang menjabat sebagai Lembaga bahasa Indonesia untuk medapatkan kepastian tentang terjemahan kata ”Nutrition” dan ”Nutrition Science” dalam bahasa Indonesia. Dari Dr. Haryati Soebadio diperoleh penjelasan bahwa akar bahasa Indonesia banyak berasal dari bahasa Arab dan Sansekerta. Kata Inggris ”Nutrition” dalam bahasa Arab disebut Ghizai (Orang Mesir melafalkannya sebagai ”Ghizi”). Dalam Bahasa Sansekerta ”Svastaharena” yang dipakai dalam lambang Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI). Keduanya memiliki arti sama yaitu makanan yang menyehatkan. Atas petunjuk tersebut Prof. Poorwo Soedarmo memilih kata Gizi dan mengganti nama Akademi Pendidikan Nutrisionis dan Ahli Diet menjadi Akademi Gizi pada tahun 1965 ketika lokasi akademi ini dipindahkan dari Bogor ke Jakarta. Lulusan Akademi ini dikenal dengan nama Ahli Gizi dengan gelar Bachelor of Science (B.Sc). Hasil pendidikan di Akademi Gizi ini tersebar di berbagai institusi pemerintah maupun non pemerintah (nasional maupun internasional).
QUO VADIS PROFESI GIZI
Rasanya tidak dapat dipungkiri jika hanya sedikit orang mengatakan bahwa gizi tidak memiliki peran dan kontribusi signifikan terhadap kesehatan tubuh yang bermuara pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Sulit disangkal karena hasil penelitian dari berbagai belahan dunia mendukung dan berbicara dari fakta atau bukti nyata.
Di era Repelita III Kebijakan Pembangunan Nasional menyandingkan perbaikan pangan dengan perbaikan gizi dalam satu kesatuan. Hal ini menandakan gizi merupakan elemen penting dalam Pembangunan nasional. Namun di era sekarang ini, tidak dapat dipungkiri pula jika ada beberapa pihak terutama insan gizi sendiri yang mempertanyakan eksistensi gizi di negara ini. Seberapa pentingkah gizi dipandang sebagai salah satu elemen Pembangunan, terutama dalam membangun kualitas sumberdaya manusia? Diperlukankah Ahli Gizi masa kini sementara begitu banyak sudah orang yang dapat berkisah tentang hal-hal yang terkait gizi yang secara umum memang terkait dengan apa bahan makanan yang banyak mengandung nilai gizi dan bagaimana mengatur agar makanan itu dapat memberikan kontribusi untuk membentuk kesehatan tubuh. Hal ini setidaknya menggelar ”ladang perburuan” menegakkan eksistensi profesi gizi sekaligus peluang menguak keberadaan dan menyamakan wawasan tentang pentingnya gizi dan yang disebut tenaga gizi.
Di tatar internasional ada perubahan Paradigma Ketahanan Pangan. Definisi ketahanan pangan (food security) yang dianut oleh Food and Agricultural Organisation (FAO) dan dirujuk oleh Undang-Undang Pangan Indonesia, semula mengacu pada konsep awal food security yang merupakan hasil World Food Summit tahun 1996. Ini bermula dari pada awal tahun 1990an United Nations International Children’s Fund (Unicef) muncul dengan gagasan menambahkan aspek penyakit infeksi sebagai penyebab masalah gizi disamping ketahanan pangan rumah tangga. Pada tahun 2012 FAO mengajukan definisi food security menjadi “food and nutrition security” untuk menyempurnakan konsep dan definisi sebelumnya. International Food Policy Research Institute (IFPRI) pun segera mengadop konsep ketahanan pangan FAO tersebut sebagai “Food and Nutrition Security”.
