Alkisah di Pegunungan Trieng Seduro, terdapat kerajaan yang dipimpin oleh Raja Popo. Ia dikenal sebagai raja yang bijaksana, dermawan dan mencintai rakyatnya. Di bawah kepemimpinan Raja Popo, rakyat hidup aman, damai dan sejahtera. Ia pun dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Raja Popo memiliki dua orang putra yang bernama Pangeran Poci dan Pico. Keduanya tumbuh di dalam istana dan tidak pernah keluar dari istana. Tidak ada seorang pun rakyat yang mengenali wajah Pangeran Poci maupun Pico.

Pagi itu, Pangeran Poci sedang menanam pohon di halaman istana sementara Pangeran Pico membaca di bawah pohon mangga yang rindang. Raja Popo memperhatikan kedua putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia berfikir sudah saatnya mahkota raja diteruskan kepada salah satu dari mereka berdua. Raja Popo sudah semakin tua. Jika penerusnya tidak ditentukan dari sekarang, kerajaan Trieng Seduro akan goyah.

Raja Popo bingung kepada siapa tampuk kepemimpinan ini akan diberikan. Baginya, kedua pangeran sama-sama ia kasihi. Namun tidak mungkin ada dua raja dalam satu istana. Tentu hal itu akan menimbulkan kekacauan. Sebelum hal itu terjadi, terlintaslah sebuah ide di kepala Raja Pipo. Ia pun memanggil Pangeran Poci dan Pico menemuinya di ruang pertemuan. Di sana, ia duduk di singgasananya menunggu kedatangan kedua pangeran.

Tidak lama kemudian, Pangeran Poci dan Pico datang. Mereka memberi hormat pada raja sembari duduk di hadapannya.

“Ayahanda, ada apakah gerangan engkau memanggil kami ke sini?” tanya Pangeran Poci sambil memandang wajah ayahnya takzim.

“Iya ayahanda, ada apa gerangan?” tambah Pangeran Pico yang duduk di samping kakaknya.

“Anandaku Pangeran Poci dan Pico. Ayah memanggil kalian ke sini karena ada hal penting yang ingin ayah sampaikan.”

Pangeran Poci dan Pico saling berpandangan. Dengan sabar, mereka menunggu Raja Popo melanjutkan perkataannya.

“Semalam, ayah bertemu dengan kakek kalian di dalam mimpi. Beliau meminta ayah menanyakan satu hal kepada kalian.”

“Apa itu ayah?” tanya Pangeran Poci.

“Anandaku tercinta, Pangeran Poci dan Pico. Jika kalian harus memilih, mana yang kalian mau, menjadi kaya dulu atau miskin dulu?”

“Maksudnya apa Ayah?” tanya Pangeran Pico bingung.

“Kini kalian sudah dewasa. Sudah saatnya kalian keluar dari istana. Hidup berbaur dengan masyarakat. Mengenal rakyat kita apakah sudah hidup dengan damai dan sejahtera di bawah pemerintahan Raja Popo. Rasakanlah bagaimana kehidupan di luar istana. Jauh dari ayah, jauh dari kemudahan dan kenikmatan yang kalian rasakan di dalam istana.”

Pangeran Poci dan Pico mendengar perkataan ayah mereka dengan takzim. Walau di kepala mereka masih penuh tanda tanya. Namun mereka akan mematuhi apapun yang diperintahkan Raja Popo pada mereka.

“Pangeran Poci ayah perintahkan berkelana ke utara Trieng Seduro, sementara Pico menuju ke selatan. Namun, sebelum berangkat pikirkanlah dengan baik tentang pertanyaan yang ayah ajukan. Selama hidup berkelana, kalian akan mengalami dua masa. Masa dengan kekayaan yang berlimpah dan masa kemiskinan tanpa harta. Kalian silahkan pikirkan, masa apa yang ingin pertama kali kalian rasakan. Kaya atau miskin terlebih dahulu.”

Pangeran Poci dan Pico berfikir sejenak. Tak lama kemudian mereka pun akhirnya memutuskan.

“Aku ingin kaya terlebih dahulu ayah,” jawab Pangeran Poci yakin.

“Aku biar miskin terlebih dahulu ayah,” ujar Pangeran Pico setelahnya.

“Baiklah, karena kalian sudah memutuskan, sekarang bersiaplah. Besok perjalanan dimulai. Pangeran Poci akan ayah beri banyak harta sesuai dengan pilihannya. Sementara Pico jangan bawa apa-apa selain dua helai pakaian dan kuda sebagai kendaraan.

