Menanam Pohon Kebaikan

Cerpen, Fiksiana173 Dilihat

Menanam Pohon Kebaikan

Persaudaraan yang erat akan mendatangkan kebahagiaan. Ibarat satu tubuh ada yang sakit maka bagian tubuh lainnya akan merasakan sakitnya pula. Ikatan yang menyatukan tidak hanya ikatan darah, namun ikatan iman akan membuat persaudaraan makin abadi dan kekal.
“Mas, sepertinya tetangga sebelah kita sudah mau melahirkan. Kasihan suaminya masih di luar kota. Saya tadi habis ngobrol sama Bu Rina, tadi pagi sudah bukaan 2, saya ijin menemani Bu Rina ya”cerita Marni.
“Terus gimana, kamu mau menemani mengantar ke Puskesmas? Ya sudah, kamu masaknya lebih awal saja, biar nanti kalau sewaktu-waktu ditinggal sudah ada makanan di meja, “sahut suaminya.
“Iya, tadi aku sudah belanja sayur. Kasihan suami Bu Rina masih ada pekerjaan, belum bisa langsung ditinggal, mudah-mudahan pas mau melahirkan sudah sampai di rumah, ” sambung Marni.
Bu Rina adalah tetangga baru Marni. Dia tinggal di samping kanan rumah Marni. Pemiliknya kembali ke Surabaya, sehingga rumahnya dikontrakkan. Bu Rina akhirnya yang menempati rumah itu. Bu Rina sudah sepuluh tahun menikah, namun belum juga dikaruniai seorang putra.
Jam tiga sore, Bu Rina ke rumah Marni. Dia sudah menyiapkan perlengkapan dan tas besarnya. Setelah mengunci gerbang dan menyalakan lampu luar, Bu Rina ke rumah Marni.
“Bu Marni, maaf sepertinya saya sudah bertambah sering mulasnya, kita sekarang saja ke Puskesmas ya,” kata Bu Rina dengan wajah meringis menahan mulas di perutnya. Perutnya yang sudah membesar membuatnya berjalan dengan pelan.
“Iya, Bu. Saya panggilkan becak di perempatan jalan ya,”Marni sambil sedikit berjalan cepat menyambar kunci motor.
“Emak, Qia ikut naik motor,” Qia berlari meninggalkan teman-temannya.
“Qia di rumah saja, Emak hanya memanggilkan becak untuk mengantar Bu Rina ke Puskesmas,”. Marni segera menyalakan mesin dan segera mencari becak.
Qia pun hanya melambaikan tangan, tanda dia mau ditinggal. Alhamdulillah, ada satu becak motor yang sedang parkir. Pak tukang becak pun segera mengubah posisinya mengikuti motor Marni. Untunglah ada becak motor, sehingga bisa lebih cepat menuju Puskesmas. Marni pun berpesan kepada Lifa supaya menjaga adik dan menyampaikan pesan ke ayahnya.
Bu Rina tampak memucat, berulang kali perutnya diusap. Marni yang melihatnya juga menjadi terlihat gugup serasa mengalami seperti Bu Rina. Puskesmas sudah dekat, Marni menyiapkan uang untuk membayarnya. Pak tukang becak membantu membawa bawaan menuju Puskesmas. Marni langsung memapah Bu Rina menuju ruang periksa. Hanya terlihat dua orang petugas yang berjaga di loket depan.
“Maaf Bu, tolong dibawa saja ke ruang bersalin, mari mengikuti saya, ” kata petugas yang berjilbab biru.
Bu Rina diantar Marni menuju ruang bersalin. Rupanya di dalam sudah ada satu orang yang sedang melahirkan. Terdengar rintihannya menyebut istighfar. Syukurlah mungkin orang tersebut terbiasa berzikir sehingga kata-kata yang baik yang keluar dari alam pikirannya. Bu Rina berada di ruang sebelah yang hanya dibatasi tirai tinggi.
“Bu Marni, tolong telponkan suami saya, kira-kira sudah sampai mana?” pinta Bu Rina.
“Baik bu, semoga suami ibu sudah dalam perjalanan.” jawab Marni.
Dari obrolan di telepon ternyata suami Bu Rina sudah sampai perbatasan kota, masih ada waktu dua jam untuk menuju Puskesmas. Marni memberi minum madu dan telur supaya Bu Rina kuat dalam persalinan nanti. Marni selalu menguatkan dan membimbing supaya banyak berdoa.
Mulas perut Bu Rina semakin sering dan disuruh banyak berjalan supaya memudahkan persalinan. Selang 15 menit Bu Rina merasa tidak kuat lagi, akhirnya disuruh masuk ke ruang bersalin kembali. Ada satu perawat yang bersiap dengan segala peralatan dan perlengkapannya.
Suami Bu Rina tergopoh-gopoh berlari ke ruang bersalin. Badannya tidak terlalu tingi dengan rambut cepak dan berkaca mata. Azan isya berkumandang seiring pecahnya tangisan sang jabang bayi. Suami Bu Rina langsung masuk ke dalam.
” Alhamdulillah, ya Allah aku bisa melihat anakku lahir ke dunia,” seru suami Bu Rina.
Tangis suami istri pun terdengar. Tangisan bahagia, penantian selama sepuluh tahun terbayar sudah. Bayi laki-laki yang mirip dengan ibunya berukuran 3 kg dengan panjang 50 cm. Kemudian dikumandangkan azan di telinga kanan dan iqomah di telinga kirinya. Dengan harapan akan menjadi anak sholih dan kalimah toyibah yang pertama dikenalnya saat di alam dunia.
Bu Rina mengucapkan terima kasih kepada Marni yang telah setia menemaninya. Karena suami Bu Rina sudah datang, Marni pun berpamitan pulang terlebih dahulu. Marni mendoakan semoga ibu dan bayi sehat dan besok diperbolehkan pulang.
“Bu Rina, maaf saya pamitan dulu. Suami ibu sudah menemani,” pamit Marni.
“Saya mengucapkan terima kasih banyak Bu Marni sudi menemani saya, walaupun baru seminggu kita bertetangga tapi Bu Marni baik sekali,” kata Bu Rina.
“Sama-sama Bu, kita kan bertetangga. Saudara ibu rumahnya jauh. Sebisa mungkin kita saling membantu jika ada yang butuh pertolongan, “lanjut Marni.
“Semoga kebaikan keluarga ibu dibalas Allah dengan balasan yang berlipat,”.
” Ya sudah bu, saya pamit, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, ya Bu Marni, hati-hati di jalan.”
Begitulah kehidupan dalam bertetangga. Saudara ada yang sakit, kita ikut merasakan penderitaannya. Barang siapa yang merasa membutuhkan, marilah kita segera membantunya. Semua kebaikan yang ditanam akan dituai hasilnya. Kita menanam kebaikan maka panen kebaikan yang akan kita terima.

Tantangan hari ke-18 Lomba Menulis di blog menjadi buku

Profil Penulis
Safitri Yuhdiyanti, S.Pd.AUD. Aktifitas sebagai guru di TK Negeri Pembina Bobotsari. NPA : 12111200300.

Tinggalkan Balasan