JAJAN TRADISIONAL TAK DITOLEH BOCAH SEKOLAH

Terbaru74 Dilihat

Di tengah arus terpaan makanan kekinian yang menderas, rasa-rasanya pedoman makanan bergizi seimbang dengan slogan ”Isi Piringku” tak banyak dilirik, utamanya oleh bocah sekolah. Dari perilaku makan terutama mengonsumsi makanan kudapan atau jajanan sehari-hari yang dijajakan para pedagang di gerai makanan dan kaki lima, nampak jelas makanan atau jajanan seperti apa yang digemari para bocah di sekolah.

Terdorong oleh rasa ingin tahu tentang jajanan kekinian atau tradisionalkah yang lebih dipilih oleh anak-anak sekolah, observasi atau boleh dikatakan percobaan kecil-kecilan dilakukan. Meski pun hal ini sudah lama dilakukan baru teringat dan terpikir untuk memaparkannya. Ini karena apa yang terjadi di desa ternyata jajanan-jajanan tradisional juga sudah tersisih oleh jajanan kekinian.

Sasaran yang dituju anak sekolah dasar (SD) di satu desa, Desa Cimaung, Kecamatan Cimaung-Kabupaten Bandung Jawa Barat. Desa ini terletak di kaki gunung Malabar, udaranya sejuk. Setelah menyampaikan maksud kepada guru sekolah untuk menyampaikan kepada anak-anak nanti pada waktu istirahat boleh memilih jajanan yang dijual pedagang di sekitar sekolah. Karena makanan itu sudah di borong.

Ketika tiba waktu istirahat, anak-anak mulai menyerbu jajanan/maknan yang ada. Apa yang terjadi, memang sebelumnya telah diduga. Jajanan kekinian seperti cilok, cireng, martabak mini, baso tusuk, telor gulung itu yang banyak diserbu dan dikerumuni para bocah. Sedangkan tukang bajigur dengan dagangannya ubi rebus, singkong rebus, kacang rebus, pisang rebus, talas kukus, kedele rebus, ketimus sepi peminat. Terlihat hanya beberapa anak dan guru-guru yang datang memanfaatkan jatah gratis itu.

Nah, itu situasi dan kondisi di desa beberapa waktu lalu. Asumsinya makanan-makanan kekinian memang sudah menyebar sampai ke plosok-plosok. Faktor lain yang menyebabkan makanan-makanan yang banyak dipilih rasanya memang lebih gurih dan enak di lidah. Memang makanan-makanan inipadat dengan gula, garam, lemak, penyedap rasa dan pengawet bahkan pewarna yang kontras menarik dan mencolok mata. Meski makanan-makanan itu diolah secara konvensional. Jajanan di pinggir jalan mengandung risiko karena dapat menyebabkan gangguan pencernaan, keracunan makanan, dan masalah berat badan. Tentu saja kemungkinan gangguan-gangguan ini akan tibul karena, makanan terbuka di udara bebas berisiko terkontaminasi debu, asap, kuman atau bakteri seperti Escherichia Coli dan Salmonella Enterica yang dapat memicu sakit perut, diare, muntaber, typus, kolera, dan desentri. Jajanan yang tidak bersih dapat menyebabkan keracunan makanan. dengan gejala seperti mual dan muntah yaitu refleks alami tubuh untuk mengeluarkan kuman penyebab penyakit. Semua terkait dengan hiegin dan sanitasi lingkungan baik disekitar sekolah atau pun sejak dari pengolahan di rumah.

Itu di desa. Terlebih di kota-kota yang dipadati dengan makanan yang diolah atau diproses secara moderen dan disebut makanan ultra proses (Ultra Processed Food-UPF). Makanan-makanan ini memang disiapkan agar mudah didapt, praktis, cepat saji, tahan lama dan nikmat di lidah. Itu merupakan peluang besar bagi industri makanan. Namun jika dikonsumsi dalam waktu lama konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan merugikan kesehatan. Tak sedikit penelitian yang membuktikan makanan Ultra Proses (UPF) dapat meningkatkan risiko obesitas, penyakit jantung dan diabetes.

Kini pemberian makanan bergizi pada anak sekolah sedang giat-giatnya dilaksanakan di berbagai daerah. Tidak ada masalah dengan pemberian makanannya sendiri tetapi yang perlu dipikirkan dan dicegah adalah dampak kelebihan asupan kalori yang bersumber dari berbagai makanan yang dikonsumsi anak sekolah terutama yang bersumber dari bahan makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi. Juga bahan-bahan tambahan yang tidak sehat seperti pewarna makanan berbasis kimia, pengawet dan sebagainya. Semoga juga hal-hal yang terkait dengan jajanan-jajanan yang ada di sekitar lingkungan sekolah dapat turut diperhatikan dengan seksama. Dengan demikian tidak menjadi hambatan dalam upaya meningkatkan status gizi anak sekolah yang digadang-gadang menjadi generasi ema di 2045 mendatang. (Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom)

Tinggalkan Balasan