Bangunan permanen dengan model kuno berdiri kokoh di pinggir jalan dikelilingi oleh pagar besi setinggi satu meter lebih. Hamparan rumput hijau tertata rapi dihalaman yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan membuat bangunan tampak rimbun. Papan nama Panti Asuhan Kasih Ibu terpasang di pinggir pagar dan terbaca jelas bagi orang yang lalu lalang.
Umam memarkir mobilnya di bawah pohon Mangga yang rindang. Beberapa anak-anak muncul dari balik pintu begitu mengetahui ada tamu yang datang. Seorang anak perempuan yang paling besar langsung mendekat dan bertanya begitu melihat Aisyah turun dari mobil.
“Mencari siapa kak? Tanyanya dengan sopan
“Boleh bertemu dengan Umi pengasuh Panti Asuhan ini? Ucap Aisyah.
“Kakak tunggu sebentar, biar saya panggilkan Umi dulu.” Sahutnya sambil langsung berlalu.
Umam yang berdiri agak jauh langsung mendekati Aisyah sambil membisikkan sesuatu.
“Kebetulan aku membawa beberapa jenis camilan dan makanan ringan untuk anak-anak yang ada di sini. Nanti saat pengasuhnya datang kamu langsung serahkan.”
Aisyah replek menoleh kepada pemuda yang berdiri di sampingnya. Mata mengecil sehingga mata sipitnya semakin tidak tampak, wajahnya bersemu merah menahan malu. Dia tidak menyangka lelaki itu akan berbuat seperti, dia terdiam sesaat merasa merepotkan dan membebani Umam.
“Ini hanya inisiatifku sendiri, jangan kamu pikirkan. Saya hanya ingin berbagi dengan anak-anak di sini.” Ucap Umam berusaha menghilangkan ketidak nyamanan gadis pujaannya itu.
Seorang wanita berkulit putih bersih, wajahnya bercahaya, memakai gamis garis-garis dengan jilbab syar’i keluar sembari menggandeng tangan gadis yang tadi memanggilnya.
“Assalamualikum Umi,” jawab Umam dan Aisyah hampir serempak.
Wanita paruh baya itu pun menjawab salam sambil mempersilahkan ketiganya duduk.
“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Umi.
“Sebelumnya kami mohon maaf karena tidak memberitahukan kedatangan kami ke sini. Saya Aisyah, ini Mas Umam sementara satunya lagi Parhan. Ucapnya memperkenalkan diri dan teman-temannya. “Ini ada sedikit makanan untuk anak-anak di sini. Sahut Aisyah sembari menyodorkan kantong pelastik yang penuh berisi makanan ringan.
“Terima kasih nak.” Jawabnya dengan wajah tersenyum.
“Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melihat dari dekat aktivitas dan keadaan anak-anak di sini sambil bercakap-cakap dengan mereka. Siapa tahu ada pembelajaran yang bisa kami ambil.” Kata Aisyah menjelaskan
Bu Aida pengurus panti akhirnya menceritakan kondisi Panti Asuhan yang dibinanya. Bagi wanita yang bersuara lembut ini bertutur. Anak-anak yang tinggal di panti ini sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. Kebanyakan dari mereka anak terlantar yang dibuang oleh orang tuanya dan ada beberapa diantara mereka yang sudah tidak memiliki orang tua karena ibu bapaknya sudah meninggal.
Apalagi sejak almarhum suaminya meninggal dan menitipkan panti ini untuk di kelola membuatnya semakin telaten untuk membina dan mengasuh mereka walaupun dengan penuh kekurangan dan keterbatasan ekonomi. Baginya anak-anak ini membawa rezekinya masing-masing. Hal ini yang membuat ibu yang tidak punya keturunan ini tidak pernah risau atau pun gelisah.
Sesekali Parhan ikut memperhatikan cerita Bu Aida. Pandangannya lebih sering tertuju kepada anak-anak panti yang sedang bermain sambil terawa di halaman. Posisi duduknya yang selalu berubah-ubah serta pandangannya mengisyaratkan dia ingin sekali beranjak dari tempat duduknya.
“Apa kamu mau ikut gabung sama mereka?” Tanya Aisyah kepada Parhan sambil menunjuk ke arah anak-anak yang sedang asyik bermain di halaman.
Dia menganggukkan kepala. Sembari meminta izin remaja itu lalu berlalu dan bergabung dengan mereka.
Tampak kecerian di wajah Parhan, dia terlihat rilek, matanya mulai berbinar, tawanya lepas. Beban batin yang selama ini menderanya sedikit demi sedikit mulai terkikis. (Bersambung)