Standing Committee on Nutrition (SCN), suatu lembaga non struktural yang juga berada di bawah United Nations (PBB) pada tahun 2013, tak ketinggalan merekomendasikan penyempurnaan definisi ketahanan pangan (food security) menjadi ketahanan pangan dan gizi. Dalam konteks ini optimalisasi utilisasi pangan tidak cukup hanya dari kualitas pangan yang dikonsumsi, Peranan faktor pendukung tercapainya status gizi yang baik disebutkan secara ekplisit seperti yang tertuang dalam definisi FAO (2012). Definisi ketahan pangan dan gizi menggambarkan perwujudan ketahanan pangan tidak semata-mata hanya berorientasi pada upaya penyediaan pangan sejumlah yang dibutuhkan atau mencukupi kebutuhan, namun juga memberi pengakuan dan kepastian akan keberadaan profesi gizi. Ini merupakan suatu tantangan (challenge) sikap militan bagi para insan gizi untuk menegakkan eksistensi profesi gizi. Salah satu tokoh gizi Indonesia Prof (Em) Soekirman pernah berujar kepada redaksi News Letter Cornell University pada tahun2003.”The career of Nutritionist is full of fighting. You have to have high spirit, be consistent and persistent and everywhere you have to fight, fight for nutrition”. Perkataan ini masih berlaku baik dahulu, sekarang dan waktu yang akan datang Ahli Gizi harus tetap memperjuangkan eksistensinya. Mengapa? Tantangan yang dihadapi semakin berat. Terpaan kebijakan datang bertubi-tubi menerjang eksistensi Ahli Gizi.
Tantangan lain yang harus disikapi dengan seksama adalah hadirnya negara dalam bentuk regulasi dalam tetakelola tenaga kesehatan termasuk di dalamya tenaga gizi. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indnesia (Permenkes) nomor 26 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Tenaga Gizi mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pelayanan Gizi harus dilaksanakan oleh tenaga gizi. Karena itu kualifikasi tenaga gizi pun diatur. Berdasarkan pendidikannya, Tenaga Gizi dikualifikasikan sebagai berikut:
Ada tenaga gizi lulusan Diploma Tiga disebut dengan Ahli Madya Gizi. Tenaga Gizi ini harus lulus uji kompetensi dan teregistrasi sehingga merupakan Tenaga Gizi “Technical Registered Dietisien”. Tenaga Gizi Sarjana Terapan Gizi dan Sarjana Gizi yang telah lulus uji kompetensi dan teregistrasi merupakan Tenaga Gizi “Nutrisionis Registered”. Tenaga Gizi Sarjana Terapan Gizi atau Sarjana Gizi yang telah mengikuti pendidikan profesi dan telah lulus uji kompetensi merupakan Tenaga Gizi “Registered Dietisien”. Untuk dapat melakukan pekerjaan dan praktiknya semuanya harus tersertofokasi dan memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Gizi (STRTGz). Dari klasifikasi itu sudah terlihat lingkup kerja dari masing-masing tenaga Gizi yang sejatinya dapat digunakan untuk melakukan pekerjaan dan praktik di institusi/Lembaga yang terkait. Instrumen-instrumen organisasi profesi setidaknya memiliki peran signifikan guna melakukan pembinaan dan pengawasa terhadap produk akhir institusi pendidikan. Namun tantangan yang kerap dihadapi adalah persaingan merebutkan formasi yang tersedia pada institusi/Lembaga terkait.
Bagaimana dengan organisasi profesi? Dipahami bahwa tenaga kesehatan harus membentuk organisasi profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi tenaga kesehatan. Namun dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan terdapat ketentuan yang menyatakan setiap jenis profesi tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi. Itu Amanah Pasal 50 ayat (2) UU dimana Tenaga Kesehatan mengharuskan tiap jenis tenaga kesehatan yang tercakup dalam kelompok untuk membentuk hanya satu organisasi profesi. Ini tentu perlu disikapi dengan bijak, mengingat saat ini sudah berkembang berbagai organisaasi profesi di bidang gizi. Akan mungkinkan dibentuk hanya satu organisasi profesi dengan melebur organisasi yang sudah ada menjadi satu? atau semua dirangkul dalam bentuk forum komunikasi gizi secara nasional, kolegium atau apalah istilah sejenis? Berbagai alternatif tentunya harus dipertimbangkan matang-matang.
