Seandainya kepada anak disodorkan beberapa jenis makanan, mungkin menarik juga jika diamati makanan mana yang akan dipilihnya.
Pasalnya banyak faktor yang memengaruhi penerimaan terhadap makanan dan pola perkembangan pilihan makanan pada anak. Ada terkait budaya, lingkungan, interaksi sosial. Bahkan kecukupan asupan zat gizi tidak hanya bergantung kepada ketersediaan makanan.
Ini berarti sebaik apapapun nilai gizinya diatur, selezat apapun cita rasanya dibuat dan sebagus apapun penampilan makanan disuguhkan tetap tidak tertutup kemungkinan untuk dipilih dan diterima atau tidak oleh sang anak. Tentu ada sisa tertinggal (waste).
Mencermati perkembangan dunia kuliner yang semakin marak menyuguhkan beragam makanan jajanan dengan aneka cita rasa kekinian, tidak dapat disangkal alias harus diakui penerimaan anak terhadap makanan-makanan yang dijajakan itu cukup tinggi.
.
Dalam waktu lama tentu cenderung membentuk pola yang melekat dalam kehidupan kesehariannya.
Kebiasaan orang tua memberi uang jajan kepada anak pun mendorong anak untuk membelanjakan uang bekalnya pada makanan-makanan yang mengandung tinggi protein, lemak, gula dan garam. Terlebih lagi jajanan yang di jual di seputar lingkungan sekolah atau rumah yang beraneka ragam dengan dihiasi warna warni pelangi.
Kini jarang atau jika tidak dapat dikatakan tidak ada orang tua yang nengharuskan anak membawa bekal makanan dari rumah masakan ibunya sendiri.
Hal ini disebabkan juga oleh berbagai alasan. Bisa saja karena kesibukan ibu karena harus bekerja di luar rumah, alasan praktis tidak merepotkan, kuatir anak merasa tersisihkan di sekolah karena tidak pernah jajan sama seperti teman-temannya yang lain.
Upaya membentuk sikap penerimaan anak terhadap makanan dan pola pemilihan makanan perlu mendapat perhatian yang serius. “Bounding” keterikatan kasih sayang ibu dengan anak lewat masakan yang disiapkan dalam keluarga perlu tetap ditumbuhkan. Jika ini kuat terbentuk maka tidak heran jika banyak anak sampai mereka dewasa selalu merindukan masakan sang ibu meski sang ibu telah tiada.
Mencermati penyelenggaraan makanan banyak di satu rumah sakit besar cukup menarik. Meski memang ini kegiatan yang diselenggarakan dalam satu atap institusi. Tetapi jumlah porsi yang disiapkan hampir mencapai 3.000 porsi. Itu pun dengan variasi menu beragam sesuai dengan kebutuhan pasien. Belum lagi bagi pasien di kelas tertentu dibuka peluang untuk dapat memilih menu-menu sesuai selera.
Hal seperti ini disadari memang tidak mudah diselenggarakan secara umum di luar institusi seperti halnya rumah sakit. Tetapi bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Hanya memang lebih menuntut kreativitas dan inovasi serta pengawasan lebih seksama dalam kesungguhan menyelenggarakan makanan banyak seperti itu.
Hanya sekedar wacana. Apakah mungkin pola serupa itu diterapkan di sekolah. Terbukakah peluang bagi anak-anak untuk memilih menu “ala carte” ibarat restoran yang disiapkan sesuai pilihan menu kegemaran anak?
Jika peluang itu terbuka tentu jangkauan pada sasaran perlu di perpendek. Untuk ini pusat-pusat penyiapan makanan perlu diperbanyak dan diletakkan di area sentral sekitar lokasi sekolah. Dengan demikian porsi makanan yang disiapkan tidak akan terlalu banyak, waktu penyajian cepat tidak sampai disiapkan dan harus “diinapkan” (overnight). Menu dapat divariasikan sesuai dengan pola penerimaan anak terhadap makanan.
Ribet? ya mungkin saja, tetapi jika dilakukan dengan dasar kasih seorang ibu, bukan hanya sebagai orang- orang upahan niscaya hasilnya akan sangat menggembirakan.
Pengawasan penyelenggaraan makanan yang banyak terkait dengan kualitas, keamanan dan kesehatan lingkungan juga dapat dilakukan dengan sistem Pemantauan Wilayah Setempat (PWS). Suatu sistem yang pernah dikembangkan dan diterapkan. Senyatanya sistem ini telah menunjukkan keberhasilan memantau pelaksanaan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen internasional dalam rangka percepatan pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada akhir tahun 1982. Hal ini pun perlu didukung oleh data dasar (baseline data) yang lengkap.
Di sekolah pun pengembangan sikap sadar gizi dan kesehatan bisa menyerap pengalaman program-progran Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Dokter Kecil, guna mendidik dan menumbuhkan kesadaran makan yang sehat dan bergizi dan kesehatan anak sejak dini. Bahkan melakukan pemantauan pertumbuhan dengan melakukan pengukuran tinggi dan penimbangan berat badan secara periodik oleh anak untuk anak di bawah pengawasan dan bimbingan petugas kesehatan dari Puskesmas setempat.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah tentang keberkanjutan pemberian makanan. Di sini letak peran penting pemerintah kota dan desa dalam jebijakan mengalokasikan anggaran pembangunan daerah dan desa dalam rangka membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas. Membentuk generasi yang digadang-gadang sebagai generasi emas yang mengisi Indonesia emas di masa depan.
Kembali lagi ini hanya secercah pemikiran yang sekelebat melintas dalam angan seorang awam. Seseorang yang tak ingin seperti menunggu godot.
Ibarat Estragon dan Vladimir, dua sosok yang berdialog menunggu seseorang dalam kisah menunggu Godot, yang tidak pernah datang. Suatu dialog yang merupakan renungan filosofis dan diskusi yang mencerminkan kebingungan dan keputusasaan tentang suatu keberadaan.
Seperti apa yang diucapkan Vladimir salah satu tokoh dalam kisah itu: “Mari kita lakukan sesuatu selagi kita punya kesempatan! Tidak setiap hari kita dibutuhkan”. Lakukan sesuatu meski kecil tapi konkrit dan nyata dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat banyak. Meski mungkin dianggap simplistik bahkan tak dipandang sebelah mata oleh banyak orang berpendidikan tinggi dan memegang tampuk kekuasaan. Semoga. (Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom)
5 komentar