Esoknya berangkatlah Pangeran Poci dan Pico ke tempat yang telah ditentukan oleh Raja Popo. Pangeran Poci dan kudanya membawa banyak harta yang membuatnya berjalan dengan sangat pelan. Sementara Pico dengan cepat melesat ke selatan Trieng Seduro. Selama perjalanan pangeran Poci dan Pico tak henti-henti terpesona dengan pemandangan luar istana yang indah. Mereka juga bertemu dengan masyarakat yang baik hati memberikan makanan dan minuman saat dia dan kudanya kelelahan. Masyarakat juga menunjukkan arah agar mereka tidak tersesat. Ada juga yang menawarkan rumah mereka untuk menginap jika hari sudah mulai gelap.

Setiba di utara Trieng Seduro, Pangeran Poci pun membangun rumah yang sederhana untuk dia tinggal. Harta yang dia bawa, dia gunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan gedung olahraga untuk masyarakat di sana. Dia senang berbagi dan bersedekah untuk orang yang membutuhkan.

Sementara Pangeran Pico yang memilih miskin, menjadi pekerja di perkebunan Pak Tama. Ia bekerja dengan rajin sehingga dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Pak Tama sangat menyukai Pangeran Pico karena ia adalah pekerja yang ulet, jujur dan pekerja keras.

Tidak terasa waktu berlalu dan datanglah pengawal kerajaan menjemput Pangeran Poci dan Pico untuk kembali menghadap raja. Mereka pun pulang dengan kerinduan yang teramat dalam terhadap ayah dan saudaranya. Setiba di istana, Raja Popo menyambut mereka dengan hangat. Begitupun dengan Pangeran Poci dan Pico saling berpelukan saat bertemu. Pangeran Poci tampak semakin putih, cemerlang dan bersih. Pangeran Pico semakin tegap, kekar dan berkulit gelap.

“Selamat datang kembali anandaku Pangeran Poci dan Pico. Kalian sudah melewatkan masa pertama dengan sangat baik. Sudah waktunya kalian lanjut ke masa kedua. Apakah kalian siap?”

“Siap ayah!” Pangeran Poci dan Pico menjawab mantap.

“Poci, kau yakin siap dengan hidup miskin sementara selama ini kau hidup bergelimang harta?”

“Siap ayah.”

“Pico kau siap dengan kekayaan padahal selama ini kau menikmati hidupmu yang sederhana?”

“Siap Ayah,”

“Hahaha…” Raja Popo tergelak. Kedua putranya saling berpandangan bingung.

“Kalian berdua memang pangeran terbaik kerajaan ini. Sebenarnya ayah ingin memilih satu di antara kalian untuk menempati singgasana raja. Untuk pangeran Poci, kau tidak akan mendapatkan masa miskin karena sedekah dari hartamu di masa kaya terus bertunas menambah keberkahan dan kekayaan itu sendiri. Untuk Pico, selama masa miskin kau ditempa menjadi lelaki yang kuat, tabah dan hebat. Meskipun kau miskin harta namun kau memiliki kekayaan jiwa yang luar biasa. Namun tidak ada satu istana dengan dua raja. Untuk itu ayah tetap akan memilih satu dari kalian yang akan menjadi raja.”

Pangeran Poci dan Pico mendengar perkataan ayahnya dengan takzim. Siapapun yang menjadi penerus kerajaan Trieng Seduro pastilah yang terbaik untuk masyarakat.

“Pangeran Poci, kau diangkat menjadi raja penerus kerajaan ini. Sifatmu yang tidak gila harta, menggunakan kekayaanmu untuk kemaslahatan banyak orang membuatmu pantas menjadi seorang raja. Sementara engkau Pangeran Pico. Kau diangkat sebagai komandan pengawal kerajaan Trieng Seduro yang menjaga keamanan dan kedaulatan kerajaan kita. Tubuhmu yang terlatih dan ketabahanmu dalam kemiskinan membuatmu cocok menjadi komandan pengawal kerajaan yang disegani siapa saja.”

Pangeran Poci dan Pico menerima keputusan ayah mereka dengan senang hati dan penuh tanggung jawab. Rakyat yang mendengar kisah ini terkejut sekaligus bahagia mereka akan dipimpin oleh pangeran yang baik dan hebat.

 

Tinggalkan Balasan