Suatu perubahan memang tak dapat dihindari, ambil contoh kilas balik institusi pendidikan gizi yang pernah ada yaitu Akademi Gizi. Akademi Gizi kini berubah status menjadi jurusan di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) pada tahun 2001. Perubahan status ini berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 298/Menkes dan Kesos/SK/IV/2001. Jurusan gizi tersebar di berbagai Poltekkes dan perguruan tinggi di berbagai daerah. Ikatan emosional yang solid terhadap almamater yang tumbuh di kampus Akademi Gizi sebagai satu-satunya alamamater bagi insan gizi kala itu, kini mulai memudar tergeser oleh merebaknya para lulusan jurusan gizi dari berbagai Poltekkes dan Perguruan Tinggi. Kuantitas melonjak naik, namun secara kualitas mungkin sangat variatif. Lalu pertanyaan kritis pun menyelinap dalam benak, berapa banyak tenaga-tenaga itu terserap dalam bidang kerja sesuai profesi? Hal ini mengingat persaingan memperebutkan formasi yang tersedia baik di pemerintahan mau pun non pemerintahan begitu ketat. Selain itu pun perlu ditilik ketika terserap oleh suatu institusi atau lembaga tugas dan fungsi yang diemban apakah sesuai dengan profesi gizi. Berapa banyak pendidikan lanjutan yang ditempuh oleh para lulusan dari klasifikasi yang ditetapkan secara regulasi ke jenjang yang lebih tinggi secara linear? Tidak tertutup kemungkinan jenjang pendidikan lebih tinggi yang ditempuh justru pada disiplin ilmu diluar gizi. Dengan demikian predikat Ahli Gizi yang disandang tidak lagi melekat pada diri individu yang bersangkutan. Ini menjadi tantangan yang perlu diperhatikan dan jangan sampai terabaikan.
Upaya meningkatkan efektivitas pemanfaatan pangan bagi terciptanya status gizi yang baik bagi setiap individu itu penting, namun juga harus didukung oleh upaya memproteksi dan menghindarkan setiap individu dari penyakit infeksi yang dapat mengganggu dan menghambat tumbuh kembang dan kesehatan melalui kecukupan air bersih dan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene yang baik. Kebijakan untuk hal ini sudah dikembangkan melalui program intervensi spesifik dan sensitif selama ini. Sejauh mana peran Ahli Gizi dalam memberikan kontribusi terhadap hal ini mengingat prevalensi Tengkes (stunting) masih bertengger pada papan atas melampaui batas ambang yang ditetapkan WHO yaitu 20%, meski regulasi percepatan penurunan stunting telah dicanangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur percepatan penurunan stunting adalah Perpres Nomor 72 Tahun 2021 dengan memasang target untuk menurunkan angka prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024. Angka penurunan prevalensi yang dicapai Indonesia menempati peringkat kedua stunting di Asia Tenggara. Tercatat pada tahun 2023 angka stunting sebesar 21,5% dengan rata-rata penurunan prevalensi stunting selama lima tahun terakhir di Indonesia adalah 1,85% per tahun. Secara nasional diketahui bersama pemerintah menetapkan BKKBN sebagai ”Komandan” guna memimpin pertarungan melawan Tengkes atau stunting ini. Kementerian Kesehatan pun mendegradasi posisi gizi dari tingkat direktorat dan awalnya bersandingan dalam perikop ”Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak” yang berujung pada meleburnya dalam lingkup yang lebih tersamar bahkan mungkin hanya sayup-sayup terdengar. Mencermati situasi profesi gizi dewasa ini dapat dimaklumi jika terbetik pertanyaan ”Quo Vadis Profesi Gizi” dalam menempuh jejak menggapai eksistensi profesi ini. (Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom)